Ini humor Gus Dur yang mungkin jarang kamu dengar. Seperti orangtua pada umumnya, seorang juragan perahu bernama Pak Joko mengirim anak semata wayangnya kuliah di Timur tengah. Harapannya, setelah lulus, ia bisa menggantikan peran bapaknya sebagai tokoh masyarakat sekaligus pemangku masjid.
Menjadi imam shalat, berkhutbah, mengampu majlis-majlis taklim adalah kegiatan yang dilakukan setiap hari oleh Pak Joko.
Begitu besar ekspektasi Pak Joko kepada anak laki-laki semata wayangnya tersebut. Tanpa melihat minat dan passion anaknya, sehingga ia terkesan mendekte dan memaksa si anak agar mau menuntut ilmu di Timur tengah. Bukannya belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh. Si anak tunggal malah gemar berfoya-foya sampai ia lupa dengan apa yang menjadi tugasnya. Tiap hari kerjaannya cuma senang-senang dan nongkrong di kedai-kedai kopi. Hal semacam ini dilakukan selama bertahun-tahun.
Delapan tahun berlalu, Pak Joko menelpon anaknya agar lekas pulang karena sudah lulus. Pikirnya, sudah saatnya tongkat kepemimpinan berada di genggaman sang anak.
Setelah tiba di kampung halaman, Pak Joko sumringah, tak sia-sia ia menjual empat perahu besar yang selama ini digunakan menjala ikan di laut.
Selang satu bulan semenjak kepulangannya, bertepatan dengan hari Jumat, Pak Joko meminta anaknya untuk khutbah shalat Jumat di masjid.
setelah adzan kedua dikumandangkan oleh Bilal. Si anak berdiri sambil memegang tongkat. Ia bersiap untuk berkhutbah.
Mendadak tangan dan kaki pengkhotbah gemetar.
“Alhamdulillah..!
“Alhamdulillah..!
Pengkhotbah diam sejenak sembari tengak-tengok ke kanan dan kiri.
“Alhamdulillah..!
“Alhamdulillah..!
Pengkhotbah nampak gugup dan sedikit linglung, bacaanya pun kurang fasih dan kedengaran tidak begitu jelas.
“Alhamdulillah..!
Merasa aneh dan sangsi dengan anaknya, Pak Joko langsung berdiri sambil berkata keras,
“Kurang ajar!, Empat perahu besar engkau tukar dengan lima Alhamdulillah”. Serentak para jamaah shalat Jum’at pun menoleh secara bersamaan.
Humor ini diceritakan oleh Almarhum Gus Dur pada saat mengisi Mauidhoh Hasanah di salah satu pondok pesantren Walisongo Sragen Jawa Tengah.