Kesalahan Abdullah Azzam dalam Memahami Ayat-Ayat Jihad

Kesalahan Abdullah Azzam dalam Memahami Ayat-Ayat Jihad

Kesalahan Abdullah Azzam dalam Memahami Ayat-Ayat Jihad

Kata “Jihad” seperti yang dapat kita pahami pada tiga ayat al-Qur’an yang diturunkan di Mekah tidak mengandung arti “perang suci melawan orang-orang kafir”. Arti “Jihad” pada tiga ayat ini terbatas pada tiga aras makna; pertama, jihad bermakna ‘menyampaikan dakwah dengan argumen yang kuat dan memuaskan’, kedua, jihad bermakna ‘usaha untuk menahan impuls-impuls negatif dalam diri,’ dan ketiga, jihad bermakna ‘mengamalkan ilmu yang sudah diperoleh’.

Jadi, jika tiga ayat ini tidak dipahami berdasarkan konteks turunnya wahyu berdasarkan periode Mekah dan Madinah, logika yang melandasinya tidak akan bisa kita tangkap. Ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Mekah ialah ayat-ayat yang masih mengandalkan dakwah persuasif lewat penyampaian argument-argumen memuaskan dan seterusnya. Jadi jika dipahami di luar semangat ini, yakni misalnya semangat untuk berperang, tentunya pemahamannya keliru.

Baiklah kita coba lihat ayat-ayat “Jihad” yang diturunkan di periode Madinah. Surat al-Hajj ayat 38-40 menyiratkan menyiratkan pesan kepada Nabi untuk menggunakan perang sebagai bentuk pertahanan diri dari kaum Musyrik Quraish ini merupakan ayat-ayat Madaniyyah atau paling tidak ayat yang diturunkan kepada Nabi dalam perjalanannya menuju Madinah. Kita perhatikan tiga ayat yang mengizinkan Nabi dan kaum beriman untuk berperang sebagai pembelaan diri:

Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi membangkang (38). Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu (39). (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa (40) ”.

Tiga ayat ini membentuk satu konteks tertentu bagi apa yang disebut kemudian sebagai ayat-ayat pembelaan diri, yang gagasan intinya ialah: bahwa Allah itu Maha Pelindung dan Maha Pembela bagi orang-orang beriman di Mekkah sebelum hijrah dan bagi orang-orang beriman yang mengalami penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh kaum Musyrik Quraish. Dan karenanya, umat Islam saat di Mekah, tidak diperkenankan untuk melakukan aksi balas dendam terhadap orang-orang Quraish dengan cara licik.

Orang-orang Quraisy membunuh, menindas dan menzhalimi orang beriman tanpa konfrontasi secara langsung langsung sehingga tidak memberikan kesempatan orang untuk melawan dan membela diri. Karena itu, Allah tidak menghendaki pembalasan dendam terhadap orang-orang Quraish dengan cara-cara licik seperti ini: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi membangkang.” Jadi Allah menyebut cara penusukan, penganiayaan, penindasan yang tidak seimbang yang dilakukan oleh kaum musyrik Quraish terhadap orang-orang beriman sebagai pengkhianatan dan pembangkangan. Umat Islam dilarang menggunakan cara yang sama dalam menghadapi mereka.

Ketika posisi orang-orang beriman sudah kuat di Madinah, Allah mengizinkan mereka memerangi orang-orang kafir Quraish yang telah menindas, membunuh, mengusir mereka dari kampong halaman tanpa alasan yang benar dan seterusnya…dengan cara-cara licik (ghilah).

Allah juga melalui ayat di atas menjelaskan bahwa alasan diizinkannya perang ialah daf’un nas ba’dahum bi-ba’din, yang artinya menolak penindasan manusia atas manusia lainnya dengan menegaskan hak pembelaan diri bagi jiwa, harta, agama dari pihak orang-orang tertindas dan teraniaya. Perang yang diizinkan di sini ialah perang dalam pengertian konfrontrasi langsung, berhadap-hadapan, satu lawan satu, bukan dengan cara-cara menusuk dari belakang.

Ayat ini sudah sangat jelas: melarang perang dengan tidak berhadap-hadapan secara langsung. Ayat ini sebenarnya sindiran juga bagi para teroris yang menyerang penduduk sipil  dengan cara bom bunuh diri tanpa ada kesempatan lawan untuk membela diri. Ayat ini menegaskan perang dengan cara berhadapan langsung, dan tidak dengan cara-cara “dari belakang” yang licik seperti halnya teroris saat ini dan kaum kafir Quraish di era kenabian.

Allah menegaskan makna “perang” sebagai pembelaan diri dalam ayat-ayat al-Quran yang diturunkan di Madinah dan menolak berbagai cara-cara licik melawan musuh. Allah juga menegaskan bahwa perang itu harus berupa konfrontasi langsung yang menjadikan muslim dan kafir tahu niat masing-masing; yakni saling serang.

Dalam hal ini, Allah SWT berfirman dalam surat al-Anfal ayat 58:

Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.”

Sesampainya di Madinah, Nabi langsung membentuk beberapa pasukan “Jihad” untuk menyerang Quraisy yang telah mengusir umat Islam dari tanah kelahiran mereka. Penyerangan ini ditujukan pertama kali ke kafilah-kafilah dagang mereka agar kepentingan ekonomi Quraisy dapat dihancurkan terlebih dahulu. Di sini tidak ada cara-cara menusuk dari belakang. Pasukan Islam berhadapan langsung dengan Quraisy.

Demikian halnya juga ketika serangan-serangan “Jihad” kemudian menjadi perang secara langsung antara Nabi dan pengikutnya dengan pimpinan kaum musyriq Quraish dan semua yang berafiliasi ke mereka baik di dalam Mekkah maupun di luarnya. Semua ayat-ayat perang dan ayat-ayat seruan jihad yang turun di Madinah dikhususkan hanya perang antara umat Islam yang ditindas dan diusir dari kampong halaman dan orang-orang musyrik Quraish yang menzhalimi, menindas dan yang mengusir mereka.

Jadi oposisi biner yang bisa kita bentuk dalam peperangan antara Nabi dan kaum Musyrik Quraish ini ialah orang-orang tertindas vs orang-orang penindas, orang-orang yang diserang dalam keadaan lemah vs orang-orang yang menyerang dalam keadaan kuat dan licik. Semangat yang ada dalam ayat-ayat “Jihad” yang turun di Madinah ini terangkum dalam surat al-Baqarah ayat 218:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Nabi Muhammad SAW menjelaskan konteks jihad pada berbagai hadisnya. Misalnya hadis yang berbunyi: “tidak ada hijrah setelah pembebasan Mekkah, yang ada hanyalah jihad dan niat”. Ada ulama yang menafsirkan niat di sini sebagai ikhlas beramal hanya untuk Allah, artinya tidak ada lagi setelah pembebasan kota Mekkah yang namanya hijrah karena Mekkah sendiri sudah menjadi Darul Islam, dan itu artinya hijrah tiada artinya lagi, yang ada hanya ikhlas dalam berjihad. Para ulama juga mengemukakan bahwa hakikat jihad secara umum ialah:

استفراغُ الوُسْع والجُهْد فيما لا يُرْتَضَى وهو ثلاثةُ أَضْرُبٍ: مُجاهدةُ العَدُوِّ الظاهِرِ، والشيطانِ، والنَفْسِ. وتدخل الثلاثةُ في قوله تعالى: وَجَـهِدُوا في اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ

 “Mengerahkan segenap tenaga dan upaya untuk melawan hal-hal yang tidak disukai: melawan musuh yang nyata, syaitan dan pengaruh negatif hawa nafsu. Tiga hal ini semuanya masuk dalam firman Allah ta’ala surat al-Hajj ayat 78: ‘Berjihadlah untuk Allah dengan sebenar-benarnya jihad.’”

Dalam hadis Nabi juga kita temukan penggunaan kata jihad tapi tidak bermakna perang seperti yang dapat kita lihat berikut ini:

“لا يَجْهَدُ الرجلُ مَالَه ثم يقعد يسأَل الناس”

seorang laki-laki tidak boleh menjihadkan hartanya sehingga ia tidak memiliki apa –apa sehingga ia meminta-minta kepada orang-orang.”

Ibnu al-Manzhur menjelaskan dalam kamus Lisan al-Arab bahwa yang dimaksud yajhad malahu “menjihadkan hartanya” pada ayat di atas ialah yu’tihi wa yufarriquhu jami’an huna wa hunaka “memberikan harta dan membagi-bagikannya di sana-sini semuanya sampai habis” sehingga menjadi fakir miskin.

Dalam kesempatan lain juga, ada seorang yang menyatakan kepada nabi:

أُبايعك علـى الـجهاد، فقال (النبي): “هل لك من بَعْلٍ؟ أي من تعوله وتجب عليك نفقته كالأولاد والوالدين”؟

 “Aku berjanji setia kepadamu dalam jihad wahai rasulullah. Nabi pun kemudian bertanya: apakah engkau memiliki tanggungan.”

Yang dimaksud tanggungan di sini ialah orang-orang yang harus dinafkahi seperti orang tua dan anak-anak. Karena itu, berdasarkan hadis di atas, para ahli fikih memberikan syarat-syarat bagi orang yang hendak berjihad (yang sebenarnya fardu kifayah), salah satu di antaranya ialah izin dari orang tua dan tidak boleh membiarkan anak-anak kelaparan dan tidak terurus.

Jelas Abdullah Azzam dalam berbagai karyanya yang memfatwakan bahwa jihad ialah fardu ain serta  tidak perlu izin ke orang tua atau sebut saja jihad tanpa syarat sebenarnya bisa dikategorikan sebagai “jihad melawan ajaran nabi”. Lebih parah lagi, jihad yang hukum sebenarnya ialah fardu kifayah, menurutnya kedudukannya kadang lebih tinggi daripada salat dan puasa. Menurutnya, jihad ialah ahammu furudi ain (fardu ain paling penting di atas kewajiban-kewajiban lainnya). Ini jelas bertentangan pula dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi seperti telah dikemukakan di atas.