FISIP UI Gelar Forum Demokrasi, Bahas Pemilu 2024 dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

FISIP UI Gelar Forum Demokrasi, Bahas Pemilu 2024 dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Forum Demokrasi menyoroti kondisi demokrasi di Indonesia yang mengalami kemerosotan, khususnya mendekati Pemilu 2024 ini.

FISIP UI Gelar Forum Demokrasi, Bahas Pemilu 2024 dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Kegiata Forum Demokrasi di Auditorium Muchtar Riady, FISIP UI, pada Rabu (31/01). Dok. Naufal/Islamidotco

Depok, Islami.co – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) menggelar kegiatan Forum Demokrasi, Rabu (31/01) kemarin. Dengan mengambil tema “Refleksi Masa Depan Demokrasi Indonesia”, forum ini menghadirkan Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto (Dekan FISIP UI), Anita Wahid (Dewan Pengarah Gardu Pemilu) dan Titi Anggraini, S.H., M.H. (Dewan Pembina PERLUDEM) sebagai pembicara, serta dimoderatori langsung oleh Dr. Phil Aditya Perdana, M. Si., dosen di Departemen Ilmu Politik FISIP UI.

Abdul Ghofur, Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, dalam sambutannya mengatakan, kegiatan ini merupakan wadah untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan demokrasi, pluralisme, serta toleransi. Selain itu, ia menilai kegiatan ini bisa membuka kesadaran pemerintah terkait demokrasi masa kini.

“Kontribusi yang diberikan adalah membuka cara pandang pemerintah terkait kebutuhan demokrasi yang berubah dibandingkan dengan demokrasi tempo dulu,” ujarnya.

Pembina Perludem, Titi Anggraini, dalam pemaparannya menyampaikan, demokrasi di Indonesia dinilai mengalami penurunan kinerja. Berdasarkan data-data yang ada, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan penyumbang nilai positif bagi demokrasi di Indonesia. Sayangnya, kultur politik yang ada membuat demokrasi di Indonesia dinilai sebagai demokrasi cacat.

“Orang Indonesia suka Pemilu. Tapi, kenapa demokrasinya masih cacat? Ternyata penyumbang penurunan itu adalah political culture (kultur politik). Kalau Pemilu dan pluralisme itu skornya tinggi. Tapi, kalau political culture, berpemilu tapi jual beli suara, berpemilu tapi jual beli tiket pencalonan,” bebernya.

Terkait dengan Pemilu 2024, perempuan yang aktif mengawal penyelenggaraan Pemilu sejak tahun 1999 ini menyebut pemilu tahun ini sebagai the biggest one day-election in the world (Pemilu satu hari terbesar di dunia). Selain itu, di tahun ini Indonesia berada pada persimpangan jalan antara demokrasi elektoral dan otokrasi elektoral.

“Tahun 2024 adalah persimpangan yang akan menentukan masa depan demokrasi kita,” ungkapnya.

Dewan Pembina Gardu Pemilu, Anita Wahid, selaku pembicara kedua menyebutkan bahwa titik tolak pelemahan demokrasi di Indonesia adalah ketika pemilihan calon pimpinan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pada tahun 2019. Ia sendiri menyebut KPK sebagai institusi yang mendapat dukungan paling kuat dari masyarakat sipil. Sayangnya, pada tahun itu, terjadi polarisasi di kalangan masyarakat yang menyebabkan dukungan kepada KPK menjadi terbelah.

“Polarisasi yang menyebabkan kelompok-kelompok yang terlibat di dalamnya bisa dimainkan dan dimanipulasi sedemikian rupa. Tergantung narasi-narasi yang menciptakan persepsi adanya ancaman bagi masing-masing kelompok,” tuturnya.

Putri ketiga Gus Dur ini mencontohkan narasi ‘Taliban’ yang menyebar pada saat itu. Masyarakat dicekoki dengan informasi bahwa radikalisme tumbuh di dalam tubuh KPK. Semua itu berujung pada penggantian petinggi KPK dengan sosok yang dinilai memiliki kemampuan untuk melawan radikalisme. Padahal, integritasnya masih dipertanyakan. Begitu juga dalam kasus revisi UU KPK dan isu Tes Wawasan Kebangsaan.

Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, Dekan FISIP UI, selaku pembicara ketiga menyatakan bahwa demokrasi adalah satu konsep yang akan senantiasa mengalami penafsiran ulang dan disesuaikan dengan praktek-praktek yang ada di tingkat lokal.

“Ada keragaman budaya politik yang membuat demokrasi tidak dipahami secara sama dalam praktiknya,” terang Guru Besar bidang Antropologi itu.

Kegiatan Forum Demokrasi ini diselenggarakan oleh FISIP UI bekerja sama dengan Yayasan Bani Abdurrahman Wahid (YBAW), Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, dan Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH UI).