Halalbihalal di tengah tahun politik 2018 dan menjelang 2019 sangat strategis menjadi jalan damai kebangsaan. Di tengah menjamurnya isu SARA, kepentingan politik, kekerasan atasnama agama, terorisme, radikalisme, Halalbihalal menjadi wahana merajut dan memerkokoh perdamaian.
Halalbihalal sebagai tradisi maaf-memaafkan menjadi “hujan perdamaian” bagi bangsa yang mengalami kemarau kemesraan dan defisit kelembutan. Ttradisi yang hanya ada di Indonesia ini terbukti menjadi wahana membakar kebencian untuk menjadi perdamaian. Sebab, Halalbihalal merupakan soal memaafkan, bukan hanya personal, namun juga kebangsaan.
Dalam Halalbihalal, yang ada hanya orang bahagia, tertawa, damai, dan menebar cinta. Halalbihalal memertemukan dua, tiga, empat, dan ratusan insan yang sama-sama ingin meminta dan memberi maaf. Semua duduk sama rata, baik itu muslim, non-muslim, pejabat, rakyat, saat Halalbihalal tak ada sekat.
Bukan Negara Kekerasan!
Kekerasan bukan tradisi Nusantara. Bangsa ini dari dulu dikenal pemaaf, bukan pendendam. Meski dijajah ratusan tahun oleh Belanda, Jepang, dan lainnya, apa pernah Indonesia dendam dengan mereka? Justru, semua warisan yang mereka tinggalkan di negeri ini kita jaga. Ada museum, pusaka, stasiun, jalan, rumah, dan lainnya semua dijaga sebagai bukti Indonesia negara pemaaf.
Belakangan, adanya kekerasan di berbagai lini menjadi keprihatinan kita bersama. Semua itu harus dilawan dengan nafas kelembutan dan tindakan arif, baik di wilayah pendidikan, politik, maupun agama. Wahid Foundation sampai 2017 mencatat pada 2015 tercatat 190 peristiwa dengan 249 tindakan pelanggaran. Tahun 2016 terjadi 204 peristiwa dengan 313 tindakan pelanggaran kasus-kasus Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan (KBB).
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sepanjang 2017 mencatat 75 peristiwa kekerasan berdimensi agama dan keyakinan. Wilayah dominan terjadi persekusi atas nama agama, antara lain Jabar (17 kasus), Jateng (13), Jatim (7), dan Banten (7). Sejumlah kasus itu muncul sebagai ekses dari Pilkada DKI di tahun yang sama (MI, 12/2/2018).
Kita harus belajar dari kejadian ini, sebelum, saat, dan sesudah tahun politik sangat mungkin terjadi kekerasan. Patut kita antisipasi, Pilkada serentak 2018 di 171 daerah, dan Pemilu 2019 sangat besar potensi terjadi penyerangan, kekerasan, intimidasi, persekusi, bahkan bom bunuh diri akan terjadi sepanjang 2018-2019.
Apakah hanya kekeraan atasnama agama? Ternyata tidak. Awal tahun 2018 hingga akhir bulan Februari 2018, jumlah korban kekerasan seksual pada anak di Indonesia mencapai 117 anak dan 22 pelaku. Data KPAI itu cukup mengejutkan jika menilik pada tahun 2017 karena terdapat 393 korban dan 66 pelaku (Tribunnews.com, 19/3/2018).
Sampai Maret 2018, Komnas Perempuan menangani 348.446 kasus sepanjang 2017. Mulai dari KDRT, femicide (pembunuhan perempuan), poligami, dan perkawinan anak yang mendominasi kasus-kasus itu. Pada 2017, kekerasan terhadap istri menjadi kekerasan terhadap perempuan tertinggi dengan 5.167 kasus. Lalu kekerasan pacaran 1.873 kasus, terhadap anak perempuan juga lebih tinggi yaitu 2.227 kasus.
Dari data di atas, kita harus menegaskan Indonesia bukan negera kekerasan. Kekerasan secara komunal bukan kehendak pribadi, namun ada yang menunggangi, berbasis kepentingan, dan sarat akan kepentingan politik untuk membombardir ketahahan bangsa. Sedangkan kekerasan personal, lebih banyak didorong faktor psikologi dan skizofrenia sosial. Selain kebijakan pro perdamaian, yang perlu diperbaiki secara preventif adalah psikologi masyarakat, penguatan jiwa religius dan nasionalisme.
Jalan Damai Kebangsaan
Halalbihalal hanya ada di Nusantara dan sudah ada sejak era kolonial Belanda. Ada beberapa versi sejarah dan setting epistemologi Halalbihalal. Dalam KBBI (2018) daring, Halalbihalal berarti hal maaf-memaafkan setelah Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang.
Halalbihalal terbukti mampu menjadi jalan damai kebangsaan yang tak peduli antara suku, parpol, ormas, agama, ras, dan warna kulit. Dalam praktiknya, Halalbihalal digelar pemerintah pusat sampai desa, ormas, lembaga pendidikan, komunitas dan lainnya. Dari era Presiden Soekarno sampai Jokowi sekarang, tak lepas dari tradisi Halalbihalal yang dikemas dengan open house.
Banyak cara masyarakat Indonesia meminta, memberi, untuk membuka pintu maaf dan cakrawala perdamaian. Selain Halalbihalal, kemasannya bisa reuni, pengajian, temu kangen, silaturahmi, Kopdar Lebaran, open house, full house, dan lainnya. Tak hanya dilakukan pada 1-30 Syawal, namun banyak yang menggelarnya di luar bulan Syawal dalam rangka memberi dan meminta maaf.
Riset Antyo Rentjoko (2018) menemukan tiga versi sejarah Halalbihalal. Pertama, Halalbihalal tahun 1938 yang terbit di Kamus Jawa-Belanda (Dr. Th. Pigeaud) yang memuat lema “alal behalal”; berarti saling memaafkan saat Lebaran. Artinya, sebelum kamus itu terbit sudah ada tradisi itu. Kedua, tahun 1935-1936 di Surakarta ada penjual martabak berseru “Martabak malabar. Halal bin halal”.
Ketiga, pada 1948, ketika pusat pemerintahan RI di Yogyakarta, Presiden Soekarno mencemaskan perpecahan nasional kala itu. Tokoh dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Wahab Chasbullah, menyarankan semua orang harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahmi saat itu memakai istilah Halal bi Halal yang kini dibakukan dalam KBBI menjadi Halalbihalal.
Sampai saat ini, Halalbihalal menjadi jalan damai kebangsaan yang merangkul semua elit Nusantara. Halalbihalal bukan dari Bahasa Arab. Idiom ini hanya berlaku di Indonesia. Namun perayaan Lebaran di beberapa negara Arab justrru ada Halalbihalal, penyelenggaranya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Misalnya, Halalbihalal di KBRI Amman (Yordania) dan Ryadh (Arab Saudi). KBRI di Washington (Amerika Serikat) juga melakukan Halalbihalal.
Di Arab Saudi dan Amerika Serikat ada Halalbihalal. Kita harus mengubur kebencian, permusuhan, nafsu radikalisme, terorisme lewat tradisi ini. Lewat Halalbihalal, jalan perdamaian di Nusantara ini terbuka lebar dan harus dipertahankan. Jika tidak berhalalbihalal, apakah kita pro terhadap pertikaian?