Abu Nu’aim al-Asfahani dalam karyanya Hilyatul Auliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’ mengisahkan sebuah kisah yang diambil dari Adam bin Abu Ilyas, bahwasanya suatu ketika ada seorang pemuda yang meminta sebuah catatan darinya. Pemuda tersebut mengambil catatan Adam bin Abu Ilyas untuk disalin, dan pemuda tersebut pun lantas menyalin catatan tersebut.
Melihat keadaan pemuda datang dengan keadaan yang sangat kotor, terbesit dalam hati Adam bin Abu Ilyas prasangka buruk terhadap pemuda tersebut. Namun, beliau buru-buru memupus prasangka tersebut dan akhirnya merasa iba kepadanya.
Tak lama kemudian sang pemuda kembali datang menghampirinya. Beliaupun kemudian memberinya beberapa keping dirham, akan tetapi sang pemuda tersebut menolak pemberian dari Adam bin Abu Ilyas.
Adam bin Abu Ilyas terus memaksanya, supaya pemuda tersebut mau menerima pemberian darinya. Namun, sang pemuda tetap saja menolak pemberian tersebut. Si pemuda lalu memegang tangan Adam bin Abu Ilyas, dan membawanya ke laut. Sesampainya di laut, sang pemuda mengeluarkan sebuah cawan dari lengan bajunya.
Pemuda tersebut kemudian menciduk air laut, dan menyodorkan cawan tersebut kepada Adam bin Abu Ilyas, seraya berkata “minumlah.” Adam bin Abu Ilyas yang masih penasaran dengan pemuda ini, langsung meminumnya. Namun, yang beliau rasakan di lidah sungguh mengherankan. Air laut yang biasanya terasa asin, kali ini justru rasanya sangat manis. Manisnya melebihi manisnya madu. Tidak masuk akal.
Melihat Adam bin Abu Ilyas yang terheran-heran, si pemuda langsung berkata,”Hal ini hanya bisa dilakukan oleh yang melayani Dzat, yang mana, hal ini adalah bagian dari kekuasaan-Nya.”
Adam bin Abu Ilyas kemudian bertanya tentang harta yang dimiliki oleh pemuda tersebut, akan tetapi ketika mendengar pertanyaan tersebut. Si pemuda tiba-tiba menghilang, dan Adam bin Abu Ilyas pun tidak bisa melihatnya.
Nama pemuda tersebut adalah Khadim al-Makhdum. Beliau adalah salah satu di antara orang-orang yang mempunyai kebiasaan berbeda dengan manusia pada umumnya. Dalam kehidupannya, Khadim al-Makhdum merasa cukup dengan bergantung kepada Dzat yang menciptakan semua yang ada di alam semesta ini yaitu Allah Swt.
Dari kisah ini dapat kita petik pelajaran. Dalam kehidupan di dunia ini, kita tidak tahu orang seperti apa yang dicintai oleh Allah Swt. Sebab orang-orang yang berkelakuan aneh, suka berkeliling di pasar untuk meminta-minta, atau mereka yang kotor dan terlihat gila, bisa jadi adalah hamba-hamba Allah Swt yang mempunyai kedudukan istimewa di sisi-Nya, karena keikhlasan dan kecukupan bergantung kepada Dzat yang maha mencipta.
Oleh karena itu, tidak patut bagi kita untuk memandang tampilan luar saja dari seseorang. Jangan menjustifikasi seseorang dari tampilan luarnya saja, bisa jadi orang yang tampilan luarnya buruk atau biasa saja, justru mempunyai kedudukan yang lebih tinggi di mata Allah Swt.
Sebaliknya, yang mempunyai tampilan bagus, perlente, penuh dengan gaya, bisa jadi justru jauh di mata Allah Swt.
Memandang dari penampilan luar saja sudah tidak patut. Apalagi sampai berprasangka buruk, kemudian meremehkannya. Karena kita tidak tahu siapa sebenarnya di balik sosok orang itu. Bisa jadi, ia adalah kekasih Allah Swt yang memang ditugaskan untuk menguji keimanan kita sebagai manusia.
Begitulah laku para kekasih Allah Swt, penuh dengan misteri dan rahasia. Umat manusia diperintahkan untuk mengambil hikmah dari sebuah misteri tersebut. Sebagai sarana bagi kita mendekat dengan Sang Pencipta, Sang Maha mencukupi segalanya.
Dan sejatinya, merasa iba terhadap seseorang tidaklah patut dibersamai dengan prasangka buruk. Karena hal tersebut bisa menjadikan amal seseorang menjadi tidak bermakna. Allah Swt akan menunjukkan kekuasaan-Nya, sebagaimana yang terjadi pada Adam bin Abu Ilyas yang berprasangka buruk pada Khadim al-Makhdum. Adam bin Abu Ilyas yang sempat berprasangka buruk, langsung diperlihatkan bahwa Khadim al-Makhdum mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah Swt.
Sifat berburuk sangka bukanlah bagian dari sifat-sifat yang disukai oleh Allah Swt. Dan inilah Islam, yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk selalu berbaik sangka kepada sesama dan berbaik sangka kepada Sang Pencipta.
Wallahu a’lam bisshawab.