Di mana-mana, Islam yang dikembangkan secara kaku-njeku itu tidak laku di pasaran. Yang saya maksud dengan “Islam kaku” adalah bentuk, corak, praktek, pemahaman, dan pemikiran keislaman yang kaku-regeng atau, menurut orang Jawa, “ngodor” kayak gantar atau pentungan atau tiang listrik.
“Islam kaku” adalah Islam yang menganut paham serba dikit: dikit-dikit haram, dikit-dikit kapir, dikit-dikit musyrik, dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit maksiat, dikit-dikit jihad, dikit-dikit neraka, dikit-dikit bidadadari dan seterusnya. “Islam kaku” adalah corak keislaman yang mengikuti aliran pokoknya begini, harus begini, tidak boleh begitu. Islam kaku” adalah sebuah jenis keislaman yang tidak mau “berkompromi” dengan aneka ragam budaya dan tradisi lokal masyarakat. Dalam pandangan para pengikut sekte “Islam kaku” ini, semua umat manusia akan masuk jurang neraka kecuali dirinya dan kelompoknya.
Keislaman jenis ini tentu saja tidak laku di masyarakat. Manusia adalah mahluk elastis yang lentur-tur laksana karet. Manusia bukanlah robot atau malaikat. Manusia adalah mahluk yang selalu merindukan relaksasi dan hiburan apa saja. Itu adalah “fitrah manusia”. “Islam kaku” tidak sesuai dengan “fitrah manusia” yang lentur itu, makanya mengalami penolakan dimana-mana. Lihat saja di Afganistan, di negara-negara pecahan Soviet, di Afrika Barat dan Utara, di Asia Tengah dan Selatan, di Iran, bahkan di negara-negara Arab, kehadirannya mendapatkan perlawanan sengit dari masyarakat setempat.
Dalam konteks Indonesia, sejak dulu kahdiran kelompok “Islam kaku” ini selalu ditentang dengan sengit oleh masyarakat setempat: di Minangkabau, Maluku, Jawa dlsb. Di Jawa, kelompok “Islam kaku” diledek dan mendapat perlawanan heroik dari “kaum abangan” atau “kaum abritan”.
Jangan dikira kalau “Islam kaku” itu diterima secara luas dan suka-rela oleh mayarakat Arab dan Timur Tengah. Anda keliru besar kalau menganggap Arab Muslim menerima kehadiran “Islam kaku”. Seperti kaum Muslim di berbagai belahan dunia, kaum Muslim di “padang pasir” juga sebetulnya tidak suka dengan “Islam kaku”. Salah satu bentuk ketidaksukaan atau ketidaksetujuan mereka dengan “Islam kaku” misalnya diekspresikan melalui berbagai bentuk “perlawanan budaya”–sebuah typical perlawanan dari masyarakat yang tidak mempunyai kekuasaan. James Scott menyebutnya, “weapon of the weak” (senjata kaum lemah) atau “power of the powerless”. Masyarakat Indonesia juga banyak yang melakukan aneka ragam “perlawanan budaya” terhadap kelompok sekte Islam kaku ini.
Karena merasa tidak laku, pendukung “Islam kaku” selalu menggunakan cara-cara kasar, kekerasan, premanisme. dan pemaksaan untuk memasarkan dagangan “Islam kaku” mereka. Karena itu memang satu-satunya cara untuk mendagangkan “Islam kaku” itu. Kalau laku kan ngapain repot-repot pakai cara-cara kekerasan, kan? Mereka bahkan tidak segan-segan untuk melakukan pembunuhan, penganiayaan, terorisme, dan bahkan perang demi mewujudkan “Islam kaku” ini.
Terhadap kelompok “Islam kaku” ini, jangan dilawan dengan pendekatan “Islam kaku” yang lain. Nanti yang terjadi adalah “kekerasan komunal” yang justru akan merugikan masyarakat banyak yang tidak tahu-menahu dan tidak ada sangkut-pautnya dengan sekte “Islam kaku”. Juga jangan lupa kita doakan mereka ya, semoga para penganut sekte “Islam kaku” ini mendapatkan hidayah dan segera insaf, taubat, menyadari kekhilafannya, dan berubah sim salabim menjadi pengikut setia “Islam lentur”.