Sejak perhelatan pemilihan umum (Pemilu) dimulai hingga hari ini, papan iklan atau baliho milik lembaga pemerintah terkait Pemilihan Umum atau Pilpres bernada sama. Mereka sama-sama mengampanyekan Pemilu Damai. Bahkan, beberapa hari lalu, salah satu organisasi anak muda yang dibentuk Pemerintah juga mengadakan acara dengan irama yang sama.
Polarisasi hingga ancaman segregasi telah memberikan trauma dan luka yang cukup dalam di masyarakat. Untuk itu, Negara terlihat mengerahkan banyak stamina untuk meredam dampak polarisasi akibat politik elektoral, sebagaiman yang terjadi di dua Pilpres dan beberapa Pilkada dalam satu dekade terakhir.
Lihat saja baliho-baliho yang dihiasi muka para pimpinan daerah hingga aparat hukum pun terpampang di jalan-jalan protokol di banyak daerah. Mereka berlomba memasang baliho-baliho dengan narasi seragam, yakni Pemilu Damai.
Melihat fenomena ini, saya malah memandang penjejalan narasi Damai secara massif jelas menyisakan tanya. Apakah (benar-benar) ada ancaman segregasi dan polarisasi di di tahun 2024? Bisa iya, bisa tidak. Untuk itu, kita perlu mengulik lebih dalam apa di balik fenomena baliho-baliho tersebut.
***
Proses politik elektoral kita sebenarnya masih berjalan hingga hari ini. Proses pemungutan suara pun, secara umum, berjalan aman dan berlangsung lancar. KPU sebagai pihak berwenang pun belum mengumumkan seluruh hasil Pemilu tahun 2024.
Di sisi lain, wacana kecurangan hingga ketidakprofesionalan KPU terus menerus bertebaran di media hingga berbagai layanan jejaring sosial. Kekisruhan “SiRekap” hingga beragam kecurigaan akan adanya kecurangan pada pra-pemungutan suara telah menjadi diskusi di ruang publik dan media sosial hingga hari ini.
Maka, sekilas kita boleh saja menerima alasan polarisasi menjadi ancaman bagi kelancaran proses pemilu. Tapi, jika melihat beragam keriuhan yang terjadi di pelaksanaan Pemilu tahun ini, maka kita (seharusnya) malah mempertanyakan urgensi penjejalan narasi damai di tengah proses demokrasi kita.
Saya mencurigainya sebagai alat Negara untuk meredam kritik dan sikap kritis masyarakat. Kok bisa?
Pada periode kedua pemerintahan Jokowi, Negara mulai mengkapitalisasi polarisasi di masyarakat untuk menghadirkan wajah “pemerintahan yang baik.” Untuk membangun kondisi masyarakat yang damai dan adem. Namun, di balik kondisi ini, Negara malah mulai bersikap represif ke kelompok-kelompok penentangnya, khususnya kepada kebijakan-kebijakannya.
Dengan kata lain, isu polarisasi dan segregasi dipakai oleh Negara untuk “membungkam” dinamika biasa dalam kultur demokrasi yang sehat, seperti perbedaan pilihan, memakai instrumen dalam demokrasi untuk memperjuangkan haknya, hingga meredam sikap kritis di masyarakat sipil.
Lihat saja, ketimbang mendorong proses yang adil, jujur, bermartabat, hingga berintegritas, Negara malah lebih memilih memakai narasi damai. Padahal, fenomena pemilu hari ini malah memperlihatkan kelemahan besar di variabel-variabel pemilu yang berkualitas tersebut.
Selain itu, dengan mendorong narasi damai, Negara bisa memiliki dalih untuk menekan masyarakat sipil yang bersuara lantang terhadap bejibun permasalahan dalam pemilu, karena bisa dianggap menganggu harmoni sosial.
***
Bagaimana kita bisa memahami strategi Negara di atas lebih komprehensif? Salah satu caranya adalah mengulik bagaimana kata damai dipakai di tengah proses Pemilu tahun ini.
Kata dalam kajian para sarjana biasanya diawali sebagai materialisasi pikiran. Artinya, kata-kata digunakan untuk mengkomunikasikan pikiran penutur, agar isi pikirannya bisa diwujudkan dalam perbuatan, khususnya kepada siapa kata-kata tersebut ditujukan. Perintah seorang atasan biasanya sangat menggambarkan ulasan ini.
Namun, kata, menurut Ignas Kleden, bisa diperlakukan secara sewenang-wenang terus-menerus. Kata dalam pandangan Orwell, Lubis, hingga Kleden ini memberikan kita gambaran bahwa penggunaan kata bisa saja mengalami pergeseran, patahan, hingga pembelokan.
“Jika pikiran mengkorupsi bahasa, maka bahasa dapat pula mengkorupsi pikiran” kata George Orwell yang dikutip oleh Mochtar Lubis, untuk menggambarkan apa yang disebutnya sebagai erosi arti kata. Menurutnya, kita sering sekali menjumpai atau malah melakukan pemakaian kata-kata dengan sikap tak memperhatikan arti kata itu, bukannya tak mengandung bahaya. Inilah erosi arti kata.
“Pemilu Damai” secara umum memang menjadi harapan kita semua. Karena dalam proses demokrasi ini, ketegangan karena perbedaan pilihan politik jelas menunjukkan eskalasi yang meningkat. Untuk itu, proses demokrasi yang damai jelas sangat diperlukan.
Namun, kata damai ini juga bisa dibelokkan untuk membentuk opini di ruang publik bahwa mereka yang bersuara kritis atas proses pemilu. Kenapa? Karna posisi mereka bisa dianggap menganggu proses demokrasi yang telah “diusahakan” Negara menjadi proses yang damai. Dengan kata lain, para pengkritik proses demokrasi yang bopeng ini adalah mereka yang bacot.
Kritik keras atas proses demokrasi yang damai ini bukan berarti menganggap kedamaian di ruang publik tidak penting. Namun, mengkapitalisasi narasi damai untuk “membungkam” mereka yang kritis dengan menghadapkannya dengan masyarakat Indonesia yang menginginkan kedamaian, jelas tidak benar.
Oleh sebab itu, kita sebagai masyarakat Indonesia jelas harus mulai lebih meningkatkan kualitas literasi dan pemahaman politik demokrasi. Beragam manuver-manuver politik yang semakin canggih dan kompleks, karena politisi busuk telah mulai berkolaborasi dan mulai memakai strategi-strategi baru untuk menganggu indepedensi dan kebebasan kita dalam memilih.
Di sisi lain, kita sebagai masyarakat sipil juga harus mulai menghadirkan beragam perlawanan kreatif sekaligus progresif dalam melawan beragam kecurangan dan gangguan atas demokrasi. Karna kita juga bertanggungjawab untuk menjaga demokrasi.
Jika kita mengutip kata-kata Nyai Ontosoroh, “Dengan melawan, kita tidak sepenuhnya kalah” dan “Kita telah melawan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.” Kata-kata agung dari Nyai Ontosoroh ini seharusnya bisa menjadi kompas perlawanan dan perjuangan kita dalam mewujudkan demokrasi yang sehat, berintegritas, adil, jujur, dan bermartabat.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin