Setiap orang tentu memiliki kisah perjalanan hidupnya masing-masing, baik pendidikan, karir, hingga kisah percintaan. Dari perjalanan hidupnya itu, mereka akan sampai pada pencapaian-pencapaian tertentu sebagai hasil dari berbagai usaha yang telah dilakukannya.
Hasil yang mereka peroleh pun berbeda-beda, seorang santri misalnya, ada yang menjadi kyai di kampungnya, ada yang menjadi ustadz di pesantren, ada yang berhasil menduduki jabatan di lembaga-lembaga keagamaan, dan sebagainya.
Adanya perbedaan tersebut membentuk sebuah penilaian, ada yang dinilai sukses, ada yang dinilai biasa saja, hingga ada yang dinilai gagal. Hal ini kemudian seringkali memunculkan perasaan lebih sukses, atau lebih pintar, atau lebih tinggi jabatan, dan semacamnya di dalam diri seseorang.
Jika perasaan seperti ini tidak dikontrol, maka seseorang dapat terjerumus dalam sikap sombong, yakni ketika ia merasa lebih baik dari orang lain. Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, bahwa Allah SWT berfirman: “Kesombongan adalah surban-Ku, dan Keagungan adalah sarung-Ku. Maka, barangsiapa yang mengambil salah satunya dari-Ku niscaya aku lemparkan dia ke dalam api neraka.”
Sikap sombong merupakan kebalikan dari sikap rendah hati atau tawadhu’. Seorang yang tawadhu’ merasa bahwa dirinya tidak lebih baik dari orang lain. Dengan sikap ini, seseorang tidak akan pernah meremehkan orang lain, bahkan juga makhluk Allah lainnya seperti hewan dan tumbuhan.
Orang yang tawadhu’ tidak pernah merasa bahwa dirinya tawadhu’, namun orang yang berada di sekitarnya dapat merasakannya, baik dari perbuatan maupun perkataannya. Dan, orang yang merasa bahwa dirinya tawadhu’ sebenarnya ia justru sedang terjatuh dalam lubang kesombongan.
Dalam kitab al-Hikam, Ibn ‘Athaillah as-Sakandari (w. 709 H) mengatakan pada hikmah yang ke-238 (Ibn ‘Athaillah, al-Hikam, h. 84) bahwa:
مَنْ أَثْبَتَ لِنَفْسِهِ تَوَاضُعًا فَهُوَ اْلمُتَكَبِّرُ حَقًّا, إِذْ لَيْسَ التَّوَاضُعُ إِلَّا عَنْ رِفْعَةٍ. فَمَتَى أَثْبَتَّ لِنَفْسِكَ تَوَاضُعًا فَأَنْتَ اْلمُتَكَبِّرُ حَقًا
Barangsiapa yang menetapkan bahwa dirinya tawadhu’, maka ia sebenarnya sombong. Sebab, bukanlah sebuah sikap tawadhu’ kecuali (terhindar) dari perasaan lebih baik. Saat kamu menetapkan bahwa dirimu tawadhu’ maka saat itulah kamu sebenarnya sedang sombong.
Ibn ‘Ajibah (w. 1224 H) dalam Iqadh al-Himam fi Syarh al-Hikam menjelaskan bahwa tawadhu’ adalah bersungguh-sungguh (Mujahadah) dalam memosisikan diri pada posisi yang rendah. (Ibn ‘Ajibah, Iqadh al-Himam, h. 502) Menurut beliau, dorongan negatif dalam diri seseorang mendorongnya untuk merasa lebih baik. Di sinilah perlu dilakukan mujahadah untuk memerangi dorongan tersebut agar kita tetap dapat memosisikan diri tidak lebih baik dari yang lainnya.
Beliau melanjutkan, bahwa ketika seseorang mampu merealisasikan sikap tawadhu’, ia akan melihat bahwa semua makhluk hidup adalah sama, yakni semua merupakan ciptaan Allah SWT. Ia tidak merasa lebih istimewa dari seekor anjing, juga tidak akan merasa lebih perkasa dari seekor semut, dan sebagainya.
Terakhir, patutlah kiranya perkataan Abu Yazid al-Busthami (w. 188 H) yang dikutip oleh Ibn ‘Ajibah menjadi renungan bagi kita semua. Beliau mengatakan:
مَا دَامَ اْلعَبْدُ يَرَى فِيْ الْخَلْقِ أَشَرٌ مِنْهُ فَهُوَ مُتَكَبِّرٌ
Selama seorang hamba melihat makhluk (lainnya) lebih buruk dari dirinya, maka (selama itu) ia sedang terjatuh dalam kesombongan.
Semoga Allah SWT senantiasa mengaruniakan pertolongan-Nya sehingga kita mampu bersikap tawadhu’ dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu A’lam.