Halal bihalal adalah kosa kata yang diserap dari bahasa Arab namun di Negara asalnya sendiri tidak ditemukan istilah itu. Sebagaimana Haqmaliyah, nama tarekat peninggalan keturunan Amangkurat yang masih berkembang di daerah Jawa Barat khususnya, yang merupakan gabungan dari kata haq dan ‘amaliyah, penggabungan dua kosa kata atau lebih menjadi satu seperti itu, memang tidak dikenal dalam tata bahasa Arab. Begitulah fakta sederhana sebagai ilustrasi tentang bagaimana masyarakat nusantara menyerap nilai-nilai asing ke dalam dirinya, lalu menjelma menjadi sesuatu yang khas.
Tentang kekhasan yang berhubungan dengan halal bihalal, saya bermaksud mengetengahkan wejangan Ki Ageng Suryomentaram yang disampaikannya pada saat hari lebaran tahun 1957.
Di Indonesia, setiap datang Idul Fitri biasanya dipergunkan untuk kunjung-mengunjungi serta saling meminta dan memberikan maaf. Kebiasaan tersebut menurut Ki Ageng berasal dari keyakinan bahwa ketika orang sudah meminta maaf dan dimaafkan, berarti dosanya terhadap orang yang memberikan maaf tersebut telah hilang. Dan, Ki Ageng menegaskan bahwa dia tidak akan membahas ihwal keyakinan dalam wejangannya, tetapi fokus pada rasa memaafkan saja.
Orang yang merasa bersalah kepada orang lain rasanya tidak nyaman karena telah membuat orang lain tidak nyaman. Karenanya orang lantas berusaha terlepas dari ketidaknyamanannya lantaran merasa bersalah dengan cara meminta maaf.
Ada dua jenis perasaan tidak nyaman dalam kasus ketika orang merasa bersalah. Pertama adalah rasa tidak nyamannya sendiri, dan yang kedua adalah rasa tidak nyaman orang yang dibuatnya tidak nyaman. Jenis rasa tidak nyaman ini ada yang awet dan ada yang hanya sebentar saja. Nah, rasa tidak nyaman yang awet keberadaannya dalam diri seseorang itulah kemudian yang menjadi persoalan.
Rasa tidak nyaman yang awet pada diri orang yang merasa bersalah bernama sesal. Sedangkan rasa tak nyaman yang awet dalam diri orang yang dibuat tidak nyaman bernama dendam. Jadi dendam adalah rasa ingin membalas rasa tak nyaman, dengan berbuat tidak nyaman kepada orang yang telah membuat tak nyaman. Karena itulah maka kemudian terjadi saling balas untuk melahirkan rasa tidak nyaman yang berkepanjangan, yaitu bermusuhan.
Artinya, yang membuat adanya permusuhan adalah karena terpeliharanya rasa dendam pada kedua belah pihak yang sama-sama merasa tidak nyaman. Jadi jelas sekali bahwa membuat orang lain merasa tidak nyaman akan mengundang lahirnya pembalasan, dan saling balas tersebut kemudian melahirkan dendam bersama yang berbuah permusuhan.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa saling meminta dan memberikan maaf pada saat lebaran yang dimaksudkan sesungguhnya adalah menghilangkan adanya permusuhan dalam masyarakat. Dan upaya luhur yang demikian itu terkadang memang bisa berhasil, namun bisa juga tidak sesuai dengan yang dimaksudkan.
Namun di sini semakin jelas, bahwa yang dapat menghilangkan permusuhan bukanlah ucapan untuk meminta dan memberikan maaf, melainkan rasa yang mendorong orang untuk meminta dan memberikan maaf.
Meneliti rasa di balik ucapan saling memaafkan
Orang-orang yang bermusuhan seringkali tidak menyadari bahwa bermusuhan itu melahirkan rasa tidak nyaman. Mereka yang bermusuhan hanya terliputi oleh rasa bagaimana agar bisa mengalahkan musuhnya. Bahkan orang-orang yang bermusuhan seringkali tidak merasa bahwa mereka tengah bermusuhan, tetapi sedang menegakkan keadilan.
