Dari sudut pandang kaum Muslim, agama alam semesta ialah al-Islam, sikap pasrah yang total kepada Sang Maha Pencipta. Kitab suci memberikan berbagai ilustrasi tentang ketundukan, ketaatan serta kepasrahan alam semesta kepada Tuhan. Sikap kepasrahan ini seringkali dihubungkan dengan kata takwa. Istilah takwa yang populer terdengar yaitu menjalankan segala macam perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.
Dari segi tasrif, perkataan “islam” adalah masdar atau “kata benda kerja” (verbal noun) dari kata kerja “aslama-yuslimu”, sama halnya dengan perkataan “iman” yang merupakan masdar dari kata kerja “amana-yu’minu” yang artinya “mempercayai” atau “memasrahkan diri” atau “bersikap pasrah” dan “mempercayai” atau “bersifat percaya”. Oleh sebab itu, dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai sikap “beriman” dan “berislam”.
Seorang Muslim, setelah merujuk kepada segi tasrif perkataan Islam diatas mempunyai konsekuensi untuk tunduk, pasrah dan percaya kepada Allah swt. Sikap pasrah dan tunduk ini kemudian menjadikan seorang muslim untuk berlaku rendah hati, adil, toleran dan bijaksana dalam menghadapi setiap permasalahan yang ada.
Hal ini sejalan dengan perkataan hanif dan muslim ketika kata-kata tersebut digunakan oleh al-Quran untuk menjelaskan perilaku Nabi Ibrahim. Dua istilah hanif dan muslim itu menunjukan kepada pengertian “generik”, yaitu ajaran yang belum tertundukan oleh ruang dan waktu yang dapat menyebabkan hilangnya kemurnian serta memunculkan sifat sektarian dan komunalistik (semangat golongan).
Sifat sektarian maupun komunalistik itu seharusnya dihilangkan dari benak semua muslim, karena seorang muslim harus mempunyai sifat kehanifan seperti apa yang dilakukan oleh Nabi dan Rasul. Kehanifan ini kemudian dapat mengantarkan kepada rasa kemanusiaan yang tinggi dan berimplikasi untuk tidak melakukan tindakan-tindakan diluar kemanusiaan.
Tetapi dewasa ini kaum muslim seperti lupa akan ajaran kehanifan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pemberitaan-pemberitaan tentang berbagai macam tindak kekerasan, baik kepada sesama muslim yang berbeda pemahamanya maupun kepada golongan non-muslim. Hal ini mengakibatkan citra buruk bagi Islam itu sendiri.
Berkaitan dengan fenomena tersebut, Chaiwat Satha-Anand, pemikir dan aktivis Muslim dari Thailand, dalam bukunya yang diterbitkan PUSAD Yayasan Paramadina mengajak kita untuk menelaah kembali secara kritis kaitan Islam dan kekerasan yang sudah dianggap benar dengan sendirinya.
Lebih lanjut lagi tesis Satha-Anand di dalam bukunya yang berjudul “Barangsiapa Memelihara Kehidupan…”, sangat sederhana: Islam bisa menjadi sumber inspirasi untuk gerakan nir-kekerasan. Contoh nir-kekerasan -menurut Anand- bisa ditemukan di dalam sunnah atau teladan Nabi, terutama melalui dua contoh yang diulasnya: peristiwa sengketa peletakan batu hitam (al-hajar al-aswad), dan peristiwa penaklukan Mekah di mana Nabi memberikan pengampunan umum kepada penduduk setempat yang menjadi lawanya.
Masih banyak perilaku Nabi yang merepresentasikan nilai-nilai keislaman yang lurus yang kaitanya dengan mu’amalah, hubungan antar masyarakat. Agama dengan ajaran absolutnya seperti, rendah hati, adil, terbuka, bijaksana dan toleran dapat memberikan jalan keluar sehingga kekhawatiran yang dihadapi oleh masyarakat plural dapat dihilangkan, atau paling tidak ditekan sebisa mungkin. Sejarah masa silam membuktikan hal ini.
Dua pemeluk agama besar –Kristen dan Islam- pernah hidup berdampingan dengan serasi dan harmonis, kendatipun terdapat perbedaan anutan antara mereka. Antara al-Muqauqis yang sekaligus adalah Patriak Alexandria dan penguasa Mesir, dengan Nabi Muhammad Saw., terjalin hubungan yang sangat baik. Al-Muqauqis mengirimkan kepada pembawa ajaran Islam itu hadiah-hadiah, antara lain seorang putri Mesir yang kemudian menjadi ibu dari putra Muhammad saw. yang bernama Ibrahim.
Semua contoh-contoh di atas adalah sebuah kenyataan yang harus kita contoh. Tetapi karena keangkuhan dan kedangkalan pengetahuanya, sebagian umat muslim khususnya yang ada di Indonesia seakan-seakan melupakan ajaran-ajaran Islam yang mendamaikan itu. Umat Islam seharusnya menjadi penengah (al-wasîth), dan saksi (syuhadâ’) di antara sesama manusia. Itu sebabnya orang Islam disebut, dalam istilah sekarang, sebagai golongan “moderator” atau mediator, di mana orang Islam diharapkan berdiri tegak di tengah.
Seorang Muslim tak boleh ekstrem memihak terlalu jauh. Seorang Muslim harus selalu mempunyai dalam jiwa dan alam pikirannya melihat keadaan secara objektif, secara adil. Keadaan umat Islam sebagai penengah merupakan keadaan yang pernah dibuktikan dalam sejarah peradaban Islam, yang sangat menghargai minoritas non-Muslim (Yahudi-Kristiani). Sikap tersebut juga bisa disebut sebagai sikap inklusif.
Sikap inklusifisme ini ada karena Al-Quran mengajarkan paham kemajemukan beragama (religious plurality). Sikap inklusifisme dan pluralisme inilah yang telah menjadi prinsip pada masa jaya Islam, dan telah mendasari kebijaksanaan politik kebebasan beragama. “Meskipun tidak sepenuhnya sama dengan yang ada di zaman modern ini, prinsip-prinsip kebebasan beragama di zaman modern adalah pengembangan lebih lanjut, yang lebih konsisten dengan yang ada dalam zaman Islam klasik,” demian pendapat Cak Nur.
Berdasarkan argumen teologis tersebut, masih menurut Cak Nur, terletaklah cita-cita etika dan politik Islam di mana pun. Ia beranggapan karena cita-cita keislaman yang fitrah dan selalu merupakan pesan ad-din nashihah, (agama adalah pesan) itu sejalan dengan cita-cita kemanusiaan: sehingga cita-cita keislaman di Indonesia juga harus sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya.