Menyesal setelah melakukan dosa telah menjadi tabiat manusia beragama. Tetapi penyesalan ini biasanya menyublim jika dihadapkan pada dosa-dosa yang membuat anak Adam ketagihan. Ini yang kerap kali menjadikan seorang merasa berada di persimpangan jalan, antara ingin bertaubat tetapi maksiat masih enak.
Berada dalam posisi tersebut tentu sangat melelahkan. Jika sudah akut begini ada baiknya untuk sejenak rehat dari pergulatan batin seraya menyimak penjelasan Imam al-Ghazali dalam kitab Minhaj al-Abidin perihal taubat berikut ini.
“Bertaubat memang berat pun melelahkan meskipun ini perkara penting dan besar bahayanya jika tidak segera dilaksanakan,” demikian kata Imam al-Ghazali.
Di balik langkah yang berat terdapat anugerah tiada tara. Imam al-Ghazali mengisahkan, suatu ketika seorang guru besar yakni Abi Ishaq al-Isfarayini ra berkata, “aku berdoa kepada Allah SWT selama tiga puluh tahun agar Dia berkenan menganugerahkan kepadaku taubat nasuha. Aku heran, subhanallah, berdoa kepada Allah SWT akan hajat ini selama tiga puluh tahun dan hingga saat ini belum juga terkabul.”
“Kemudian aku bermimpi seakan ada yang berkata kepadaku, ‘adakah kau heran akan hal tersebut? Apakah kau mengerti apa yang kau minta kepada Allah SWT? Tiada lain engkau telah meminta agar Allah SWT mencintaimu. Bukankah kau telah mendengar firman Allah SWT,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِين
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri.
“Apakah demikian itu perkara ringan?’ Suara tersebut mengakhiri.”
Demikian gambaran bagaimana betapa tekunnnya para salafus shalih memperbaiki hati mereka dengan bertaubat dan mempersiapkan bekal untuk kelak di hari akhir.
Selanjutnya, bahaya yang ditakutkan akan terjadi jika seorang mengakhirkan taubat yakni kerasnya hati yang berujung pada kemalangan atau penderitaan. Seperti halnya iblis pun Bal’am bin Ba’ura, kasus keduanya bermula dari sepotong dosa dan berakhir dengan kekafiran. Hingga keduanya binasa selamanya.
Dosa-dosa menghitamkan hati. Pertanda akan ini adalah hati tidak lagi dapat menemukan rasa takut dari dosa,hilang kegentaran saat maksiat, tiada ingin berjuang untuk ketaatan, serta tiada berbekas segala nasihat.
Imam al-Ghazali mewanti-wanti agar kita tidak menyepelekan dosa. Kemudian mengira bahwa diri telah bertaubat sementara nyatanya masih saja berjalan dengan dosa. Sejak kecil kita mengerti prinsip menabung, sedikit lama-lama jadi bukit, jangan kita remehkan dosa yang rajin ditabung.
Satu riwayat menyebutkan bahwa nabi Adam as menangisi dosanya selama dua ratus tahun hingga diterima taubatnya. Sementara yang diampuni adalah satu dosa. Padahal beliau adalah Nabi, demikian halnya berurusan dengan sepotong dosa. Bagaimana dengan yang lain dengan dosa tak terhingga?
Meski begitu, jangan pernah kita putus harapan dari bertaubat. Pun jika setelah bertaubat kembali lagi maksiat, maka ulangi lagi inisiatif untuk bertaubat. Dan katakanlah pada hati, “barangkali aku mati sebelum aku kembali melakukan dosa pada kesempatan taubat kali ini.” Demikian pun jika berkali-kali. Rajin dalam bertaubat tak seharusnya kalah dengan rajin dalam berdosa.
Sesegera mungkin kembalilah untuk bertaubat. Jangan sampai dalam menuju taubat lebih lemah daripada dalam menuju dosa. Jangan berputus asa seraya membiarkan setan mencegah dari taubat sebab maksiat. Sudahkah kita mendengar sabda Nabi saw dari Ali bin Abi Thalib? Begini:
خِيَارُكُمْ كُلُّ مُفْتَنٍ تَوَّابٍ
Kalian yang terpilih adalah setiap orang yang diuji –yang lantas– bertaubat
Semakin banyak cobaan berupa dosa dan maksiat harusnya semakin banyak pula taubat dan langkah untuk kembali kepada Allah SWT dengan penyesalan dan istighfar. Ingatkah dengan firman Allah SWT;
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan barang siapa melakukan keburukan atau menzalimi diri sendiri kemudian memohon ampun kepada Allah, maka ia akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.