Di awal Ramadhan, saya dihubungi seorang teman terkait kehebohan di media sosial terkait seorang muslim yang melakukan siaran langsung (live) TikTok saat mengimami shalat. Tidak disebutkan lokasi kejadian tersebut. Namun, kabar ini langsung menjadi perbincangan netizen, bahkan beberapa tokoh agama turut berkomentar.
Ketua MUI, Asrarun Niam, menyebutkan bahwa, sepanjang pelaksanaan shalat memenuhi syarat dan rukun, diperbolehkan meski sembari live streaming di TikTok. Namun, beliau tetap menanggapi negatif terkait aktifitas saweran di live TikTok kemarin.
Saya hanya tersenyum kala membaca beberapa artikel tentang Imam salat sambil live TikTok tersebut. Sebab, ketika media, termasuk media sosial, mulai beririsan dengan masyarakat muslim, maka akan muncul beragam ekspresi-ekspresi baru di ranah agama. Namun, satu pertanyaan yang kemungkinan besar selalu saja terlintas di benak kita jika melihat atau menghadapi fenomena-fenomena baru ini, Apakah hal ini akan merusak agama yang kita peluk?
Sebelumnya, kita perlu memahami terlebih dahulu, bahwa yang terjadi di Tik Tok kemarin hanya sebagian kecil dari ekspresi yang muncul di saat teknologi media bersentuhan dengan ritual keagamaan. Dengan ini, kita tidak akan gegabah memandang negatif ekspresi tersebut ada di kehidupan kita sehari-hari.
Persinggungan antara agama dan media sebenarnya bukanlah barang baru. Kita mungkin sering sekali tidak menyadari bahwa relasi antara agama dan media tidak selalu bermakna negatif, seperti terjadi pendangkalan atau sekularisasi atas agama. Padahal, media turut berperan dalam setiap perkembangan agama, terutama di ranah pemeluknya.
Penyebaran agama cukup mendapat pengaruh besar oleh media. Percetakan Al-Qur’an, misalnya, adalah salah satu unsur keterlibatan media di ranah agama. Selain itu, agama di ranah sosial tidak dipahami sekedar sekumpulan ajaran agama, melainkan juga dilihat sebagai informasi yang harus terus ditransmisikan kepada manusia lain.
Kondisi di atas tentu menjadi titik awal untuk mempertimbangkan bagaimana konsumsi media dapat dilihat sebagai bagian dari kehidupan dan praktik keagamaan kita semua. Dalam kondisi ini tentu akan melahirkan beragam ekspresi keberagamaan baru. Beragam ekspresi tersebut sangat dipengaruhi media, termasuk internet dan media sosial. Selain itu, juga berimbas atau beririsan ke berbagai dinamika sosial lainnya.
Salah satu irisan yang paling awal adalah faktor ekonomi. Menariknya, respon kita atas irisan faktor ekonomi sangatlah beragam, entah secara sengaja atau tidak. Sebelum lebih jauh, kita perlu menyadari ketika agama beririsan dengan urusan uang, maka seringkali perbincangannya menjadi cukup sensitif. Terlepas dari sensitifitas tersebut, agama telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, termasuk urusan uang.
Hari ini, internet telah menjadi “tambang cuan” baru, banyak bermunculan peluang-peluang ekonomi di ranah internet. Kondisi ini tentu berimbas pada agama yang juga hadir di ranah internet. Banyak dari ekspresi keberagamaan di dunia maya, baik secara langsung atau tidak, memiliki irisan dengan urusan cuan.
Namun, terdapat kesenjangan yang cukup rumit terkait urusan ekonomi di ranah internet ini. Kita cukup sering terjebak pada klaim-klaim sepihak yang tendisius atas pihak-pihak yang tidak dalam posisi yang cukup kuat. Fenomena live kala menjadi imam di platform Tik Tok kemarin adalah salah satu buktinya. Mengapa demikian?
Kala imam shalat tersebut mengaktifkan fitur live dan gift di Tiktok, berbagai hujatan bermunculan. Walaupun ada netizen yang masih menganggapnya sebagai sesuatu yang sah-sah saja, mayoritas netizen dan para tokoh muslim lainnya justru menyayangkan ada fitur gitf yang dihidupkan kala live tersebut.
Persinggungan agama dan cuan memang seringkali “disangkal” dengan beragam alasan, terlebih jika berkaitan dengan otoritas agama. Padahal, agama dan ekonomi beririsan sudah lama dan memiliki hubungan yang naik turun, bahkan cenderung tidak stabil. Namun, jika kita melihat pada fenomena gift di live imam shalat tersebut, maka cukup banyak komentar negatif dan tudingan keras.
Memang, dalam fenomena itu, untuk pertama kali kita melihat wajah agama dan cuan cukup gamblang dan penggunaan teknologi baru. Padahal, jika kita mengulik lebih dalam, terlebih di bulan Ramadhan ini, irisan agama dan cuan lebih kentara dan gamblang ketimbang bulan-bulan lain. Bahkan, konsumsi agama cenderung meningkat di bulan suci ini.
Para pendakwah populer, misalnya, menggunakan momentum bulan Ramadhan dan fasilitas teknologi media sosial yang sama dalam irisan agama dan cuan. Dengan dalih eksklusifitas, mereka menghadirkan narasi agama yang berbeda antara yang berbayar dengan yang tidak bayar. Namun, tak ada komentar negatif yang mengarah pada mereka, apalagi tudingan miring.
Seorang content creator yang berfokus pada urusan ekonomi di salah satu kontennya menyebutkan bahwa, “Ramadhan adalah momentum masyarakat Indonesia untuk spend money lebih banyak dari biasanya.” Penjelasan yang cukup dalam oleh sang content creator tidak menyebutkan salah satu konsumsi atas informasi agama lewat internet adalah salah satu unsur spend money yang cukup tinggi.
Walaupun tak ada klaim dari hasil penelitian, saya cukup yakin momentum Ramadhan tentu terdampak pada konsumsi agama di ranah media informasi meningkat pesat. Lihat saja beragam program atau konten yang diproduksi banyak content creator di berbagai platform, dari sisi jumlah yang semakin banyak dan model yang makin kreatif tentu ini tanda tingkat permintaan dari netizen semakin banyak.
Wajah agama yang beririsan dengan media tentu akan menghadirkan beragam ekspresi baru di kehidupan kita sehari-hari, faktor ekonomi adalah salah satunya. Tentu kondisi ini akan mengajak kita untuk bernegosiasi, berkompromi, menolak atau setuju, hingga memodifikasi beragam ekspresi tersebut. Dan fenomena live Tiktok saat mengimami shalat menggambarkan pada kita terjadinya proses tersebut. [NH]
Fatahallahu alaina futuh al-arifin