Wawancara Pramoedya Ananta Toer: “Agama Tidak Pernah Menaruh Perhatian Soal Keadilan.”

Wawancara Pramoedya Ananta Toer: “Agama Tidak Pernah Menaruh Perhatian Soal Keadilan.”

Wawancara Pramoedya Ananta Toer: “Agama Tidak Pernah Menaruh Perhatian Soal Keadilan.”
Google pun memberikan apresiasi terhadap Pram dengan membuatnya google doodle ada hari kelahiran beliau.

Disclaimer: Wawancara ditulis ulang oleh Dedik Priyanto dari Majalah Syir’ah No. 30/IV/Mei 2004, dengan judul awal Pramoedya Ananta Toer: Partai Agama Bermental Pengemis

Di taman depan rumahnya tampak orang tua berkacamata hitam dan mengenakan kaos putih tengah sibuk memotong dedaunan. Tangannya pelan bergerak memilih tangkai yang hendak dipotong dengan gunting.”Selamat pagi, Pak Pram,” sapa Syir’ah.

Pram hanya menoleh dan tersenyum. Mungkin kurang mendengar.”Bagaimana kabar Anda, sudah sembuh?” tanya Syir’ah lagi. “Belum, belum sembuah kalau jalan masih goyang. Saya kira, saya sudah mati. Ternyata masih hidup,” kelakarnya sambil tersenyum lebar.

Pramoedya memang sudah cukup lama menderita sakit jantung. Seusai rawat inap di rumah sakit, Pram kini kembali melakukan aktivitasnya. Menulis? Sastrawan ini rupanya tidak sanggup lagi menulis. Dalam kondisi sakit-sakitan, menulis dan mengumpulkan data sejarah tidak bisa dilakukan lagi.

”Kerjaan saya biasanya Cuma motongi tangkai pohon dan membakar samapah saja,” ucapnya.

Bagi pram, kesehariannya kini tidak lebih dari sekadar menanti detik-detik akhir usianya. Ia pun sadar bukan lantaran sakit parah yang barusan menimpanya, tai sejak beberapa tahun terakhir Pram sadar akan batas usia. “Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan, mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung,”
katanya. Tapi begitulah Pram. Ia percaya pada dialektika hidup. Manusia hidup pasti akan menuju pada kematian. Karena itu pula dia tidak merasa sedikit pun harus takut, atau mengambil sikap hidup yang lain sebagaimana kebanyakan orang.

Bukan Pramoedya kalau tidak ‘keras kepala’. jika sudah menghendaki sesuatu, siapa pun tidak bisa menghentikannya bahkan negara pun akan dilawan jika bertentangan dengan sikapnya.

”Saya ini seorang individualis, menuruti kata hati. Berjuang sendirian sampai sekarang.” Penindasan orde baru pun dihadapi sendirian,”Saya selama 38 tahun jadi tapol tanpa diadili.”

Naskah-naskah dokumentasi karya Pram menjadi korban vandalism. Padahal buku-bukunya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Haknya sebagai pengarang telah dirampas. Pram menghabiskan  hampir separuh usianya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan dan penganiayaan.

”Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini,” ucapnya.

Dalam kondisi yang agak kurang sehat, empat hari menjelang pemilu 5 April 2004, Pramoedya Ananta Toer diwawancarai Faiz Manshur dari Syir’ah di kediamannya di Bojong Gede, Bogor. Berikut petikan wawancaranya.

Sebagai bagian dari proses demokratisasi pemilu diharapkan menjadi medium perubahan bangsa ke arah lebih baik. Bagaimana anda menilai pemilu sekarang?

Pemilu sekarang ini belum mempunyai arti bagi bangsa Indonesia karena saya melihat perkembangan manusia Indonesia itu sendiri belum beres. Apa sebabnya? Karena bangsa ini belum terdidik berproduksi.

Produksi itu kan menyebabkan pencarian, penambahan nilai, meningkatkan kualitas terus menerus dan menumbuhkan karakter. Ini tidak terjadi di Indonesia. Tanpa pengalaman produksi, jalan pintasnya pasti korupsi.

Produksi itu juga bentuk nation. Indonesia menjadi buruk karena factor itu. Birokrasi menjadi sarang korupsi. Padahal, merkea yang berada di jajaran birokrasi itu memegang kendali (administrasi) negara perannya sangat strategis. Saya tidak percaya dengan semua elit politik Indonesia. Juga para intektualnya, yang memilih diam dan menerima fasisme orde baru.

Produksi macam apa yang Anda maksud dalam hal ini?

Produksi apa saja. Banyak jalan untuk menuju ke sana. Yang jelas produksi itu mesti dimulai dari keluarga. Dengan kekuatan produksi ini diharapkan muncul bangsa yang berkarakter. Bung Karno sering mengatakan, kita ini masih bangsa kuli. Artinya mentalitas pesuruh. Ini karena tidak ada pendidikan produksi. Dengan pengalaman berproduksi akan meningkatkan nilai dan pengalaman. Lantas perkembangan bisnis dan segala-galanya ikut berkembang juga, terutama watak, karakter. Tanpa karakter, nyolong pun  mau, apalagi cuma korupsi. Kalau tidak dilakukan, pasti arah perkembangan suatu bangsa tidak karuan.

Tapi sekarang dan beberapa partai baru yang menjadi konsisten pemilu. Banyak orang menilai pemilu tahun ini bagian dari kemajuan bangsa.

Saya tidak percaya, sebelum berkembang individualitas-individualitas dalam masyarakat. Sekarang di Indonesia yang ada hanyalah kelompok-kelompok. Mereka tidak mempunya individualitas. Beraninya amut grubyuk (ikut gerombolan). Lihat saja tawuran-tawuran yang sering terjadi. Itu menunjukkan karakter masyarakat yang tidak punya keberanian individu. Beraninya tawuran. Keberanian individu yang berkembang di Indonesia itu baru di Aceh. Sementara yang  lainnya masih bermental ngawur. Desa lawan desa, pelajar lawan pelajar, kampung lawan kampung. Padahal secara tradisionil keberanian individu itu yang dikedepankan. Lihat wayang, kalau berkelahi satu lawan satu. Kenyataan sehari-hari kita lain.

Anda menganggap politisi yang berada di jajaran birokrasi sekarang ini tidak bisa diharapkan membangun Indonesia ke depan?

Kecuali anak muda, tidak ada sama sekali. Kaum democrat itu kebanyakan pembanyol saja. Orang-orang tua, termasuk saya ini kan hanya jadi beban saja. Harapan kemajuan bangsa ini hanya ada di tangan kaum muda. Generasi muda Indonesia itu selalu berhasil melahirkan sejarha. Sejak tahun 1915 sampai puncaknya pada Sumpah Pemuda. Revolusi 1945, tergulingnya dictator jawa Soeharto semua dilakukan oleh pemuda. Sejarah Indonesia adalah sejarah kaum muda. Cuma, kelemahannya, anak muda di Indonesia tidak mampu melahirkan pemimpin. Sejak muncul Indonesia, sampai sekarang kita baru memiliki satupemimpin, namanya Soekarno. Setelah itu tdiak ada sampai sekarang.

Kenapa kaum muda hanya bisa melakukan perlawanan, tidak mampu melahirkan pemimpin?
Why? Saya tidak tahu. Itu problem kalian. Saya sendiri tidak habis mengerti. Saya bingung, kok nggak sampai melahirkan kepemimpinan. Saya sudah anjurkan, bikin kongres nasional pemuda. Tapi sampai suara serak begini, ternyata tidak lahir apa-apa.  Mungkin karena anak-anak muda kita kurang mempunyai modal hidup yang kuat, terutama modal finansial?

