Posisi Islam sebagai salah satu agama terpopuler dengan pengikut terbanyak kedua di dunia tidak menjaminnya lepas dari berbagai polemik. Permasalahan yang kerap melekat dalam Islam adalah masalah ekonomi, atau kemiskinan. Stereotipe ini sepertinya sudah populer, apalagi ditambah dengan fakta bahwa mayoritas umat Islam kebanyakan hidup di negara-negara berkembang. Orang-orang Islam yang kaya kebanyakan tidak disebabakan oleh kemampuan entrepreneur mereka, melainkan karena memang mereka memiliki privilis atau, paling jauh, hidup di negara yang sudah memiliki sumber daya alam yang melimpah, seperti minyak bumi, tambang, hutan, dan sebagainya.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa tidak semua orang Islam lemah secara ekonomi, namun realita tidak bisa berbohong bahwa memang umat Islam saat ini sangat bergantung pada peradaban Barat untuk hidup sejahtera di era modern. Jika ditelisik, penyakit ini telah menjangkiti Islam sejak abad pertengahan.
Sejatinya, Islam dan kemiskinan merupakan dua aspek yang sangat bertolak belakang. Nabi Muhammad, sebagai pedoman dan panutan umat Islam, diklaim merupakan pendiri agama terkaya yang pernah dikenal. Walaupun Rasulullah banyak menghabiskan hidupnya dalam kesedehanaan bahkan seringkali kekurangan makanan, beliau memiliki seluruh akses untuk mendapatkan kekayaan yang luar biasa. Nabi Muhammad memiliki kemampuan dagang yang luar biasa dan memiliki reputasi yang baik dalam berniaga di antara para pedagang di Timur Tengah.
Diriwayatkan bahwa sembilan dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga oleh Allah adalah orang kaya. Jika ingin dilacak secara historis, banyak ulama-ulama Islam juga yang dikenal memiliki akses yang luas kepada kekayaan, bahkan dari empat imam mazhab, hanya Imam Ahmad bin Hanbal saja yang tidak kaya, itupun karena beliau memang tidak ingin menjadi orang yang memiliki harta yang melimpah.
Mengapa Islam dan kemiskinan merupakan dua hal yang bertolak belakang? Karena memang Islam dalam syariatnya meniscayakan umatnya untuk senantiasa menjadi orang yang sejahtera juga di dunia. Dalam QS. al-Qashash: 77 disebutkan,
وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi
Jika melihat realita kehidupan umat-umat Islam generasi pertama yang sejahtera secara ekonomi, lalu mengapa sekarang justru berbalik. Mengapa orang-orang Islam di masa kini seringkali kesulitan dalam memperoleh kesehjateraan, atau bahasa kasarnya miskin-miskin.
Boleh jadi, fenomena tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama adalah tentang kecenderungan umat Islam masa kini menjadikan agama sebagai tameng atas kesalahan dan kelemahannya. Misalnya ketika ditanya, “mengapa orang-orang Islam tidak maju dalam pengembangan teknologi?” jawabannya, “ya karena kita tidak mencari dunia, Islam harus memprioritaskan akhirat.” Kemudian ada pertanyaan lagi, “kenapa umat-umat Islam miskin-miskin?” jawabannya, “ya karena bagaimanapun kayanya, harta tidak akan dibawa mati, hanya amal yang akan menemani kita dalam kubur, jadi untuk apa kita menumpuk-numpuk harta.” Pertanyaan dan jawaban tersebut lumrah ditemukan dalam realitas sosial. Mindset-mindset seperti itulah yang kemudian “memperkosa” Islam itu sendiri. Islam dijadikan alasan atas kekalahannya atas dunia agar ia terlihat tidak bersalah atas semua kegagalannya.
Pola pikir tersebut tidak sejalan dengan ajaran Islam, jika itu memang ajaran Islam tentu tidak kita temukan banyak sahabat dan ulama-ulama klasik yang kaya raya. Rasulullah mengajarkan prinsip untuk menghindari kemiskinan dari sabdanya yang diriwayatkan oleh Qabishah bin Mukhariq al-Hilali radhiyallahu anh,
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” (Shahih: HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, an-Nasa-i, dan selainnya)
Faktor kedua yang seringkali mempengaruhi kondisi Islam adalah sulitnya umat Islam untuk melakukan instropeksi diri. Dalam arti lain, jika ada kritik-kritik yang datang dari luar terhadap umat-umat Islam, mereka bukan menerimanya kemudian memperbaiki diri, namun justru marah-marah kepada si pemberi kritik. Ambil contoh saja soal toa masjid. Ketika ada satu orang non-Islam yang mengeluhkan tentang terlalu kerasnya suara toa masjid, ia kemudian dihabisi oleh umat Islam disertai dengan umpatan dan kemarahan. Fenomena ini, tidak bisa disangkal, justru merusak reputasi Islam sebagai agama yang toleran, sehingga citra Islam di dunia semakin lama semakin buruk.
Instropeksi diri dapat menyelamatkan karakter umat Islam sehingga dapat lebih bijak dalam bersikap. Umar bin Khattab pernah menganjurkan untuk menghisab diri kita masing-masing sebelum dihisab oleh Allah kelak di hari kiamat. Artinya, kita dianjurkan untuk merenungi diri tentang tabiat dan perilaku kita yang mungkin pernah merugikan orang lain, sehingga kita bisa memperbaikinya.
Kembali ke masalah kemiskinan, dalam QS. al-Ma’un jelas disebutkan bahwa kriteria pendusta agama adalah mereka yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Poinnya jelas di sini bahwa kemiskinan merupakan salah satu masalah yang diperhatikan oleh al-Qur’an, lalu bagaimana bisa orang Islam berkata bahwa tidak apa menjadi miskin toh harta tidak dibawa hati. Ditambah lagi bahwa rukun Islam yang sempurna hanya bisa dilakukan di atas kekuatan finansial seseorang yang mumpuni. Sebut saja haji dan zakat. Keduanya baru bisa terlaksana jika seseorang memiliki harta yang memadai.
Islam generasi awal dipenuhi oleh orang-orang kaya, sehingga mereka mampu membangun peradaban yang unggul. Mindset mereka tidak secara ekstrem terdikotomi antara urusan akhirat dan dunia. Maka jikapun kita belum mempunyai harta yang memadai dan masih berusaha untuk mencari kesejahteraan, jangan sekali-kali berpikiran bahwa akhirat adalah prioritas di atas segalanya kemudian kita lepaskan saja kepentingan duniawi. Instropeksi sangat perlu untuk dilakukan. Kita terus menerus berbicara mengenai romantisisme peradaban Islam masa lalu tanpa sekalipun berpikir untuk membangkitkannya lagi di masa depan. Karena memang umat Islam seringkali menyerah kepada keadaan, dan parahnya lagi agama dijadikan legitimasi atas kemalangannya tersebut.
Ibn Rusyd pernah berkata bahwa jika ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah sesuatu yang batil dengan agama. Artinya kita sebagai umat Islam perlu merenungi diri apa kontribusi kita terhadap Islam, atau justru kita yang hanya terus mereduksi kedigdayaannya Islam sehingga Islam makin kehilangan kualitasnya. Na’udzubillah min dzalik.