Islam adalah agama yang mengatur berbagai aspek kehidupan umat manusia, baik yang berorientasi dunia maupun akhirat. Semuanya diatur oleh agama yang bernama Islam. Hal tersebut tidak lain karena tujuan disyariatkannya Islam adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun akhirat. Tujuan pertama ditetapkannya Syariah Islam (Maqasid Syariah) adalah Menjaga Agama (hifdz ad–din).
Dalam pandangan Abdul Wahab Khalaf dalam karyanya Ilm Ushul Fiqh, kenapa agama harus dijaga? Beliau memberikan penjelasan bahwa dalam agama terkumpul ajaran-ajaran yang berkaitan dengan akidah, ibadah, hukum yang disyariatkan Allah Swt kepada manusia. Semuanya terangkum dalam rukun Iman, dan Islam. Ajaran-ajaran agama tersebut merupakan pedoman hidup manusia.
Baca tulisan karya Nur Hasan atau seri kajian Maqasid Syariah lainnya di tautan ini.
Selain komponen-komponen akidah yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga ajaran-ajaran agama yang menjadi sikap hidup seorang Muslim baik dalam berhubungan dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan dengan sesama makhluk ciptaan-Nya sebagaimana disebut di atas yaitu ibadah, hukum, atau muamalah.
Para ulama terdahulu yang mempunyai peran penting dalam kajian Maqasid Syariah, dan Hukum Islam telah merumuskan berbagai kaidah dan aturan-aturan atau cara dalam menjaga agama. Mulai dari segi kepentingannya, maupun dari segi lainnya. Dan itu semua bersumber dari sumber-sumber utama ajaran Islam baik itu Al-Quran, Hadis, Ijma’ maupun Qiyas.
Cara Menjaga Agama dilihat Dari Kepentingannya
Penjagaan atau perlindungan terhadap agama sendiri tidak hanya asal-asalan, namun para ulama terdahulu telah memberikan berbagai tingkatan skala prioritasnya. Hal tersebut tidak lain karena ada banyak perkara agama yang sifatnya harus dilaksanakan guna menjaga eksistensi agama, di sisi lain ada perkara agama yang sifatnya sebagai pendukung atau pelengkap terhadap perkara yang harus dilakukan tersebut. Dalam diskursus Maqasid Syari’ah, hal tersebut dikenal dengan istilah al-dharuriyah, al-hajjiyah, dan al-tahsiniyyah.
Sehingga perkara-perkara yang mencakup bagian dari penjagaan terhadap agama, jika dilihat dari tingkatan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu al-dharuriyah (primer), al-hajjiyah (sekunder) dan al-tahsiniyah (tersier).
Tingkatan yang pertama adalah memelihara agama dalam tataran al-dharuriyyah. Maksud tingkatan ini adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada dalam agama itu sendiri seperti melaksanakan shalat lima waktu. Karena kalau shalat diabaikan, maka akan mengancam eksistensi agama.
Shalat adalah kewajiban bagi setiap muslim, sehingga kedudukan shalat berada di kebutuhan primer. Tanpa melaksanakan shalat, status keislaman seorang muslim dipertanyakan walaupun ia sudah bersyahadat. Atau dalam cakupan yang lebih luas adalah dengan melaksanakan lima rukun Islam yaitu bersyahadat, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan dan melakukan haji bagi yang mampu. Jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, atau diabaikan tentu akan mengancam eksistensi agama itu sendiri. Bagaimana bisa, mengaku beragama kok tidak melaksanakan perintah-perintah agama?
Tingkatan kedua yaitu menjaga agama dalam tataran al-hajiyyah. Maksudnya adalah melaksanakan ketentuan agama, dengan tujuan untuk menghindari kesulitan, seperti melaksanakan shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, tentu tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
Contoh lainnya dalam peringkat ini adalah mendirikan fasilitas-fasilitas yang menunjang keberlangsungan praktek keagamaan. Oleh karena itu, demi terlaksananya shalat dan praktek ibadah lainnya dengan baik dan tenang, maka dibutuhkan berbagai fasilitas seperti masjid. Walaupun tanpa masjid, shalat bisa dilaksanakan bahkan di manapun tempatnya asalkan suci dan tidak dilakukan di tempat-tempat yang dilarang. Akan tetapi hal tersebut bisa menyulitkan bagi yang melaksanakan praktek keagamaan.
Tingkatan ketiga yaitu memelihara agama dalam tataran al-tahsiniyyah. Dalam artian mengikuti petunjuk dan ketentuan agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Seperti membersihkan badan, pakaian, dan tempat ibadah atau melengkapi tempat ibadah dengan fasilitas yang mendukung kenyamanan beribadah. Misalnya ruangan masjid yang luas, tempat wudhu, kipas angin atau AC dan lain sebagainya. Kegiatan ini tentu erat kaitannya dengan akhlaq yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.
Pengelompokan-pengelompokan sebagaimana yang ada di atas, bukan menunjukkan bahwa sesuatu yang termasuk tahsiniyyah (tersier) dianggap tidak penting. Akan tetapi antara satu dengan lainnya itu saling menguatkan terhadap tingkatan-tingkatan sebelumnya yaitu al-hajiyyah dan al-dharuriyah.
Di atas adalah definisi tentang menjaga agama yang dipaparkan oleh para ulama, dan satu di antara banyak contoh tentang menjaga agama. Lebih jauh lagi, menjaga agama juga meliputi tentang hak beragama, hak menjalankan praktik beragama, hak dihargai dan hak berdakwah.
Bentuk Penjagaan Terhadap Agama
Menurut Imam al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, bahwasanya cara untuk menjaga agama dapat ditempuh dengan dua cara;
Pertama, dari segi adanya (min nahiyati al-wujud) yaitu dengan cara menjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya, seperti shalat dan zakat.
Kedua, dari segi tidak adanya (min nahiyati al- ‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya. Maksudnya adalah menjaga agama yang didasarkan pada larangan dan peringatan yang dibuat oleh Allah Swt. Seperti adanya Jihad dan hukuman mati bagi orang yang murtad, kemudian menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah Swt.
Karena Islam adalah agama yang sempurna, sehingga adanya perintah untuk beriman kepada Allah Swt, malaikat, dan lainnya, serta perintah melaksanakan rukun Islam, tidak lain adalah untuk menstabilkan jiwa manusia dan kehidupan masyarakat. Perintah-perintah tersebut tidak lain adalah untuk menjaga agama.
Karena agama selain menjadi pedoman hidup manusia secara individu, agama juga menjadi kontrol sosial di tengah masyarakat supaya masyarakat Islam dalam menjalani kehidupannya, tidak keluar dari aturan dan norma yang diajarkan oleh agama. Sebab, agama Islam bukan hanya mengajarkan bagaimana seorang hamba berhubungan dengan Tuhannya, tetapi juga mengajarkan bagaimana seorang hamba berhubungan dengan sesama makhluk ciptaan-Nya. (bersambung)
Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI