Trolling dalam Dakwah: Meledek Tapi Berharap Surga

Trolling dalam Dakwah: Meledek Tapi Berharap Surga

Di Indonesia, praktik trolling akan sangat terasa saat Habib Rizieq, Maher Atthuwailibi dan Felix Siauw berdakwah baik itu di panggung ataupun di media sosial.

Trolling dalam Dakwah: Meledek Tapi Berharap Surga

Trolling, atau praktik komunikasi yang menekankan pada upaya untuk memancing emosi lawan bicara (baik berupa ledekan, hinaan, ataupun name-calling), semakin menelan wacana agama di Indonesia dalam 5 tahun terakhir. Ini tidak sehat, baik untuk iklim ruang publik itu sendiri, ataupun untuk agama itu sendiri. Ada tiga alasan kenapa trolling bisa menjadi tren dalam ruang dakwah di Indonesia.

Pertama, trolling mendapat legitimasi moral dari agama sebagai salah satu upaya untuk mengeliminasi musuh ‘Islam’, ataupun upaya untuk mempertahankan kedaulatan komunitas. Masalahnya bukan ada pada agama itu sendiri, tapi ada pada kekeliruan orang dalam memilih basis latarbelakang bagi tindakannya.

Setidaknya ada dua basis yang dapat dipilih untuk melatarbelakangi suatu tindakan: (1)kebenaran saintifik. Basis ini bekerja berdasarkan―minimalnya―prinsip falsifikasi dan verifikasi, dan cenderung tidak mengenal subjektifitas, baik itu jabatan, status sosial, atau apapun. Kalau salah ya salah. Kalau benar ya benar. Dengan kata lain, kalau realitas yang sedang diuji berkata X, seseorang dengan jabatan, kelas sosial, agama, atau predikat tertentu tidak bisa sewenang-wenang memutarnya menjadi Y. Kalau memaksa, konsekuensinya tidak jarang berujung pada katastrofi.

(2)kebenaran moral. Basis ini dibuat berdasarkan kesepakatan sosial, entah itu yang diadopsi dari nilai agama, kultural, atau apapun. Dengan kata lain, subjektifitas kolektif menentukan tindakan mana yang patut dan tidak. Dalam konteks komunitas agama, karakter kebenaran moral cenderung keras karena punya dibuntuti oleh ‘hukuman.’

Pada satu sisi, hal ini salah satunya disebabkan karena tidak semua anggota suatu komunitas agama punya keluasan pemahaman tentang dimensi agama yang berlapis (profan, imanen, asketis). Di lain sisi, muatan agama yang mengandung logika “hanya karena tidak terlihat, bukan berarti tidak ada” sering diekploitasi, entah itu untuk amplifikasi kharisma diri, memanipulasi kehendak umat, dan sejenisnya. Kebenaran moral umumnya tergelincir pada falasi ad populum ataupun ad auctoritatis.

Bagi sebagian komunitas agama dan sebagian pendakwah, kebenaran moral jauh lebih diprioritaskan dibanding kebenaran saintifik. Meskipun jika suatu tindakan dapat melukai orang, merusak ruang publik, ataupun bersifat paradoks, selama dipayungi oleh kebenaran moral, maka si pelaku akan menganggap bahwa tindakannya adalah sakral bagi dirinya dan komunitasnya, dan menganggap bahwa tindakannya adalah bentuk ‘hukuman’ atau ‘kepantasan’ yang patut diterima oleh lawannya.

Halusinasi bahwa Tuhan berpihak pada seseorang atau pada sebuah kelompok, sering kali menumbuhkan perasaan superioritas yang membuat orang atau kelompok yang terjangkit terasa punya legitimasi untuk melakukan olok-olok, meledek, mencaci, dan sejenisnya.

Kedua, trolling adalah genere komunikasi dari hasil evolusi media lanjutan terhadap pola pikir masyarakat. Genere komunikasi akan sangat terasa bila menyelami sejarah evolusi media. Di era oral, syair, puisi dan lagu adalah beberapa genere komunikasi yang mapan. Di era tulisan, buku, karya tulis dan perdebatan adalah genere komunikasi pada zamannya. Di era televisi, ketidak-nyambungan (discontent), kerecehan (triviality), haha-hihi (amusement), adalah beberapa genere komunikasi yang ada.

Di Indonesia, era televisi berakhir pada tahun 2008. Generasi 70-80an yang menjadi ‘produk’ era televisi tidak sedikit kini menduduki kursi penceramah. Sementara itu, generasi 90-an, atau generasi transisi televisi-media sosial, atau generasi yang kini menjadi audiens ceramah, menempati porsi demografi yang dominan. Di saat yang sama, saat ini generasi 90-an sedang berada pada fase usia penuh kecemasan karena beragam tantangan dan tuntutan capaian hidup, dan sekaligus kecemasan itu diamplifikasi oleh karakter media sosial yang cenderung memupuk hiper-emosi.

Artinya, ada ketidak-matangan intelektual dan kelabilan emosi yang cukup berpengaruh pada iklim dakwah digital di Indonesia. Beberapa indikasinya adalah, (1)hoaks tentang PKI dan kriminalisasi ulama adalah hoaks yang mendapat perhatian paling banyak, (2)mereka yang berpendidikan tinggi, khususnya S2, justru malah menjadi kelompok yang punya tendensi besar mempercayai bahwa pemerintah mengkriminalisasi ulama.

Saat agama digunakan untuk menjadi basis moral praktik trolling, dan saat audiens juga punya kerentanan intelektual sekaligus kerentanan emosional, maka polarisasi juga akan semakin mengeras karena setiap kelompok memandang kelompok lain jauh lebih tidak bermoral dibanding kelompoknya.

Pelaku trolling mengangap lawan kelompoknya tidak bermoral karena beragam alasan. Dan Begitu juga sikap korban trolling terhadap pelaku trolling. Konsekuensinya, penuduhan (accussation) dan ledekan (mockery) tak berkesudahan menjadi permainan baru dalam persaingan wacana agama. Kalau seseorang/kelompok menaikkan intonasi suaranya, maka kelompok lain juga akan demikian. Di media sosial, bahkan orang yang punya harga diri tinggi pun akan tergoda untuk melakukan ledekan atau hinaan.

Di Barat ataupun Timur, trolling umumnya lekat dipraktikkan oleh kelompok konservatif karena gejolak emosi yang tak terkontrol dan karena kebutuhan politik populisme. Di Indonesia, praktik trolling akan sangat terasa saat Habib Rizieq, Maher Atthuwailibi dan Felix Siauw berdakwah baik itu di panggung ataupun di media sosial.

Dan tidak sedikit troll yang diinisiasi mereka mendapat troll balik dari kalangan penceramah NU, khususnya mereka yang tech-savvy dan berusia cukup muda. Pun, intensitasnya beragam, mulai dari yang halus namun sarkastik, hingga yang pedas.

Trolling akan sulit untuk dihilangkan selama masyarakat masih berpegang teguh pada moralitas partisan. Moralitas partisan tidak bisa dihilangkan, namun preferensi manusia dalam memilih latarbelakang tindakannya bisa diubah. Kematangan intelektual dan kestabilan emosi adalah kompas agar umat punya daya kritis dalam mengelola moralitasnya dan menentukan basis kebenaran bagi tindakannya.

Trolling dapat disebut sebagai ‘amal’ yang paling mudah: memancing emosi orang namun (terasa) ‘mendapat pahala. Namun, kalau genre komunikasi yang seperti ini dipertahankan, ke mana kita akan mengarah? Surga?