Dulu ketika masih nyantri di Solo saya kerap jalan-jalan ke Gramedia. Masa itu (2005), fiksi Islam sedang jaya-jayanya. Saya masih ingat, di Gramedia Solo ada satu rak khusus untuk fiksi Islam, sebagian besar terbitan DAR! Mizan, kebanyakan karya anak-anak FLP (Forum Lingkar Pena). Lepas dari polemik adakah fiksi Islam (sebagaimana adakah jurnalisme Islam), fenomena maraknya buku-buku dengan logo FLP di sampul belakang memang mencuri perhatian. Meski pada akhirnya gegap gempita fiksi Islam harus berakhir, seiring meredupnya pamor FLP.
Lain dulu lain sekarang. Hari ini kita beruntung masih menemukan penerbit-penerbit Islam yang terus berkomitmen menghadirkan buku-buku bermutu. Buku Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto misalnya. Buku babon tentang sejarah para pendakwah Islam di Nusantara itu menolak menjadi buku musiman. Ia bisa dibaca kapan saja dan tak lekang dimakan zaman. Atlas Wali Songo penting karena menjadi panduan, pedoman dan teladan tentang bagaimana dakwah di Indonesia seharusnya dijalankan. Kita berharap buku-buku semacam itu semakin banyak diterbitkan.
Penerbit buku Islam di Indonesia selalu menarik dicermati perkembangannya. Salah satu tulisan yang merekam kisah panjang penerbit buku Islam di Indonesia datang dari Khamami Zada. Tulisan yang dimuat Jurnal Indo-Islamika itu berjudul Wajah Radikal Penerbitan Islam di Indonesia. Zada menandai tahun 80-an sebagai awal mula berseminya penerbit buku Islam. Dua penerbit yang cukup menonjol kala itu adalah Mizan dan Gema Insani Press (GIP). Menurut Zada, periode itu adalah periode kebangkitan penerbitan buku Islam, mulai dari aliran radikal hingga moderat.
GIP, sebagaimana dicatat Zada, cenderung menerbitkan buku dengan corak keislaman yang keras. Penerbit itu didirikan oleh Umar Basyarahin (pernah menjadi wakil ketua umum Al-Irsyad) di Jakarta, Mei 1986. Terbitan pertama GIP adalah buku tentang perang Afghanistan. Menerbitkan buku bagi GIP tak sekadar menyerbarluaskan pengetahuan semata, tapi mesti didasari semangat amar ma’ruf nahi munkar.
Mizan, seperti kita ketahui, banyak menerbitkan buku-buku Islam dengan warna moderat. Didirikan di Bandung tahun 1983 oleh Haidar Bagir, Mizan moncer karena menerbitkan karya-karya: M. Quraish Shihab, Nurcholis Madjid, M. Dawam Raharjo dan cendekiawan muslim Indonesia lainnya. Pada tahun 1997 Mizan melahirkan imprint baru bernama Penerbit Kaifa (menerbitkan buku-buku how to). Kehadiran Kaifa ditujukan untuk memperluas segmen pasar Mizan, terlebih kala itu buku-buku pemikiran Islam mengalami kejenuhan. Titik penting perjalanan Mizan terjadi pada 2002 ketika mereka mengakuisisi Bentang (penerbit novel laris Laskar Pelangi). Saat ini Mizan setidaknya memiliki delapan imprint dan sejumlah unit usaha.
Selain GIP dan Mizan, Zada juga menyoroti keberadan Penerbit LKiS di Yogyakarta. Penerbit yang digawangi anak-anak muda NU ini memilih menerbitkan buku-buku wacana keislaman kritis. Mereka berupaya memberikan alternatif dan mencoba keluar dari arus utama pemikiran Islam di Indonesia.
LKiS hadir di akhir tahun 80an dengan semangat menyebarkan pluralisme, untuk Indonesia yang lebih demokratis. Buku pertama yang ditelurkan penerbit yang dikelola alumni-alumni IAIN Yogyakarta itu adalah Kiri Islam karya Kazuo Shiogaki.
Penelitian Khamami Zada tidak hanya berhenti pada fenomena kemunculan tiga penerbit itu saja. Zada melihat setelah reformasi penerbit buku (Islam) kian menjamur seiring dengan datangnya angin kebebasan. Menurut Zada, penerbit buku Islam memiliki motivasi ganda dalam menerbitkan buku: sebagai bagian dari dakwah Islam dan sebagai bisnis. Sejumlah penerbit juga tampak berupaya menyebarkan paham keagaman mereka, seperti Ikhwanul Muslimin dan Salafi. Zada menemukan kaitan pemilik penerbitan dengan organisasi keagamaan tertentu, misal: Rabbani Pers yang dekat dengan PKS, Pustaka At-Taqwa yang dimiliki seorang Salafi, Penerbit Darul Falah yang didirikan mantan anggota NII KW 9.
Bagaimana dengan penerbit yang dianggap menyebarkan paham Islam radikal? Catatan Zada menunjukkan bahwa maraknya buku-buku Islam radikal merupakan imbas Bom Bali I tahun 2002. Selepas tragedi itu, rumah-rumah penerbitan ramai meluncurkan buku yang mengungkap ideologi jihad pelaku Bom Bali. Penerbit yang bisa disebut untuk mewakili kelompok ini antara lain: Jazeera (menerbitkan buku Aku Melawan Teroris dan menerjemahkan buku-buku aktivis Al-Qaeda), Kafilah Syuhada (menerbitan buku Trio Bali), Kafayeh, Darul Ilmi, Darul Haq, Arrahmah dan lain-lain.
Zada menyimpulkan: radikalisasi penerbit Islam dikemas dalam agenda jihad melawan thagut, pemimpin yang lalim dan tidak menegakkan syariat Islam. Jihad juga dikaitkan dengan perjuangan di sejumlah negeri Islam seperti Palestina dan Afghanistan.
Demikianlah selayang pandang penerbit buku Islam di Indonesia. Ke depan, menarik jika terdapat semacam review tahunan tentang perkembangan buku-buku Islam. Mengupas tren apa yang sedang berlangsung dan bagaimana pasar meresponnya. Tahun-tahun mendatang kita belum tahu akan kemana tren buku-buku Islam. Kita berharap semakin banyak buku yang mendedah persoalan umat Islam kekinian: radikalisme dan fundamentalisme. []