Ya, karena ini juga anak muda jadi terbebani. Orang-orang tua itu mau mengeluarkan duit kalau ada kepentingannya. Lalu anak muda dibiarkan usaha sendiri semuanya. Orang tua di Indonesia otaknya sudah korup. Apalagi kalau orang tua itu berada dalam birokrasi. Saya tidak mempercayai mereka bis amendukung perubahan. Sejarah perubahan itu sejarah kaum muda. Jangan harapkan dari orang tua, apalagi negara.

Apa yang Anda harapkan dari anak-anak muda di tahun-tahun sekarang ini?

Saya kira perlu mewarisi anamat Bung Karno tentang revolusi yang belum selesai. Sekarang pembusukan politik menjadi problem yang belum selesai. Sekarang pembusukan politik menjadi problem utama. Dan in yang bisa menghentikan hanyalah angkatan muda. Kaum muda harus selalu melatih diri untuk berani mengambil inisiatif dan tanggung jawab risiko yang diperbuat, termasuk memperbaiki kesalahan diri sendiri.

Individualitas itu sangat penting untuk perkembangan karakter manusia dan bangsa. Karakter itu kan pembiasaan dari individu. Kalau dia tiap hari baca koran, misalnya, nanti ingin timbul karakter seseorang yang ingin terus menerus tahu perkembangan dunia.
Pemilu tahun 2004 diramaikan oleh partai-partai berbasis agama. Apakah partai itu bisa diharapkan menjadi katalisator perubahan atau justru sebaliknya?

Saya tidak bisa menerangkan soal ini. (Pram diam sejenak sambil mengisap rokoknya dalam-dalam). Tapi setidaknya, partai-partai yang menampilkan agama dan Tuhan itu tidak berdasarkan pada ketuhanan itu dasarnya mental pengemis. Ngemis berkah, ngemis kekuatan gaib, dan sebagainya. Maaf saya ngomong begitu. Kalau yang irasional semua pasti saya tolak, termasuk partai agama. Tapi kalau kita bicara soal isme, sebenarnya saya tidak menentang isme. Silakan saja penyebaran isme itu dijalankan. Isme apa pun pada dasarnya memang perlu dipelajari. Kalau mau mengkritik jangan ismenya karena itu hak public. Komunisme atau satanisme itu terserah. Isme itu kan ideology, artinya dunia prinspi yang harus dihargai.

Kalau seseorang yang terkait dengan salah satu isme melakukan pelanggaran hukum, misalnya, itu tidak bisa disalahkan ismenya, tetapi seret ke pengadilan. Perlu diperhatikan juga, antara ideology dan politik itu lain. Ideologinya A, politiknya belum tentu A.

Anda hanya menerima yang serba rasional dalam kehidupan?

Intinya, semua masih bisa diterima, tapi yang rasional. Yang bisa diterima oleh otak, yang tidak masuk akal, yang tidak bisa dibuktikan ditolak. Jadi yang tidak masuk akal tidak perlu jadi beban otak saya.

Manusia kalau masih tergantung pada agama atau Tuhan itu sebenarnya ditunggangi oleh kehendak orang lain yang mempunyai kepentingan. Katanya Tuhan adil, tapi pembunuhan penindasan terjadi di mana-mana. Itu enggak masuk akal. Yang masuk akal itu, ya akal sendiri. Rasionalitas yang memutuskan. Akal itu bahasa Arab, hukum bahasa Arab. Adil juga bahasa Arab. Kita belum mengerti sebelumnya. Sangat terbelakang. Tapi, orang pada memuji-muji kebudayaan kita masa lalu. Omong kosong. Kekayaannya melimpah-ruah justru jadi budak. Bangsa-bangsa miskin jauh-jauh datang dari Eropa ke Indonesia merajalela.

Apakah Anda sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap religiusitas?

Nggak sama sekali. Agama tidak pernah menaruh perhatian soal keadilan. Jadi ini pengalaman hidup saya sendiri yang mengajarkan kenapa saya hidup dalam rasionalitas total. Religi itu omong kosong. Itu orang yang menindas bangsanya sendiri, termasuk orang yang menindas saya itu orang-orang religius semua.

