Ketika Ibadah Haji Sebagai Ajang Konsolidasi Ulama Atas Penjajahan Belanda

Ketika Ibadah Haji Sebagai Ajang Konsolidasi Ulama Atas Penjajahan Belanda

Pada abad ke-19, perlawanan terhadap kolonialisme di Tanah Air dipelopori oleh ulama-ulama jebolan Haramain.

Ketika Ibadah Haji Sebagai Ajang Konsolidasi Ulama Atas Penjajahan Belanda

Meskipun haji ke Tanah Suci tercantum sebagai salah satu rukun Islam, namun ibadah haji bukan hanya persoalan teologis semata. Banyak fenomena sosial yang bermunculan karena ritual ini. Salah satu contohnya adalah berkumpulnya umat muslim dari seluruh dunia di Haramain. Lebih-lebih dari muslim Indonesia yang memang mempunyai keinginan kuat untuk bisa pergi ke Tanah Suci.

Niat yang kuat agar bisa menunaikan ibadah haji membuat masyarakat berlomba-lomba mengumpulkan uang. Bagaimanapun kondisi perekonomian keluarga, mereka masih menyisakan sebagian harta untuk ditabung demi mencium batu Hajar Aswad. Keinginan masyarakat untuk pergi haji rupanya sudah lama terjadi dalam sejarah perjalanan panjang haji di Indonesia.

Mengenai sejarah perjalanan haji, tidak bisa dipastikan kapan dan siapa orang Nusantara yang pertama kali pergi ke Mekah untuk beribadah haji. Menurut M. Shaleh Putuhena, sejak abad ke-16, umat Islam Indonesia telah melaksanakan ibadah haji. Martin Van Bruinessen juga menyatakan bahwa, menjelang pertengahan abad ke-17, banyak raja-raja Nusantara mulai mencari legitimasi politik di Mekah.

Meskipun beberapa kerajaan telah mengirim utusan ke Mekah untuk urusan politik, perlu dicatat bahwa tidak semua yang pergi ke Mekah di abad ke-17 dan 18 merupakan persoalan politik. Terdapat banyak orang yang memang pergi ke Mekah untuk berhaji dan menimba ilmu di sana, seperti Syaikh Abd Rauf al-Singkili (w. 1693), Syaikh Abd al-Samad al-Falimbani (w. 1789), dan Syaikh Arsyad al-Banjari (w. 1812).

Di sisi lain, Nusantara mulai abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20 sedang berstatus sebagai negara yang sedang dijajah. Dibentuknya VOC pada Maret 1602 juga menjadi persoalan bagi masyarakat, bukan saja karena melakukan eksploitasi sumber daya alam selama berabad-abad, tetapi mereka juga bersikap sentimen kepada orang-orang yang hendak menunaikan ibadah haji.

Upaya VOC untuk membendung ritual keagamaan tersebut semakin mempersulit masyarakat. Pada tahun 1651,  Gubernur Jendral Reyneirs mengeluarkan ordonansi agama. Maksud dari ordonansi agama adalah pelarangan segala bentul ritual selain ritual protestan. Oleh karena itu, ibadah haji merupakan aktivitas ritual Islam yang dilarang.

Tetapi, para kerajaan tidak mau kalah, mereka melakukan diplomasi kepada VOC agar bisa mengirimkan utusan ke Mekah, seperti yang dilakukan oleh Kerajaan Banten dan Mataram. Oleh karena itu, dari sini dapat digambarkan bahwa orang-orang dapat pergi ke Mekah pada saat itu hanya orang-orang tertentu, seperti diplomat, ulama, atau murid yang diutus oleh kerajaan untuk menuntut ilmu di Mekah.

Pada abad ke-19, Jendral Deandles dan Raffles juga menerbitkan undang-undang tentang haji untuk meminimalisir orang yang hendak melakukan ibadah haji. Mereka beranggapan bahwa ibadah haji merupakan bencana yang membahayakan kekuasaan mereka.

Upaya seperti memungut biaya yang tinggi, memberi denda, dan peraturan-peraturan lainnya hanya ditujukan untuk mempersulit masyarakat ke Tanah Suci.

Lambat laun, hal ini juga dirasakan oleh orang-orang yang berhasil berangkat ke Mekah dan menjadi perbicangan penting di kalangan masyarakat Nusantara yang ada di Haramain. Orang-orang asal Nusantara yang berada di Mekah jumlahnya cukup besar. Bruinessen (2012) mencatat bahwa di abad ke-19 jumlah mereka telah mencapai ribuan. Sebagian besar mereka menuntut ilmu dan bekerja.

Memasuki abad ke-19, perlawanan terhadap kolonialisme di Tanah Air dipelopori oleh ulama-ulama jebolan Haramain. Diskusi demi diskusi dilakukan di Mekah dan Madinah untuk memukul mundur Belanda dari Nusantara. Sejumlah ulama yang kembali ke Nusantara membangun masa berbasis agama dan melakukan pemberontakan.

Salah satu indikasi awal kesadaran anti-kolonial sebenarnya telah muncul pada abad 18. Hal ini dapat dilihat dari surat yang dikirim oleh ulama asal tanah air yang bermukim di Mekah kepada Sultan Hamengkubuwono I. Salah satu isi surat tersebut adalah pujian kepada raja-raja Mataram yang telah berjihad melawan kompeni dan anjuran untuk tetap meneruskan jihad.

Salah satu bentuk nyata dari konsolidasi di Haramain adalah pemberontakan di Banten pada tahun 1888. Mayoritas para pemberontak merupakan para tarekat dan para jamaah yang telah pulang dari ibadah haji. Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Wasid yang dimulai dari rumah Haji Ishak.

Meskipun sempat menguasai Cilegon, mereka akhirnya kalah kuat dengan tentara Belanda. Sartono Kartodirdjo, dalam Pemberontakan Petani Banten 1888, menyatakan bahwa pengejaran terhadap para pemberontak tersebut dilakukan hingga ke Haramain.

Perlawanan terhadap penjajah terus-menerus dilakukan oleh ulama-ulama selanjutnya. Seperti KH Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU), hingga akhir hayat beliau tetap mengumandangkan jihad melawan kolonialisme dan imperialisme.

Niat dan usaha para ulama untuk mengusir penjajah tidak hanya dikonsolidasikan di Tanah Air, ulama-ulama asal Nusantara yang menetap di Tanah Suci juga ikut terlibat dalam mewujudkan negara yang merdeka, bebas dari kolonialisme, dan berdaulat. Oleh karena itu, dalam sejarah bangsa Indonesia, ibadah haji bukan sekadar ibadah teologis, ia mampu membentuk solidaritas sosial masyarakat Nusantara.

Wallahu a’lam.