Asmaul Husna Al-Malik dan Al-Quddus sama-sama menunjukkan sifat agung Allah. Namun, dari sisi yang berbeda. Al-Malik menunjukkan kuasa Allah atas apapun tanpa membutuhkan apapun, sedang al-Quddus menutup kemungkinan bahwa wujud dzat Allah, karena begitu tinggi keagungan-Nya, pernah terbayangkan oleh makhluk manapun.
Terkait dua nama tersebut, Allah berfirman dalam surat Yasin ayat 83:
فَسُبْحَانَ الَّذِي بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ
Maka Maha suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu.
Dan dalam surat al-Baqarah ayat 30 disebutkan:
نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ
Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau
Al-Malik dapat diartikan sebagai Maha Penguasa. Tapi, sifat kuasa Allah melalui al-Malik tidaklah sama seperti kuasa manusia. Setinggi apapun kekuasaan manusia di dunia, pada hakikatnya ia tak memiliki kuasa untuk tidak membutuhkan orang selainnya. Ia masih membutuhkan manusia lain untuk melanggengkan kekuasaanya, masih membutuhkan makan dan minum untuk hidup. Bahkan kadang masih dikusai keinginan sesaat dirinya sendiri yang justru berpeluang menghancurkan kekuasaannya sendiri.
Allah sebagai Al-Malik adalah dzat yang dzat serta sifatnya tidak membutuhkan satupun hal lain yang wujud. Bahkan sebaliknya, setiap hal yang wujud butuh terhadap Allah. Sehingga Allah adalah penguasa secara mutlak atas segala hal. Sementara manusia pada hakikatnya selamanya adalah seorang miskin, sebab tak lepas dari membutuhkan sesuatu.
Meneladani Al-Malik adalah manusia membuat dirinya tidak dimiliki atau dikuasai apapun maupun siapapun kecuali oleh Allah. Dimiliki atau dikuasai oleh Allah, berarti membuat dirinya sepenuhnya senantiasa menjalankan perintah serta menjauhi larangan Allah. Ini artinya ia juga harus bisa menundukkan amarah serta hawa nafsunya, dan tidak membuat keduanya menjadi penguasa sehingga bisa membuat si manusia melakukan hal-hal yang dilarang Allah.
Terkait hal ini, ada sebuah kisah menarik tentang seorang sufi dan seorang pejabat pemerintah. Si pejabat berkata kepada sang sufi:
“Mintalah sesuatu yang kau inginkan, kepadaku!”
“Bagaimana kamu berkata seperti itu, sementara aku memiliki dua budak yang menjadi tuanmu?” jawab sang sufi.
“Siapa dua budak itu?”
“Rakus dan nafsu. Aku kalahkan keduanya sementara keduanya mengalahkanmu. Aku kuasai keduanya sementara keduanya menguasaimu.”
Sedang Al-Quddus dapat diartikan dengan Maha Suci. Maha Suci artinya tertutupnya kemungkinan bahwa wujud dzat Allah pernah terbayangkan oleh makhluk manapun. Bagaimana bisa? Ya, karena apa yang pernah ditangkap oleh panca indra maupun pikiran manusia, baik itu dinilai sempurna maupun tidak sempurna, tidak lepas dari kekurangan yang tidak mungkin ada pada Allah.
Sebenarnya, kesempurnaan yang didasarkan dari penilaian manusia bukanlah kesempurnaan yang pantas disematkan pada Allah, sebab tak pernah lepas dari kekurangan. Sebagai contoh, manusia menilai jabatan presiden adalah sesuatu yang sempurna. Tapi, kesempurnaan itu pada dasarnya memiliki batas, atau pada hakikatnya tidak sepenuhnya sempurna. Karena seorang presiden tetap memiliki kekurangan seperti takut untuk dibunuh, bisa mengalami sakit, dan sebagainya. Sehingga kesempurnaan Allah di luar apa yang bisa ditangkap indra serta dibayangkan manusia. Hanya saja, Agama Islam memberi keringanan kepada manusia untuk menyematkan penilaian-penilaian sempurna kepada Allah.
Meneladani Asmaul Husna berupa Al-Quddus dapat dipraktikkaan dalam alam sadar serta keinginan manusia. Dalam alam sadar, manusia hendaknya mensucikan kesadaran dari hanya memandang segala sesuatu sesuai yang ditangkap oleh panca indra saja. Wujud sebuah pohon semisal, jangan hanya dipandang sebuah kayu dengan daun di dahan saja. Tapi, sebagai yang awalnya sebuah benih yang tumbuh dengan wujud indah. Yang tak mungkin tumbuh tanpa campur tangan Allah, sebagai pencipta segala sesuatu.
Sedang dalam keinginan, manusia hendaknya mensucikan diri dari hal-hal yang bersifat hanya memenuhi keinginan amarah serta hawa nafsu semata. Manusia perlu menata niat untuk melakukan hal-hal seperti makan, minum, menikah serta tidur, agar kesemuanya terlaksana demi melaksanakan perintah Allah. Makan, minum dan tidur agar tubuh kuat beribadah. Menikah untuk menjaga diri dari zina.