“If he’s good enough for you, he’s good enough for me”
“If he scores another few, then I’ll be Muslim too”
“Sitting in the mosque, that’s where I wanna be!”
“Mo Salah-la-la-la, la-la-la-la-la-la-la”
Itu adalah chant yang mengadaptasi lagu “Good Enough” karya band Dodgy pada tahun 1996 berisikan dukungan para pendukung kepada pemain depan Liverpool asal Mesir, Mohamed Salah.
Mohamed Salah masuk secara resmi ke squad Liverpool per Juni 2017. Sejak saat itu, ia menjadi primadona yang dielu-elukan Liverpudlian, fans Liverpool, tiap kali ia turun dalam balutan kostum the Reds. Bukan hanya soal olah bolanya yang sangat menawan, namun identitas keagamaan yang ia bawa dalam dunia sepak bola.
Tanpa mendiskreditkan kiprah pemain Muslim lainnya, Mohamed Salah tidak diragukan lagi menjadi pemain Muslim paling disorot beberapa tahun terakhir ini. Ia menjelma menjadi mesin gol Liverpool dalam meraih berbagai gelar dan, di waktu yang sama, tetap menampakkan identitas Muslim yang taat di atas maupun di luar lapangan.
Sebagai pemain Muslim, Salah tidak ragu untuk menunjukkan identitas keislamannya. Salah satunya lewat selebrasi gol. Ia kerap melakukan gerakan sujud tiap kali mencetak gol.
“Itu merupakan salah satu bentuk berdoa atau bersyukur kepada Tuhan atas segala yang telah saya dapat. Itu hanya sekadar doa dan berdoa untuk kemenangan. Saya selalu melakukannya, sejak saya masih muda, di mana-mana,” kata Salah dalam wawancara dengan CNN dikutip dari Liverpool.com.
Keterbukaan Salah tentang agamanya itu membantu menghapus stigma Islam sebagai agama yang eksklusif bagi banyak penggemar sepak bola. Seperti yang dikutip mirror.co.uk, setelah bertahun-tahun tumbuhnya Islamofobia di seluruh Eropa, kaum muda Muslim di Liverpool merasa agama mereka tidak lagi membuat mereka menjadi sasaran kebencian. Artinya, citra Islam yang membaik berkat Salah turut memperbaiki stigma warga non-Muslim terhadap warga Muslim lokal, khususnya di Liverpool.
Seperti yang ditulis oleh Republika, Prestasi Salah ternyata bukan sekadar torehan gol dan trofi di lapangan, melainkan juga terkait dengan identitasnya sebagai Muslim. Di tengah-tengah derasnya isu Islamofobia di wilayah Eropa, Salah seolah mewakili wajah lain dari seorang Muslim. Salah menjadi penggambaran Muslim yang berprestasi, ramah, dan rendah hati, berkebalikan dengan citra yang selama ini melekat pada Islam, khususnya di Eropa, yang lekat dengan radikalisme, kekerasan, dan terorisme.
Wajah Islam yang ramah itu dibuktikan dengan hadirnya yel-yel bernada positif dan sangat ramah terhadap keyakinan Salah. Frase “ If he scores another few, then I’ll be Muslim too” (jika dia menciptakan gol-gol baru, aku pun akan menjadi Muslim) menunjukkan antusiasme fans terhadap identitas Salah sebagai Muslim. Direktur Football Againts Racism in Europe, Piara Power, mengatakan bahwa itu menjadi yang pertama kali baginya mendengar yel-yel yang begitu positif dan menyenangkan yang menyangkut agama seorang pemain.
Menurut penelitian yang dilakukan Universitas Stanford, seperti yang dikutip oleh CNN, kedatangan Salah berdampak pada penurunan jumlah kejahatan rasial di Merseyside, kota di mana Liverpool berada. Mengacu pada situs resmi Premier League, terdapat penurunan kejahatan berdasarkan ras baik dalam kehidupan nyata maupun di dunia maya.
Ben Bird, menjadi pihak yang secara langsung mendapat pengaruh dari Salah. Bird adalah pemegang tiket musiman di Nottingham Fores yang menjadi mualaf karena terinspirasi dari Mohamed Salah.
“Mohamed Salah benar-benar menginspirasiku. Aku adalah pemegang tiket musiman Nottingham Forest. Aku bisa menjadi diriku sendiri karena aku menyatakan keyakinan bahwa aku Muslim. Aku tetaplah diriku, dan itulah yang bisa dipetik dari seorang Mohamed Salah. Saya ingin sekali bertemu dengannya, hanya untuk menjabat tangannya dan mengucapkan ‘Cheers’ atau ‘Syukran’. Ungkap Bird, dikutip oleh the Guardian.
Bird mengungkap bahwa dulu ia menganggap bahwa Islam adalah agama dengan orang-orang yang terbelakang, mereka tidak berintegrasi dan ingin menguasai segalanya. Saya selalu memandang Muslim seperti gajah di dalam ruangan. Saya memiliki kebencian terhadap Muslim. Namun, sejak mengenal Salah, perspektif itu berubah 360 derajat.
Mohamed Salah telah menciptakan citra yang baik tentang Islam di negari Ratu Elizabeth. Bahkan menjadi role model bagi pemuda pemudi Muslim di Inggris. Mengutip mirror.co.uk, kehadiran Mo Salah di Masjid Abdullah Quilliam, tepat di luar pusat kota, telah menarik lebih dari 100 anak muda untuk berdoa musim ini. Sholat Jum’at menjadi begitu populer hingga 500 jamaah memenuhi setiap ruangan.
Kita tentu sepakat bahwa citra positif Mo Salah berkelindan dengan performanya di atas lapangan. Dalam bahasa lain, jika di musim pertama saja ia gagal menunjukkan kemampuannya kepada fans Liverpool, mungkin citranya tidak akan sebaik sekarang. Pun jika pada akhirnya performanya menurun dan ia menjadi “mandul” dalam mencetak gol, exposure Salah bisa jadi tidak semegah sekarang.
Namun, justru di situlah letak kekuatan Mo Salah. Ia mampu memadukan konsistensi performa di lapangan dengan ketaatannya sebagai seorang Muslim. Dengan citra seimpresif itu, orang lain mungkin lalai dengan kehidupan dan prinsip-prinsipnya. Namun Mo Salah tetap teguh menginternalisasi dan mengeksternalisasi ajaran-ajaran Islam, baik di dalam maupun di luar lapangan.
Baca Juga, Mo Salah dan Upaya Mengubah Cara Pandang Barat Terhadap Islam
Di Mesir, Mo Salah mendirikan Salah Foundation yang telah membangun stasiun ambulans dan pusat untuk mendistribusikan makanan kepada kelompok rentan. Dia memberikan bantuan keuangan bulanan kepada lebih dari 400 keluarga miskin, dan dia membangun sebuah sekolah agama, untuk 1.000 anak laki-laki dan perempuan, untuk mengajarkan Islam moderat dalam upaya untuk menjauhkan kaum muda Muslim dari ekstremisme.
Mo Salah secara tidak langsung berkontribusi dalam mengikis stigma Islam yang lekat dengan kekerasan dan terorisme dengan meng-endorse wajah Islam yang rahmatan lil alamin di Inggris melalui sepak bola. Grazie, Mo.