Kekuatan sastra sebagai alat perlawanan bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah literasi dunia. Perlawanan karya sastra terhadap perbudakan di Amerika Serikat, seperti yang tertuang dalam film peraih Oscar 12 Years a Slave, juga diangkat dari novel karya Solomon Northup yang pernah terbit sejak tahun 1853. Hal tersebut menunjukkan betapa karya sastra memiliki keampuhan daya juang untuk mendobrak kesewenangan dan ketidakadilan yang diselenggarakan pihak penguasa.
Walaupun demikian, di era medsos ini, proses penyebaran berita bohong, hoaks, dan fitnah, dapat diorganisir secara masif dan cepat. Ia dapat beredar seperti wabah penyakit manular di mana serum dan penangkalnya sulit diproduksi secepat penyebaran wabahnya. Sedangkan, karya sastra, membutuhkan jeda waktu dalam proses penalaran dan pemikiran hingga mampu diakui oleh masyarakat luas. Di sisi lain, karya cipta untuk menulis hoaks dan fitnah begitu mudah dan dangkal, tanpa membutuhkan penghayatan dan perenungan yang mendalam.
Mendobrak fitnah kolonial
Hanya enam tahun setelah Solomon Northup menulis tentang nasib perbudakan yang dialami warga kulit hitam di Amerika Serikat, di tanah jajahan Belanda (Hindia Belanda) muncullah karya sastra berjudul “Max Havelaar” pada tahun 1860, yang ditulis oleh Multatuli. Novel itu menyangkal kepercayaan yang sudah baku tentang arus kolonialisme, bahkan menggugat para intelektual yang mengabdi pada kepentingan Barat, seakan-akan dunia Timur adalah sah untuk diduduki.
Teori dan alasan yang penuh tipu muslihat itu, didobrak oleh Multatuli melalui karya sastranya, bahwa perlakuan tak senonoh terhadap bangsa-bangsa Timur yang dianggap liar dan primitif, tak lain merupakan berita bohong (hoaks) untuk mengesahkan “tugas suci” atas penyelenggaraan kolonialisme oleh orang-orang kulit putih di Eropa.
Novel Max Havelaar, bagi saya sejajar dengan gubahan karya sastra dari penulis Banten, “Pikiran Orang Indonesia” (baca: Membangun Akal Sehat, Kompas 24 April 2018), seakan menguliti dusta dan fitnah-fitnah kaum penguasa di Indonesia selama 32 tahun militerisme Orde Baru. Kisah kehidupan Haris yang dikader dan ditatar sebagai alat negara pada masa itu, menarasikan generasi muda yang menjadi korban penjajahan dan ketidakadilan yang diselenggarakan para penguasa di negeri ini.
Ketika rakyat Indonesia menonton siaran televisi yang menunjukkan seorang petinggi militer menyampaikan pernyataan politiknya bahwa, “Masyarakat perlu tenang, karena keadaan di Timor Timur cukup aman dan terkendali.” Bagi penulis novel Pikiran Orang Indonesia (selanjutnya saya sebut ‘POI’), pernyataan politik penguasa itu, tak lebih dari hoaks dan fitnah sistematis yang dirancang sedemikian canggihnya. Sebuah kabar palsu yang disusupkan menjadi kepercayaan publik, untuk menutupi kebenaran fakta yang ada di belakangnya.
Sebagaimana ambisi kolonialisme, dengan fitnah pula mereka berjuang untuk meyakinkan dunia dan masyarakat di negeri jajahannya, bahwa misi kolonialisme tak lain dari “misi suci”, hingga diharapkan masyarakat dunia terus percaya dan memberikan dukungannya.
Perlawanan karya sastra
Kepercayaan publik pada hoaks kolonial yang sudah mengurat mengakar selama berabad-abad, akhirnya harus mengalami hukum alam (sunatullah) yang menjadi keniscayaan bagi kejatuhannya. Terbongkarnya kebohongan itu, persis laiknya karya Mishima (Jepang) tentang Kuil Kencana yang begitu lihai menutupi kebobrokan dinasti Samurai selama berabad-abad, namun kemudian, kuil megah dan mewah yang menjadi kebanggaan masyarakat tradisional itu, harus menerima kenyataan runtuh dan hancur berkeping-keping dalam kobaran api yang menyala-nyala.
Novel sejenis Max Havelaar sebagai kekuatan sastra seakan tidak ada matinya untuk terus melawan hoaks. Karya-karya seperti itu, mengikhtiarkan perjuangan yang tidak akan pernah berhenti setelah Indonesia merdeka secara fisik, bahkan setelah kita memasuki era milenial ini. Kita pun mengenal nama-nama Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra, hingga Wiji Thukul.
Melalui goresan pena mereka, kita semakin menganali karakteristik para penguasa yang seakan berbeda dengan hakikat pemimpin yang berfungsi sebagai penjaga amanat dan pelayan rakyat. Di masa kekuasaan Orde Baru, memang tidak banyak sastrawan yang konsisten memperjuangkan keadilan. Meski demikian, mereka mampu memperkenalkan kita, betapa timpangnya situasi-kondisi, antara pernyataan resmi pemerintah dengan akurasi data dan fakta yang harus dipertanggungjawabkan di ranah publik.
