Inilah penampakan kitab “Izhar Zaghlil Kadzibin” karya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1915), kitab pertama di Nusantara yang “terang-terangan” mengkritik Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah. Ini adalah cetakan awal, yaitu di Padang 1906, sebelum dicetak ulang di Mesir. Dan konon kabarnya, yang mendorong Syekh Ahmad Khatib menulis kitab ini ialah Haji Abdullah Ahmad, seorang modernis dari Padang, yang sengaja bertanya tentang beberapa hal dalam Thariqat Naqsyabandiyah sesuai dengan pengetahuannya (Haji Abdullah Ahmad) tersebut. Syekh Ahmad Khatib, yang terlihat suka berpolemik itu, lantas menulis kitab yang hasil cetaknya berdurasi 155 halaman. Salinan kitab itu kemudian dibawa oleh Haji Abdullah Ahmad ke Padang untuk diperbanyak dan disebarkan.
Dari riwayat yang kita baca, diketahui bahwa Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi memang tidak memiliki jalinan keilmuan dengan Jabal Abi Qubays, pusat Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Mekkah, yang dihuni oleh ulama-ulama ‘alim, di mana kebanyakan beliau keturunan Kurdi. Entah dengan sebab apa. Padahal pelajar-pelajar dari Melayu secara umum, selain belajar di Masjidil Haram, lazimnya juga menimba ilmu dan mengasah spritual di Jabal Abi Qubays. Bisa jadi karena orientasi keilmuan yang digandrungi Syekh Ahmad Khatib, yaitu fiqih, lebih mempengaruhi jiwanya.
Seorang murid Syekh Ahmad Khatib di Batuhampar Payakumbuh, bernama Husein bergelar Ongku Kapalo Koto, ketika kitab Izhar dicetak, “membawa” kitab ini kepada Syaikh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka (w. 1920). Syaikh Muhammad Sa’ad ialah seorang ulama wara’, yang terkenal ke’alimannya dalam bidang fiqih, ushul, mantiq, dan, terutama, tasawuf-thariqat. Beliau merupakan murid Mufti Zawawi di Mekah (mufti Syafi’iyyah) dan pernah mengadakan kontak dengan ulama-ulama di Jabal Abi Qubaisy. Selain fiqih, beliau juga menerima ijazah Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah dari beberapa syaikh mursyid.
Atas pertanyaan yang sampai kepadanya, Syekh Sa’ad menulis bantahan terhadap Izhar, dengan judul “Irgham Unufil Muta’annitin”. Kitab ini dikirim ke Mekkah, Syekh Ahmad Khatib membalas kitab ini dengan judul “al-Ayat al-Bayyinat”. Kitab ini, atas desakan beberapa ulama, juga dibantah oleh Syekh Sa’ad dengan kitabnya yang berjudul “Tanbihul Awam”. Sampai di sini, kedua ulama ini berhenti berpolemik. Meskipun dalam otobiografinya, Syekh Ahmad Khatib menyebutkan kitab yang menolak “Tanbihul Awam”, namun sepertinya kitab itu tidak pernah sampai ke Minangkabau. Ulama-ulama thariqat, yang umumnya adalah pemangku surau, merasa “tenang” dengan kitab pertahanan yang ditulis Syekh Sa’ad tersebut.
Maulana Syekh Mudo Wali al-Khalidi al-Asyi tsumma al-Minangkabawi, ulama besar yang sangat berpengaruh di Aceh, pernah menulis, kira-kira: “….. Apabila engkau melihat kitab Syaikh Ahmad Khatib (yang membantah thariqat tersebut), maka jangan engkau terpedaya, sebab kitab itu seperti harimau yang telah dipancung lehernya.”
Setelah membaca (saya telah membaca kitab ini, sepuluh tahun yang lampau), dan saya bandingkan dengan bantahan Salafi-Wahabi masa kini terhadap Thariqat Naqsyabandiyah, menurut akal yang pendek ini, nyata bahwa bantahan-bantahan salafi-wahabi hari ini terhadap thariqat belumlah “setajam” apa yang pernah dilontarkan oleh Syaikh Ahmad Khatib, seabad yang lalu, yang terekam dalam Izhar.
Meskipun Syekh Ahmad Khatib Minangkabau pernah mengkritik Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, namun ini bukan bermakna beliau anti-thariqat. Beliau juga merupakan sufi, mursyid dalam Thariqat Khalwatiyah. Ini beliau jelaskan dalam kitabnya yang berjudul Fathul Mubin. Jangan pula heran, mengapa ulama saling bantah membantah, toh sama-sama sufi. Nah, ini hal yang lumrah di kalangan ulama. Khilaf dan ikhtilaf adalah sebuah keniscayaan, yang harus kita maklumi dengan lapang dada. Cuma wahabi saja yang menyatakan bahwa tidak harus ada khilaf dalam furu’ agama, hal mana ini adalah mustahil.
Ada kisah menarik, agak lucu. Beberapa tahun yang lampau, salafi-wahabi di kampung saya sangat antusias dengan Syaikh Ahmad Khatib, sebab beliau diyakini seakidah pula dengan wahabi. Beliau dianggap anti sufi, berakidah sesuai akidah Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim, menolak bid’ah khurafat orang surau, dan lain-lain. Sehingga, saking besar hati, mereka memakai nisbah “al-Minangkabawi” di belakang namanya yang menunjukkan mereka seide dengan Syekh Ahmad Khatib. Kemudian kita buktikan bahwa Syekh Ahmad Khatib bukan anti sufi, tapi adalah benar-benar sufi, malah beliau pernah menyatakan Ibnu Taymiyah sesat. Ramai-ramai pula kawan itu menghapus nama “al-Minangkabawi” dari belakang namanya.