Soal agama itu juga menyangkut soal pribadi yang berkaitan dengan percaya terhadap aliran kepercayaan. Orang percaya terhadap aliran kepercayaan itu artinya seseorang sedang berhenti di terminal karena pikiran berhenti bekerja. Kalau seseorang mempunyai kualitas kepercayaan yang paling tinggi biasanya setelah melewati banyak terminal. Orang yang anti Tuhan (Ateis) biasanya justru mereka yang banyak berpikir matang, melewati berbagai jalan, tertambat di terminal-terminal, dan banyak memahami hal-ihwal ketuhanan. Saya sendiri termasuk orang yang banyak memikirkan tentang Tuhan dan agama. Tapi ternyata Tuhan dan agama hanyalah beban saja. Sekali lagi, soal Tuhan, saya tolak, sama sekali!

Tapi setidaknya, kita sering menghadapi hal-hal yang tidak rasional?

Iya saya pernah menghadapi hal yang tidak rasional itu. Beberapa tahun yang lalu, pernah ada kejadian, setiap malam pukul 10, istri saya terbangun dan teriak-teriak histeris. Saya tanya, ada apa? Kenapa tiap malam istri saya teriak-teriak. Setelah saya perhatikan, lantas saya suruh istri saya pindah kamar, lalu saya tidur di situ sendirian. Pas pukul 10 malam, betul terjadi sesuatu. Dari langkan jendela muncul cahaya pelangi. Cahaya itu bergerak memutar di sotoh kamar. Lalu saya gertak, “Mau apa lu.” Setelah saya gertak, cahaya pelangi itu bergetar dan keluar lagi.  Jadi memang saya saksikan hal yang gaib itu. Tapi buat apa dipikirkan begituan. Kalau saya layani, malah jadi beban otak saja. Lebih baik memikirkan hal-hal lain yang berguna.

Agama dalam pandangan Anda lebih sebagai problem ketimbang solusi. Bagaimana seharusnya melakukan rasionalisasi di tengah-tengah masyarakat kita yang religius ini?

Langkah rasionalisasi itu bagus, tapi tantangannya berat. Jangan dipaksakan. Ini bangsa masih religius, walau religiusnya semu. Kenapa semu? Karena kereligiusan orang kita tujuannnya hanya  untuk mengemis saja. Masyarakat kita sejak kecil diajarkan patuh pada Tuhan. Tapi apa itu Tuhan? Tuhan itu hanya berlaku bagi orang bermental pengemis.

***

AGAMA bagi Pram bukanlah gagasan ideal yang bisa diharapkan mengatasi persoalan kehidupan umat manusia. Tapi sekalipun Pram tidak bersahabat dengan ajaran agama, bukan berarti membutakan diri dari khazanah agama. Sebagai seorang penulis, berbagai karya Pram sarat dengan kajian sejarah agama. Sejarah masuknya ajaran Islam, misalnya, sering kali dikaji oleh Pram secara baik. Ada banyak pengaruh Islam yang dibawa pedagang-pedagang Islam yang berpusat di Spanyol dahulu kala. “Misi Islam yang dibawa ke Indonesia banyak unsur dagangnya,” tuturnya.

Pengaruh Islam di Indonesia adalah berkaitan dengan pembatasan poligami. Jika dulu di masyarakat kita ada tradisi poligami tanpa batas, dengan masuknya Islam, poligami dibatasi hanya empat. Tapi Pram melihat pengecualian pada adat pernikahan di Minahasa, jauh sebelum masuknya ajaran agama Kristen dan Islam, suku Minahasa tidak mengenal poligami. “Ini satu-satunya suku di Asia tenggara yang anti poligami,” kata Pram menegaskan.

