Jadi Muslim Kok Pemarah, Bikin Jelek Islam Saja

Jadi Muslim Kok Pemarah, Bikin Jelek Islam Saja

Menjadi muslim yang pemarah malah justru akan memperburuk citra Islam itu sendiri.

Jadi Muslim Kok Pemarah, Bikin Jelek Islam Saja
Ilustrasi orang yang sedang marah. Foto: (tradingpsychologyedge.com)

“Alangkah malunya jika dua saudara seatap berkelahi di depan tetangga”. Itulah gambaran bagi mereka yang menjadi muslim pemarah. Bahwa hanya sebab keyakinan berbeda dalam menerjemahkan teks agama sampai melahirkan kemarahan. Kemarahan mereka sering tampak dari caci misalnya: kafir, bidah, toghut yang dilontarkan kepada golongan lain.

Lebih-lebih mereka marah tidak hanya kepada nonmuslim, tetapi kepada muslim golongan lain. Muslim yang dimarahi pun kadang terpancing untuk marah juga. Jadi lah Islam saling marah-marah. Hal ini malah memperburuk citra Islam itu sendiri.

Baca juga: Kesalahan Abdullah Azzam dalam Memahami Ayat-Ayat Jihad

Hasilnya adalah muslim pemarah sering kali menjadi benalu di tubuh Islam. Padahal sebenarnya, saya pun selalu optimis bahwa di setiap jurang pemisah, pasti selalu bisa dibangun jembatan penghubung, kenapa harus dengan marah-marah?

Oleh sebab itu, harus ada upaya rekonsiliasi terhadap keadaan ini, karena bagaimana pun sesama manusia adalah saudara. Agar sitem sosial keagamaan tetap tebangun dengan baik, apa yang harus kita lakukan? Ini lah beberapa yang harus dilakukan menurut Ahmad Syarif Yahya dalam bukunya Ngaji Toleransi.

Hati-hati dengan ayat-ayat mutasyabihat

Inilah langkah pertama sebagai upaya rekonsiliasi. Fenomena muslim pemarah yang mendunia dengan segenap kontroversinya, bermula dari pendalaman yang berlebihan atas ayat-ayat mutasyabihat. Al-Qur’an sudah memperingatkan. Di antara isi Al-Qur’an itu ada ayat-ayat muhkamat atau pokok-pokok isi Al-Qur’an yang bersifat terang dan tegas maksudnya, dapat dengan dipahami dengan mudah. Yang lainnya adalah ayat-ayat mutasyabihat yaitu ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang di maksud kecuali diselidiki secara mendalam, atau ayat-ayat yang pengertianya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

Sebab lain adalah ayat-ayat mutasyabihat dapat menimbulkan ambiguitas dalam pemaknaan, itu berarti memerlukan penjelasan. Dalam memahami dan menyikapi ayat-ayat mutasyabihat diperlukan keahlian dan kemahiran dalam segala ilmu pokok Al-Qur’an agar tidak terjebak dalam pemahaman yang salah.

Hentikan perselisihan ijtihadiyah

Masalah-masalah ijtihadiyah (furu’) sudah seharusnya dinikmati sebagi rahmat, sebab perselisihan masalah ijtihadiyah hanya akan merobek ukhuwah Islamiyah. Boleh lah bermujahadah dan berdiskusi dalam masalah ini. Selama tujuannya semata untuk pertanggungjawaban ilmiah, bukan untuk menjatuhkan pendapat orang lain.

Memahami fikih, khilafiyah, dan cara menggunakan fikih

Ini menjadi penting, sebab perselisihan di tengah umat kerap terjadi disebabkan para dai atau pemuka agama yang hanya memahami fikih saja, atau memahami fikih berikut khilafiyahnya, namun tidak memahami bagaimana cara mengaktualisasikan fikih di tengah umat dengan benar dan toleran.

Para dai, untuk bisa memiliki sikap toleran dalam fikih setidaknya memahami beberapa hal berikut: memahami betul khilafiyah fikih, jangan mempertentangkan pendapat ulama satu dengan yang lain kepada masyarakat awam yang sudah mapan, berilah fatwa pada masyarakat awam dengan pendapat ulama yang mu’tamad (kuat).

Menyatukan persepsi istilah agama

Perselisihan umat yang fatal adalah sebab kesalahan memahami beberapa istilah pokok agama. Sementara mujadalah dan diskusi yang selama ini digelar, tampaknya belum bertujuan untuk mencari mufakat, selain hanya untuk menguatkan pendapat masing-masing golongan.

Dahulu kaum khawarij yang mengafirkan, menghalalkan darah dan harta golongan lain, karena salah memahami dan mendefinisikan istilah-istilah agama. Istilah kafir, murtad, iman, dan seputar itu paling rentan memecah belah umat ketika disalahpersepsikan. Jadi, berhati-hatilah dalam menafsirkan makna-makna agama.

Mendahulukan kepentingan umat muslim daripada madzhab

Masalah ini pula yang masih menjadi pekerjaan rumah kita. Satu-dua golongan masih lebih senang memperjuangkan agama dalam miniatur mazhab. Mereka mengkampanyekan Islam yang makro atau khilafah skala internasional, tetapi tak hentinya mereka menghujat golongan lain hanya karena berbeda dalam furu’iyah dan hal-hal yang semestinya bisa dibicarakan sambil menikmati kopi misalnya.

Jauhi takfir dan tahkim

Tidak ada yang lebih memecah umat Islam ini, melebihi takfir (mengkafirkan muslim lain) dan tahkim (menghakimi orang lain dengan cap sesat). Dalam hal ini Nabi sudah jauh hari memperingatkan dalam beberapa sabda, di antaranya: “Orang yang menuduh seseorang dengan kekufuran, atau dia mengatakan; ‘hai musuh Allah!’ sedang kenyataannya tidak, maka ucapannya kembali pada dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Khawarij saja yang telah jauh menyimpang sekalipun, tidak pernah dikafirkan oleh Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqash dan sahabat lain. Meski para sahabat dan tabi’in sepakat memerangi mereka setelah mereka bertindak makar terlebih dahulu. Ali memerangi mereka bukan sebab kekufuran, melainkan karena kezalimannya. Oleh sebab itu, Ali tidak mengambil harta mereka sebagai ganimah dan tidak pula menjadikan para wanitanya sebagai budak.

Mari kita lakukan hal-hal di atas agar hubungan dalam sosial keagamaan terjaga dan damai. Agar agama Islam khususnya, memberi aroma persatuan, tenggang rasa, saling memberi dan menerima kepada siapapun. Tentunya dengan itu semua, kita tak perlu jadi pemarah saat melihat perbedaan. (AN)

Wallahu a’lam.