“Masyarakat perlu tenang, karena keadaan di Timor Timur cukup aman dan terkendali.”
Fakta historisnya, ratusan ribu rakyat sipil Timor-Timur telah terbunuh oleh anarkisme militer Indonesia sejak aneksasi wilayah teritorial mereka (1975). Hingga akhirnya, kita dipermalukan dengan kekalahan telak dalam referendum di tahun 1999 lalu. Terkait dengan itu, ketika majalah Jakarta-Jakarta melaporkan berita tentang kerusuhan di Santa Cruze (1991), serta-merta majalah itu dibredel, sampai kemudian pemrednya sendiri, Seno Gumira Adjidarma memilih untuk menulis sastra dalam kumpulan cerpennya yang berjudul “Saksi Mata”.
Ketika jurnalisme dibungkam maka karya sastra harus berani tampil ke depan. Karena pada prinsipnya, karya jurnalistik bicara dengan fakta, sedangkan karya sastra bicara dengan kebenaran berdasarkan imajinasi dan hati nurani penulisnya. Meskipun sebuah fakta dimanipulasi bahkan ditutupi dengan tinta hitam, tetapi kebenaran akan tetap tampil ke permukaan. Boleh-boleh saja buku sastra dibredel dan diembargo, bahkan oligarki kesusastraan dikuasai oleh rezim pemodal tertentu, tetapi kualitas sastra yang baik akan menyatu bersama udara, menyibak kabut hingga menembus ketinggian langit.
Kita mengingat ucapan sang maestro WS Rendra: “Saya menulis sajak dan puisi, dengan bahasa yang tidak mengawang-awang seakan hanya dinikmati oleh penulisnya, tapi dengan bahasa yang lugas dan jelas, meskipun tidak mengurangi kedalaman makna yang terkandung di dalamnya.”
Karya Pramoedya Ananta Toer
Dalam konteks melawan hoaks dan fitnah kolektif, data-data yang disodorkan Pramoedya begitu teliti dan akurat, seolah menciptakan benteng pengamannya sendiri. Lewat penuturannya yang naratif dan kontemplatif, karya-karya Pram mengajak pembacanya agar menyibak langit-langit pengetahuan seluas-luasnya, agar tak mudah terkecoh atau dikecohkan oleh pernyataan politis dari pihak penguasa. Dengan kata lain, ketika wawasan manusia terbuka terhadap segala pemikiran, maka hoaks dan fitnah tidak akan mendapat tempat dalam ranah kalbu dan hati para pembacanya.
Karya-karya Pramoedya tidak berada di ruang hampa. Ia merupakan produk sosial suatu masa yang berusaha menyampaikan kebenaran, menggugat ketidakadilan dengan bahasa yang sastrawi. Lewat karya-karyanya, ruang-ruang kesadaran dibuka. Perspektif baru dikemukakan. Seperti halnya membaca novel POI, setiap pembaca diajak berpikir terbuka dalam bentang wacana yang tidak dogmatis. Ada masanya kehidupan religius ditampilkan, tapi sama sekali jauh dari kesan primordial dan intoleran. Pada waktunya nanti, boleh jadi novel POI – sebagaimana karya Pram – tidak hanya menggerakkan satu-dua orang, tetapi membangkitkan kesadaran serta mengajak bangsa Indonesia agar introspeksi-diri atas kesalahan dan dosa-dosa kolektif yang telah diperbuatnya di masa lalu.
Jauh sebelum itu, satu buku berjudul “Max Havelaar” telah memberikan contoh konkrit, betapa ajaibnya peran dan fungsi sastra untuk membangkitkan kesadaran jutaan manusia di muka bumi ini. Berkat buku itu pula, peta politik dunia telah mengubah dirinya, setelah para penguasa kolonial dipaksa agar mengubah mindset dan pola pikirnya. Para intelektual dan pemikir progresif di Belanda bergerak untuk memaksa pemerintah agar menjalankan politik etik di negeri-negeri jajahannya. Mulai sejak itulah, berkat kekuatan karya sastra, wajah kolonial telah mengalami perubahan.
Selain itu, di samping alat perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, gaya pewartaan dalam karya sastra mampu menghaluskan perasaan dan menajamkan intuisi pembacanya. Bila kita menikmati narasi-narasi dari novel POI, nampak bahwa kita – selaku pembaca – seakan tidak hanya digerakkan oleh nalar, melainkan juga oleh hati kita. Itulah mengapa karya sastra dengan rupa-rupa alegori dapat membantu pembacanya agar memperhalus perasaan untuk konsisten mencintai kemanusiaan.
Jika sudah demikian, bagi para pecinta karya sastra, fenomena hoaks dan fitnah hanya akan menjelma sebagai pendusta kerdil dan picik, yang tidak ada pengaruhnya dalam benak dan pikiran pembacanya. (AN)
Wallahu a’lam.