Sebagai sastrawan, Pram dikenal sebagai orang yang rajin mengumpulkan dokumentasi sejarah. Dia dijuluki sebagai sastrawan sekaligus sejarawan. Berbagai karya sastranya yang berlatar belakang sejarah membuktikan bahwa pengetahuan Pram ihwal sejarah di Tanah Air sangat baik. Sayangnya, banyak dokumentasi yang musnah oleh perlakuan rezim Orde Baru.  “Tanpa sejarah, bangsa ini tidak akan bisa mengatasi kekacauan dan tidak bisa menata masa depan,” ungkapnya.

Nama besar Anda lekat dengan ideologi komunisme. Apakah Anda masih mempercayai ideologi komunisme sebagai senjata perlawanan terhadap kapitalisme-global?
Globalisasi itu perkembangan sejarah umat manusia. Globalisasi itu artinya kemenangan mutlak kapitalisme. Apa yang tidak dikuasi kapitalisme? Walaupun kapitalis-kapitalis dunia itu juga memberikan sebagian dari keuntungannya untuk sosial. Dari situ pajaknya dikurangi. Itu cara Amerika.

Komunisme tampaknya sudah ketinggalan kalau dijadikan alat perlawanan terhadap kapitalisme. Secara global sulit. Yang bisa diorganisasi adalah sosialisme, itu pun sebatas kelompok-kelompok lokal dengan cara menjalin kerja sama antarkekuatan kaum muda yang hidup dalam era global namun anti terhadap globalisasi. Karena itu kaum muda harus pintar bahasa asing. Ini syarat utama. Kelemahan generasi kita juga tampak pada rendahnya kebiasaan membaca. Kita memang ketinggalan jauh dari bangsa-bangsa maju lain.

Sewaktu Indonesia baru merdeka, yang bisa membaca hanya tiga persen dari jumlah penduduk. Nah, pada tahun pertama itu baru belajar membaca dan menulis di desa-desa, itu karena pemerintah Hindia-Belanda membikin sekolah rakyat. Itu yang membiayai sekolah pemerintahan desa sendiri. Dan perempuan lebih terbelakang lagi belajarnya. Kalau membaca saja masih enggan, apalagi menulis, bahkan menghimpun data-data historis?

Bangsa kita sangat tertinggal jauh dengan bangsa Eropa. Apa yang menjadi faktor penyebabnya?

Begini, kalau Eropa itu punya pengalaman, kalau seseorang mandi darah itu artinya meremajakan diri. Perang di Eropa itu artinya meremajakan diri. Tapi kalau tradisi kita, kalau terjadi perang itu mengulang-ulang, yang itu-itu juga. Berbagai tragedi penggulingan kekuasaan sejak zaman dulu kala di Jawa hanya mengulang tragedi, tidak lebih. Kayaknya, bangsa kita tidak mau mengerti sejarah. Coba baca kisah Babad Tanah Jawa.

Konon Anda termasuk tokoh yang pintar berbagai bahasa.

Saya tidak menguasai bahasa asing secara baik. Dulu semenjak sekolah SMP kelas 2, pada zaman Jepang, bahasa Inggris dilarang. Saya hanya menguasai bahasa Indonesia, itu mungkin masih kurang.

Kalau bahasa daerah seperti Jawa dan Sunda menguasai secara baik?

Saya memang orang Jawa. Tapi saya tidak suka bahasa Jawa. Saya tolak seluruhnya yang berasal dari Jawa. Jawa itu identik dengan javaisme. Dalam javaisme itu hanya tahu satu prinsip: menghormati atau menghargai. Artinya, membantu atasan. Nah, javaisme itu mengutamakan atasan. Apa itu bertingkat-tingkat hanya untuk menghormati atasan. Nggak karuan bahasanya.  Kalau ada orang Jawa ngomong menggunakan bahasa Jawa sama saya, risih rasanya.

Itu sebabnya tanpa perang pun Jawa pasti dijajah karena atasannya disogok habis. Saya tolak Jawa termasuk bahasanya. Saya lebih suka jadi orang Indonesia.