“Kita boleh curiga kepada kimia tanah dan air sumur di Jombang Selatan yang dulu membesarkan Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Asmuni. Pasti terdapat kandungan zat tertentu yang aneh di sana yang mendorong the three crazy boys ini rajin menyodorkan hil-hil yang mustahal,” tulis budayawan Emha Ainun Najib sekitar tahun 80-an.
Tulisan Cak Nun di atas yang tayang di Tempo dengan judul “Tharikat Nurcholishy” agaknya tidak terlampau berlebihan. Tentu kita sadar bahwa kedua tokoh tersebut sempat mengharu biru di Indonesia, khususnya pada tataran alam pemikiran Islam. Keduanya, hingga saat ini masih ramai dibincangkan di banyak tempat, entah itu gagasan, tindakan, atau teladannya.
Menarik kiranya jika kita telusuri mengapa Gus Dur dan Cak Nur hingga detik ini masih ramai dibincangkan seolah-olah keduanya berada di tengah kita, masih begitu segar terasa. Mengapa?
Tulisan pendek ini kiranya akan sedikit menyinggung pertemuan dua tokoh tersebut sekaligus menjawab mengapa Gus Dur dan Cak Nur hingga saat ini masih bisa dirasakan kehadirannya.
Islam sebagai agama yang turun ribuan tahun lalu hingga kini telah melewati lintasan sejarah yang panjang dan telah bersentuhan dengan berbagai peradaban. Sebagai penunjuk jalan kehidupan umat manusia, ajaran agama Islam senantiasa dituntut untuk merelevansikan ajarannya dengan zaman, sehingga Islam yang turun ribuan tahun lalu bisa menyesuaikan dengan konteks zamannya. Tidak terkesan tertinggal, apalagi baku.
Dalam hal ini istilah pembaruan Islam muncul. Pembaruan Islam bukanlah semata-mata untuk mengubah ajaran Islam yang telah mapan, melainkan sebuah upaya untuk menampilkan ajaran agama Islam agar lebih men-zaman dan kontekstual. Pembaruan Islam merupakan respons terhadap realitas dan tuntutan aktual tertentu, baik menyangkut doktrin keagamaan maupun realitas sosial, seperti ekonomi, politik, dan adat.
Di sinilah Gus Dur dan Cak Nur hadir, kedua tokoh ini hadir menjawab kebutuhan zaman, di mana Islam tengah dikepung oleh modernitas dan seakan-akan belum siap menyesuaikan diri dengan zamannya. Gus Dur dan Cak Nur dengan kedalaman dan keluwesan ilmunya menawarkan gagasan segar dan terobosan-terobosannya.
Gus Dur memiliki pandangan dasar bahwa Islam harus secara aktif dan substantif ditafsirkan dan dirumuskan ulang agar tanggap terhadap tuntutan modernitas.
“Pemahaman ajaran-ajaran Islam akan terus-menerus mengalami pembaruan sesuai dengan aspirasi yang terus berkembang di kalangan masyarakat yang memeluknya,” (Prisma Pemikiran Gus Dur).
Antara lain bentuk gagasan yang ditawarkan Gus Dur adalah demokrasi.
Bagi Gus Dur, demokrasi adalah persamaan hak, menghargai pluralitas, tegaknya supremasi hukum, terciptanya keadilan serta kebebasan menyampaikan aspirasi. “Perjuangan menegakkan demokrasi menjadi inti kehidupan saya” ungkap Gus Dur. Sejalan dengan itu, proses penegakan demokrasi pada gilirannya akan menekankan pada nilai egalitarianisme dan pluralisme. Semuanya saling berkelindan.
Sementara itu, di pihak lain Cak Nur tidak kalah tangguh ikut mendorong transformasi masyarakat Muslim untuk merespons dinamika sosial yang terus berubah. Ini terbukti dari berbagai serakan tulisan Cak Nur yang progesif menyikapi perubahan zaman. Gagasan sekularisasi misalnya.
Sekularisasi yang dimaksudkan Cak Nur adalah bagaimana umat Islam mampu menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan meng-ukhrawikannya. Hematnya, sekularisasi yang ditawarkan Cak Nur bukan dimaksudkan untuk penerapan sekularisme lalu mengubah umat Islam menjadi sekuler.
Nampaknya, di sinilah antara lain titik pertemuan antara Gus Dur dan Cak Nur. Keduanya tampil sebagai seorang tokoh yang senantiasa berusaha menyesuaikan ajaran Islam, menampilkan wajah baru Islam yang lebih progesif dan inklusif. Keduanya tampak tengah berusaha melakukan proyek-proyek tentang pemahaman perlunya pemahaman Islam kembali agar ia tangguh merespons perubahan-perubahan sosio-budaya yang begitu cepat.
Selain apa yang telah disebut di atas, baik Gus Dur dan Cak Nur keduanya adalah santri tulen asal Jombang dan memiliki rantai keilmuan yang sama, yakni kepada KH Hasyim Asy’ari. Sama-sama belajar kitab kuning dan sama-sama belajar kitab-kitab putih. Gus Dur Jombang-Kairo sementara Cak Nur Jombang-Chicago.
Lalu mengapa hingga kini kedua tokoh tersebut masih terasa begitu segar, kiranya perlu kembali kita renungkan sebuah ungkapan yang berbunyi:
اذاختلف الناس بين قادح ومادح فاعلم انه عظيم
“Ketika sesosok manusia dipuji sekaligus dibenci, ketahuilah dia adalah seorang tokoh besar, orang yang hebat.”
Baik Gus Dur dan Cak Nur keduanya adalah tokoh yang satu waktu banyak dipuja-puja, namun di lain waktu tidak sedikit secara terang-terangan ia dicaci dan dijatuhkan. Memang begitulah alamiahnya sesosok tokoh besar, ia mendapat pujian sekaligus juga menerima cacian.
Atau begini, yang sekaligus menjadi akhir dari tulisan ini- ada sebuah syair yang berbunyi:
أَخُو الْعِلْمِ حَيُّ خَالِدٌ بَعْدَ مَوْتِهِ # وَأَوْصَــــالُهُ تَحْتَ التُّرَابِ رَمِيْـــــمُ
“Seorang intelektual ia akan lestari hidup setelah wafatnya, sekalipun tulang belulangnya telah hancur digilas bumi.”
Iya ibu, kalau saya tidak salah ingat, ibu sempat bilang bahan bukunya berangkat dari makalah teman-teman mahasiswa, misal sudah ada bahan dan sesuai dg daftar isi yang ada, saya bisa ngebantu parafrase dan merapihkannya. Kalau misal, untuk membuat dari awal, saya tidak kompten untuk itu ibu.