Jika dilihat dari sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam yang telah dimulai jauh sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia, ada beberapa cara dan upaya untuk mempertimbangkan suatu unsur struktur kebudayaan kedalam rumusan hukum Islam, yang ternyata telah dilakukan oleh beberapa tokoh di Indonesia.
Para pengkaji hukum Islam di Indonesia fase awal, telah memasukkan aspek budaya lokal dalam ijtihad yang mereka lakukan. Walaupun hasilnya tidak sampai muncul seorang mujtahid mustaqil, tetapi kita dapat melihat lahirnya berbagai karya dengan memuat analisa penemuan hukum yang kreatif, cerdas dan inovatif.
Salah satu tokoh yang mencoba menawarkan peradigma baru fikih yang bernuansa keindonesiaan adalah Hasbi Ash-Shiddieqy, yang merupakan seorang pakar dalam berbagai studi keislaman sekitar tahun 1940 an.
Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan cendekiawan muslim Indonesia yang lahir di Lhoksumawe, Aceh Utara pada 10 Maret 1904 M. Ayahnya adalah Teuku Kadi Sri Maharaja Mangkubumi Husein bin Mas’ud, seorang ulama yang memiliki lembaga pendidikan di Aceh. Sedangkan ibunya adalah Siti Amrah merupakan puteri Teungku Abdul Aziz, yaitu pejabat qadhi Chik Maharaja Mangkubumi dan seorang ulama kharismatik.
Walaupun tumbuh besar di lingkungan pesantren, namun pengalamannya dalam lingkungan reformis menjadikan pemikiran Hasbi progresif dan tidak mau terkungkung dengan pemikiran fikih yang jumud.
Salah satu ulama yang mempunyai jasa besar terhadap pemikiran Hasbi adalah Syekh Al-Kalali, seorang ulama asal Sudan yang telah memperkenalkannya terhadap pemikiran-pemikiran Ibnu Taymiyah, Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Selain itu, Hasbi juga belajar kepada Syekh Surkati, ulama Sudan yang berdakwah di Indonesia dan pendiri Al-Irsyad.
Artikel pertamanya yang berjudul “Memoedahkan Pengertian Islam” menjelaskan tentang pentingnya pengambilan ketetapan fikih dari hasil ijtihad, yang lebih cocok dengan kebutuhan tempat tersebut dalam konteks ini adalah Indonesia. Agar fikih tidak menjadi barang asing dan diperlakukan sebagai barang antik. Hasbi terlihat gamang akan prospek dan masa depan hukum Islam di Indonesia, yang tidak mempunyai arah yang jelas.
Hal tersebut akibat dari pengkultusan terhadap pemikiran hukum Islam yang telah terjadi, sehingga harus ditinjau ulang dalam kerangka dasar meletakkan sendi ijtihad baru. Konsep dan pemikiran hukum Islam yang terasa tidak relevan dan asing, harus segera dicarikan alternatif baru yang lebih memungkinkan untuk dipraktikkan di Indonesia.
Hingga selang waktu yang cukup lama, tepatnya hingga tahun 1948 gagasan awal fikih Indonesia belum atau bahkan tidak mendapatkan respon yang positif dari masyarakat. Melalui tulisannya yang berjudul “Menghidupkan Hukum Islam dalam Masyarakat” yang dimuat dalam majalah Aliran Islam, Hasbi mencoba mengangkat kembali ide besarnya itu. Dalam tulisan tersebut, dikatakan bahwa eksistensi hukum Islam pada tataran praktis telah sampai pada tingkat dekadensi yang klinis, tampil sebagai sosok yang asing, tidak berarti dan tidak berdaya guna. Kehadirannya tidak lagi dianggap ada oleh umat, karena tidak sanggup lagi mengakomodir berbagai tuntutan perubahan zaman.
Berawal dari kenyataan sosial dan politik itulah, pemikiran fikih Indonesia hadir dan terus mengalir serta disosialisasikan oleh Hasbi. Menurutnya, hukum Islam harus mempu menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang dari bidang muamalat yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu hadir dan bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat.
Para mujtahid atau ulama Indonesia dituntut untuk mempunyai kepekaan terhadap kebaikan yang tertinggi dan kreativitas yang dapat dipertanggungjawabkan dalam upaya merumuskan alternatif fikih baru, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya.
Untuk memecahkan masalah ini, Hasbi mengusulkan perlunya kerja kolektif (Ijtihad Jama’i) melalui sebuah lembaga permanen dalam pengertian legislasi baik berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, ataupun Rasionalitas melalui konsultasi dengan pemerintah, dengan jumlah anggota ahli dari spesialisasi ilmu yang bermacam-macam. Menurutnya, upaya ini akan menghasilkan produk hukum yang relatif baik dibanding hanya dilakukan oleh perorangan atau sekumpulan ahli yang sama.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Hasby menyarankan agar para pendukung fikih Indonesia mendirikan lembaga Ahlul Halli wal Aqdi. Dalam pandangannya, lembaga ini ditopang oleh dua sub-lembaga. Pertama, lembaga politik yang aggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang dipilih rakyat, dari rakyat untuk rakyat, tetapi harus menguasai bidang yang mereka wakili.
Kedua, lembaga Ahlul Ijtihad (kaum mujtahid) dan lembaga Ahlul Ikhtisas (kaum spesialis) yang juga merupakan perwakilan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Nalar berfikir yang digunakan Hasbi terhadap gagasan fikih Indonesia adalah satu keyakinan, bahwa prinsip-prinsip hukum Islam sebenarnya memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru.
Tahun 1960 M, Hasbi dinobatkan sebagai guru besar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berkiprah memajukan pengembangan studi Islam. Puncak dari pemikiran tentang fikih Indonesia ini terjadi pada tahun 1961, ketika Hasbi memberikan makna dan definisi fikih Indonesia dengan cukup artikulatif.
Dalam orasi ilmiahnya yang bertema “Sjari’at Islam Mendjawab Tantangan Djaman”, beliau secara tegas mengatakan, “Fikih yang berkembang dalam masyarakat muslim waktu itu adalah fikih Hijazi, Misri dan Hindi, yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Hijaz, Mesir dan India”.
Dengan demikian, Hasbi menyebutkan bahwa karakteristik yang khusus dari muslim menurutnya harus dikesampingkan, karena fikih asing tersebut dipaksakan penerapannya ke dalam komunitas lokal melalui taqlid.
Hasbi meninggal pada usia 71 tahun, tepatnya 9 Desember 1975 M di rumah sakit Islam Jakarta dan kemudian dimakamkan di komplek pemakaman UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumbangsih besar Hasbi terhadap fikih di Indonesia bisa dilacak dalam karya-karyanya, kurang lebih sekitar 73 karya, 36 di antaranya membahas tentang fikih.
Jasa besar Hasbi yang masih bisa kita rasakan sampai hari ini adalah gagasannya untuk mendirikan jurusan perbandingan madzhab di Fakultas Syariah dua kampus besar Islam, sebagai upaya agar umat Islam terlepas dari fanatisme madzhab yaitu di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang kini telah menjadi UIN.
Wallahu a’lam.