Aneh bukan? Masa bermusuhan dianggap menegakkan keadilan? Namun yang demikian itu terjadi secara merata, hampir di seluruh dunia.
Agar seseorang bisa terlepas dari permusuhan, pertama-tama ia mesti sadar bahwa dirinya tengah bermusuhan. Ya, rasa bermusuhan adalah rasa menyalahkan pihak lain dalam sebuah hubungan, “Kamu salah, aku benar!”
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa yang memicu lahirnya permusuhan adalah rasa dendam. Maka rasa dendam inilah yang mesti diteliti. Rasa dendam adalah memori dalam rasa orang yang dibuat tidak nyaman oleh orang lain. Memori dalam rasa yang tidak nyaman itulah yang kemudian melahirkan keinginan untuk melakukan pembalasan.
Karena baik memori maupun rasa dendam adanya di dalam diri sendiri, maka orang harus terlebih dahulu mengetahui keberadaan dirinya. Jika orang telah menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat memori rasa tidak nyaman yang kemudian melahirkan rasa dendam, maka dia tidak akan lagi terusik oleh adanya rasa dangkal di dalam dirinya.
Wujud rasa dangkal dalam diri adalah semisal di saat mengalahkan orang lain kita merasa nyaman. Padahal jika diteliti, rasa nyaman yang timbul akibat mengalahkan orang lain itu sesungguhnya juga tetap melahirkan rasa tidak nyaman. Karena saat mengalahkan orang lain itu, dendam kita kepadanya juga tetap ada. Hanya saja, yang bisa merasakan bahwa meskipun kita telah berhasil mengalahkan orang lain, namun rasa dendam kita kepadanya belum juga sirna, adalah rasa kita yang lebih mendalam.
Jika kita mampu merasakan rasa mendalam pada diri kita, maka kita pun akan dapat merasakan bahwa mengalahkan orang lain itu sesungguhnya membuat kita merasa tidak nyaman. Artinya, jika kita merasa nyaman karena mengalahkan orang lain, sesungguhnya itu adalah rasa nyaman yang semu bahkan palsu. Karena di dalam permusuhan, baik yang menang apalagi yang kalah sesungguhnya tidak ada yang nyaman rasanya.
Dhemen-sengit
Dalam setiap hubungan dengan orang lain, kita selalu dihubungkan oleh rasa suka (dhemen) dan rasa tidak suka (sengit). Kita akan merasa dhemen jika diuntungkan dan merasa sengit ketika dirugikan. Keuntungan dan kerugian itu bisa berwujud harta benda, kehormatan, dan kekuasaan.
Orang yang dirugikan akan merasa tidak suka, lalu berkeinginan untuk membuat tidak nyaman orang yang telah merugikannya. Namun saat orang diuntungkan ia akan merasa ketagihan dan merasa tidak suka jika sampai tidak diuntungkan lagi oleh yang bersangkutan.
Jadi adanya rasa suka dan rasa tidak suka pun sesungguhnya di dalam diri kita sendiri. Jika rasa suka dan rasa tidak suka yang ada di dalam diri sendiri itu dapat kita teliti dengan tuntas, maka ia pun akan melahirkan kesadaran yang melahirkan rasa nyaman yang sebenarnya.
Benar, kita memang tidak bisa terlepas dari rasa suka dan tidak suka saat berhubungan dengan orang lain, namun jika kita mampu menghayati rasa terdalam di dalam diri kita, maka rasa dhemen-sengit itu tidak sampai mendorong kita untuk membuat tidak nyaman orang lain. Demikianlah wejangan Ki Ageng Suryomentaram yang berhubungan dengan halal bihalal.
Wallahu A’lam.