Bolehlah kita merayakan idul fitri sebagai hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa, menahan makan minum dan hubungan seksual dari terbit fajar hingga maghrib selama sebulan penuh. Memang dua momen kebahagiaan yang sering ditunggu bagi orang yang berpuasa adalah ketika berbuka dan saat lebaran.
Namun, mengendalikan hawa nafsu merupakan tugas yang berlaku sepanjang masa. Sehingga masih ada sebelas bulan dalam siklus tahunan yang harus dijalani. Bulan Ramadhan waktu untuk latihan. Sesudah itu, justru kita masih menghadapi ujian yang tak berkesudahan. Ibarat pisau, Ramadhan hanya momen untuk mengasah dan menajamkannya agar siap dan mudah dipakai kembali.
Karena itu, idul fitri justru menandakan kaum beriman sudah siap mental untuk menjalani kehidupan seusai masa ujian. Jiwanya matang sebab terlatih mengendalikan nafsu dan emosi. Tahan menghadapi godaan sehingga mampu menghindari dosa dan larangan: berjudi, zina, mabuk, mencuri, dan seterusnya. Bagi yang pejabat, akan lebih bertanggung jawab dengan jabatannya, dan tidak melakukan korupsi. Bagi yang menjalankan bisnis atau berdagang, akan selalu berpegang prinsip kejujuran.
Dengan demikian, idul fitri merupakan momentum tumbuhnya dua hal sekaligus dalam diri setiap muslim: etos kerja dan mental melayani.
Pertama, tumbuhnya etos kerja yang baru. Puasa sebulan penuh, menahan lapar dan dahaga hingga waktu berbuka, telah membentuk mental untuk gigih berusaha. Tekad yang dilandasi keikhlasan mencetak jiwa yang tidak mudah patah, hingga mencapai tujuan yang ditetapkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, puasa akan melahirkan sosok yang mampu fokus pada pekerjaan, penuh dedikasi, semangat dan sukacita. Istiqomah dan tekun pada setiap profesi yang dijalani.
Seringkali rutinitas pekerjaan atau aktivitas sehari-hari dapat menyebabkan etos kerja melemah. Akibatnya rasa bosan gampang menghampiri. Dengan berpuasa, setidaknya dalam setahun sekali selama sebulan, dapat membantu memperbarui etos kerja kita.
Kedua, idul fitri merupakan momentum tumbuhnya mental yang siap melayani. Sebulan berpuasa telah melatih kaum beriman untuk memupus egosentrisme. Sehingga dalam jiwanya akan merembes sikap empati, murah hati, suka menolong dan siap bekerjasama dengan orang lain.
Dengan jiwa melayani, berarti seseorang sudah selesai dengan urusan pribadinya. Selanjutnya, selalu melihat dari sudut pandang kepentingan umum dan kemaslahatan bersama. Inilah gambaran tentang sebaik-baik orang, yaitu yang bermanfaat buat orang lain.
Dalam ranah bernegara, sosok dengan jiwa melayani ini sangat dibutuhkan dalam birokrasi negara kita saat ini. Mereka yang cekatan menyelesaikan tugas dan pekerjaan karena profesinya berhubungan dengan orang banyak.
Lebaran merupakan titik balik seorang muslim untuk lebih produktif, giat meningkatkan diri dalam kebaikan dengan etos kerja yang baru dan jiwa melayani.