Seorang ustaz lewat akun twitternya—konon dikelola oleh admin—berkicau begini: “Saya Hafal Qur’an dan Mengajar Tafsir Al-Qur’an Alhamdulillah”.
Sekilas, tweet itu sungguh mempesona. Pokoknya, subhanallah banget, abakadabra banget!!!
Sayang, ia tidak berdiri sendiri. Teks “Saya Hafal Qur’an dan Mengajar Tafsir Alqur’an Alhamdulillah” ternyata tidak lebih dari pesan ideologis untuk seolah-olah melegitimasi diri sendiri dan sekaligus merendahkan pihak lawan, kebetulan seorang politisi, yang ia musuhi.
Jujur saja, saya tidak ada urusan dengan politisi tersebut, tidak pula hendak berada di pihaknya. Yang jadi soal adalah klaim “Saya Hafal Qur’an dan Mengajar Tafsir Al-Qur’an Alhamdulillah” terlihat sangat kontras dengan apa yang selama ini pak ustaz selebrasikan dalam ceramah-ceramah keagamaannya, kalaupun itu termasuk ceramah sih.
Lalu, di kicauan yang sama, pak ustaz itu melampirkan tangkapan layar lain bertuliskan, “Sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah”. Kutipan itu ia sematkan kepada Imam Syafi’i, dan diikuti oleh rangkaian lainnya, “Kata Maaher at-Thuwailibi, sombong kepada cebong adalah ibadah.”
Dan, ya, ustaz itu bernama Maaher at-Thuwailibi yang kalau ditasrif pake versinya Tengku Zulkarnen akan menjadi fi’il madhi, sedangkan fi’il mudhorenya jadi Mahir Nyinyir.
https://twitter.com/ustadzmaaher_/status/1249971818963693571
Bagi Anda, para pegiat media sosial, tentu telah familiar dengan ustaz yang satu ini. Betapa tidak, jam terbangnya dalam menebar caci-maki tidak diragukan lagi. Siapapun yang sekiranya tidak seshaf dengan si ustaz, pastilah bakal kena pinalti amar munkar dari ustaz Maaher. (Ya amar munkar, saya tidak sedang salah ketik)
Yang paling membekas bagi saya, dan mungkin juga Anda, adalah sewaktu Maaher secara ajaib menghardik mendiang Gus Dur. Tertanggal 22 Maret 2020, akun twitter Maaher menulis di sebuah tweet balasan, begini: “Yang udah mati itu Gus Dur. Kiai Buta yang pernah mengatakan “Al-Qur’an adalah kitab porno”. Dia Udah mati. Udah jadi bangkai. Kalau saya belum.!”
Belakangan, Maaher lalu merilis permintaan maaf karena merasa bahwa dirinya telah menghina Gus Dur akibat terpancing emosi.
Betapapun, biarlah itu menjadi urusan Maaher dengan almarhum Gus Dur yang, haquul yaqin pasti memaafkan Maaher, sebab seperti kata Gus Dur: kalaupun ada orang di Indonesia ini yang layak jadi musuh Gus Dur, itu adalah Pak Harto.
Baik. Ada dua hal yang ingin saya diskusikan di sini. Pertama, klaim “Saya Hafal Qur’an dan Mengajar Tafsir Alqur’an Alhamdulillah.”
Terus terang, segera setelah saya membaca klaim itu, yang terlintas di pikiran justru bukan ahli surga atau orang-orang saleh yang diberkahi. Sebaliknya, ingatan saya langsung mendarat secara spesifik kepada nama Abdurrahman anak Pak Muljam—seorang yang hidup di zaman Nabi, hapal Al-Qur’an, ahli ibadah, dan penuh dengan segudang amalan yang hari ini diglorifikasi sebagai amaliyah sunnah lainnya.
Bedebah, lewat tangan putra Pak Muljam itulah Sayyidina Ali bin Abi Thalib menjadi syahid. Demikian sejarah peradaban Islam mencatat. Kabarnya, aksi kriminal anak Pak Muljam itu disebabkan oleh perbedaan pandangan politik yang radikal dan kekeliruan interpretasi atas ayat-ayat al-Qur’an. Bagaimana detail lengkapnya? Silakan Anda baca tulisan Alvin Nur Choironi berjudul Ibnu Muljam, Pembunuh Ali bin Abi Thalib.
Memang, Maaher bukan putra Pak Muljam, dan semoga saja tidak demikian. Tapi keduanya memiliki potensi yang sama, yaitu sama-sama menggunakan ayat-ayat Al-Quran sebagai senjata ideologis (abuse of Quranic verses).
Artinya apa? Hafal Al-Qur’an adalah satu hal, sedang keberkahan hidup itu satu hal lainnya. Terkadang, orang bisa menjadi berkah hidupnya dengan hafal Qur’an. Walakin, bisa juga sebaliknya. Nabi Muhammad Saw jauh-jauh hari telah meramalkan, bahwa:
يَخْرُجُ نَاسٌ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ، ثُمَّ لاَ يَعُودُونَ فِيهِ حَتَّى يَعُودَ السَّهْمُ إِلَى فُوقِهِ
“Akan keluar manusia dari arah timur dan membaca Al-Qur’an namun tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat keluar dari agama sebagaimana halnya anak panah yang melesat dari busurnya. Mereka tidak akan kembali kepadanya hingga anak panah kembali ke busurnya.” (HR. Bukhari)
Tentu saja, hadis di atas adalah metafora. “Membaca al-Quran cuma berhenti di kerongkongan” ini memahat sebuah fenomena ketidakberkahan seseorang yang seolah-olah membaca kitab suci, namun tidak menghujam sampai ke hati. Ringkasnya, hafalan Quran itu menjadi nir-guna.
Lalu, seberapa jauh takaran keberkahan itu?
Sederhana saja, akhlak!! Mengapa?
Begini kata Nabi Saw: “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Maka, akhlak genre apa yang justru diperagakan lewat umpatan-umpatan, hate speech, caci-maki, dan bejibun ontran-ontran jahiliyah lainnya?
Bagi saya, itulah cermin dari reinkarnasi akhlak Ibnu Muljam dalam bentuk Milenial!!
Lagi pula, kalau persoalannya cuma sekadar hapal atau tidak hapal Quran, saya kira lebih berfaedah seorang Christian Snouck Hurgronje yang dengan hafalan Al-Quran, ia menghasilkan sebuah literatur pemikiran, dengan segala polemiknya.
Atau, pada pengkaji teks Islam berkebangsaan Jerman, Theodore Noldek (1836-1930) yang harus menghapal Quran lebih dulu sebelum menulis “Geschichte des Qoran” (Sejarah Al-Quran). Juga, nama-nama sekaliber Montgomery Wat yang menulis Muhammad, Prophet and Statesman, saya kira tidak kalah fasih dengan ustaz-ustaz genit hari ini kalau cuma urusan hafalan. Dan tentu masih banyak lagi.
Kembali ke Maaher at-Thuwailibi. Persoalan kedua adalah adagium “bersikap sombong adalah sedekah” yang dibandulkan kepada Imam Syafi’i. Kendati saya benci mengakuinya, adagium itu memang sahih adanya, meskipun saya juga sangsi kalau Maheer melihat langsung dari literatur yang ada. Tapi ini tidak penting.
Yang jelas, cukuplah benderang sebuah keterangan yang dibentangkan oleh Al-Khādimy al-Hanafy dalam Barîqah Mahmûdiyah fi Syarh Tharîqati Muhammadiyah wa Syarïati Nabawiyah fï Sïrati Ahmadiyah.
التكبر على المتكبر صدقة، لأنه إذا تواضعت له تمادى في ضلاله وإذا تكبرت عليه تنبه، ومن هنا قال الشافعي تكبر على المتكبر مرتين، وقال الزهري التجبر على أبناء الدنيا أوثق عرى الإسلام، وعن أبي حنيفة رحمه الله تعالى أظلم الظالمين من تواضع لمن لا يلتفت إليه، وقيل قد يكون التكبر لتنبيه المتكبر لا لرفعة النفس فيكون محموداً كالتكبر على الجهلاء والأغنياء، قال يحيى بن معاذ: التكبر على من تكبر عليك بماله تواضع.
Adapun artinya, kira-kira begini:
“Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah, sebab jika kita bersikap tawadhu di hadapan orang sombong maka itu akan menyebabkan dia terus-menerus berada dalam kesesatan. Namun, jika kita bersikap sombong kepadanya maka dia akan sadar. Ini sesuai dengan nasihat Imam Syafi’i, “bersikap sombonglah kepada orang sombong sebanyak dua kali.” Imam Az-Zuhri mengatakan, “Bersikap sombong kepada pecinta dunia adalah bagian dari ikatan Islam yang kokoh.” Imam Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Bersikap sombong kepada orang yang sombong kepadamu, dengan hartanya, adalah termasuk bentuk ketawadhuan.”
Meski begitu, adanya legitimasi untuk “bersikap sombong adalah sedekah” tidak bisa dipakai untuk melayani nafsu kedirian, atau dengan maksud merendahkan pihak yang berbeda.
Dan, kalaupun ia mendesak untuk dilakukan, maka yang lebih layak untuk “sombong” di abad ini adalah para santri yang telah menghabiskan waktu mereka bertahun-tahun di pesantren untuk mengkaji literatur keislaman yang jelas-jelas otoritatif mata rantai keilmuannya.
Ini selaras dengan apa yang saya dengar dari keterangan KH Bahaudin Nur Salim. Gus Baha, demikian sapaan akrabnya, kerap mengatakan bahwa “mengaku alim di hari ini itu bukan sombong, tapi keharusan.”
Logikanya begini: kalau Anda punya istri mau melahirkan, pastilah Anda mencari tulisan bidan atau rumah bersalin. Barokahnya dari “tulisan bidan” itu, Anda jadi tahu siapa yang bidan dan siapa yang bukan. Demikian ketika sakit gigi, Anda pasti mencari dokter gigi terpercaya, setidaknya lewat papan nama.
Sekarang, demikian Gus Baha lebih lanjut, yang disayangkan adalah mereka yang mengerti dan paham Fathul Wahab tidak mendedahkan dirinya sebagai ahli Fathul Wahab, atau ahli Fathul Qarib, sehingga masyarakat jadi susah kalau mau mencari konsultan ahli fiqih.
Padahal, memaklumatkan diri sebagai ahli ini penting, supaya orang tahu mana rujukan yang otoritatif. Ini bukan dalam konteks sombong, tapi setidaknya kebutuhan umat yang ingin tahu agama menjadi terpenuhi dengan ngaji kepada orang-orang yang tepat.
Atau kalau tidak, fenomena pendakwah setamsil Maaher at-Thuwailibi dan juga para dai mualaf lain yang sekadar menjual popularitas, terkadang mengobral konflik, akan semakin mewabah. Dan kalau yang demikian itu semakin melimpah ruah, siapa yang salah?
Alarm sudah berdering. Tentu, para sarjana Pesantren turut bertanggung jawab. Jadi, lawanlah ustaz-ustaz genit itu dengan elegan. Atau, kalau kata Gus Baha, “tunjukkan bahwa bacaan kamu benar, biar masyarakat yang menguji, sehingga kamu layak untuk diikuti sebagai solusi umat.”
BACA JUGA Agar Tak Salah Pilih, Ini Tiga Tips Cari Ustaz dari Ulama Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini