Tauhid membawa manusia ke jalan Tuhan. Jalan ini termaktub di dalam Kitab Suci masing-masing agama. Manusia meyakini, semua agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian di tengah kehidupan umat yang sangat majemuk. Oleh karena itu, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sendiri mengatakan, “Tak peduli apapun agamamu, jika kamu bisa berbuat baik untuk orang lain, maka orang tidak akan bertanya apa agamamu”.
Pernyataan Gus Dur tersebut memiliki esensi dari makna Tauhid, memanusiakan manusia. Konsekuensinya, sebagai umat beragama yang bertauhid di tengah kemajemukan ini, manusia harus mampu memanusiakan Tauhid. Apa itu memanusiakan Tauhid? Sederhananya, adalah kemampuan untuk menciptakan keharmonisan umat beragama, yakni ketenangan hidup lahir dan batin.
Bagaimana mungkin manusia dapat menunaikan kewajiban sebagai umat beragama, jika kondisi dunia dipenuhi dengan perang, kekacauan, dan kebencian yang terus-menerus disebar, tidak tenang?
Esensi memanusiakan Tauhid ini dapat dipahami bahwa Wahyu Allah dan Sabda Nabi Muhammad SAW diturunkan untuk manusia. Artinya, hukum Islam diturunkan oleh Allah untuk kebaikan manusia, bukan untuk kebaikan Allah semata-mata, karena Allah yang menciptakan kebaikan itu sendiri.
Hukum-hukum Tuhan ini memunculkan problem karena kehidupan manusia yang terus berubah secara dinamis dari zaman ke zaman. Hal ini mempunyai konsekuensi, bahwa hukum Allah yang berupa teks harus dikontekstualisasikan. Sehingga hukum Allah yang sering disebut dengan syariat itu selalu relevan dengan perkembangan zaman.
Berbeda jika pemahaman manusia itu cenderung tekstual. Mereka hanya menyandarkan diri pada teks, maka dengan mudah menghukumi orang lain dengan berbagai tuduhan, seperti tuduhan sesat, kafir, bid’ah, dan lain-lain. Alasan yang dipakai bisa bermacam-macam, misal, karena ritual kegamaan yang dilakukannya tidak ada dalam al-Qur’an dan Hadits dan lain sebaainya.
Kontekstualisasi wahyu tersebut dilakukan bukan untuk mengubah syariat, melainkan agar kehidupan manusia tetap pada jalur syariat. Tujuannya jelas, untuk kebermanfaatan untuk umat (maslahah al-ummah).
Alasan kemaslahatan umat yang menjadi langkah ulama-ulama zaman dulu, khususnya ulama pesantren. Mereka tidak hanya menyandarkan diri dengan al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga menggunakan metodologi hukum lain seperti maslahah al-mursalah, ijma’, qiyas, urf, dan lain-lain. Berbagai metodologi istinbat hukum (istinbatul ahkam) ini tentu tidak terlepas dari dasar hukum utama, yaitu Qur’an dan Hadits.
Tulisan ini penulis sampaikan karena kondisi ironis yang terjadi pada sebagian kelompok umat Islam yang sering menggembar-gemborkan kalimat tauhid, tetapi tidak mampu membumikannya. Hal ini justru membuat perwujudan kemaslahatan umat yang diidamkan pada ulama terdahulu menjadi sukar dilakukan.
Tentunya kiat sering mendengar, mereka ini meneriakkan tauhid justru dengan gencar menebar kebencian. Bentunya bisa macam-macam, misalnya, menolak tradisi dan budaya bangsa, gemar mengafirkan sesama, hingga anti dengan Pancasila sebagai pemersatu seluruh elemen bangsa.
Salah satu contoh menarik bisa diambil ketika mereka menggelar arak-arakan bertajuk Parade Tauhid menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Ke-70 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2015 lalu. Dalam parade tersebut, kita bisa melihat beberapa oknum-oknumnya, seperti Abu Jibril, Al-Khothot, Habib Rizieq, maupun Muhammad Arifin Ilham. Secara umum, mereka ini adalah oknum yang kerap menggulirkan sikap-sikap intoleran terhadap kelompok lain, yang berbeda pandangan dengan mereka.
Abu Jibril misalnya, dia dengan lantang berteriak, bahwa siapa yang mengikuti Pancasila, maka akan binasa. Bagaimana mungkin manusia yang mengaku bertauhid bersikap demikian?
Buktinya dengan Pancasila, dia dan kawan-kawannya bebas secara hukum untuk menggelar Parade Tauhid, bukan? Di dalamnya menebar paham bahwa hormat kepada bendera merah putih hukumnya syirik, negara Indonesia adalah negara thogut karena hukum yang dipakai bukan hukum Islam, melainkan Pancasila sebagai dasar hukum. Satu lagi, mereka juga meneriakkan, bahwa nasionalisme tidak dalilnya dan lain sebagainya.
Perlu dicatat, nasionalismelah yang dulu mampu melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajah. Adapun jika saat ini kaum takfiri menolak nasionalisme, anti-Pancasila, apalagi menolak tradisi dan budaya luhur bangsa, maka bisa dikatakan bahwa mereka adalah kaum penjajah itu sendiri. Menariknya, sikap nasionalisme dibangun oleh para ulama—dan sekarang dipakai oleh ‘para penjajah’ itu—memakai kedok agama.
Bagi bangsa Indonesia, jelas jiwa dan raga para pahlawan tak mungkin diisi dengan mental intoleran, anti-Pancasila, nihil nasionalisme, apalagi enggan sekadar hormat pada sang merah putih. Jika dulu mereka bilang nasionalisme tak ada dalilnya, mungkin Indonesia tak akan lepas dari penjajah. Pancasila yang menyatukan lebih dari 400 suku di Indonesia, bagaimana mungkin mereka bilang yang ikut Pancasila akan binasa.
Itu hanya logika sederhana. Sehingga jika atas nama tauhid, namun yang ditebarkan adalah kebencian, dan atas nama tauhid tapi tidak menerima keberagaman, maka pada dasarnya mereka tak mampu memanusiakan tauhid. Bahkan, mereka cenderung menuhankan tauhid itu sendiri.
Bagi penulis, inilah ironi tauhid dari kaum takfiri. Wallahu’alam bisshowab…[]