Dalam hidup di dunia ini, kita harus menerima dan menyadari kenyataan bahwa bumi tempat hidup manusia adalah satu planet yang dihuni dari berbagai suku, ras, bahasa, profesi, budaya, dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman atau kemajemukan adalah sesuatu realitas (kenyataan) yang harus kita terima karena merupakan pemberian Tuhan. Keragaman, kemajemukan atau pluralitas terdapat di berbagai bidang kehidupan, termasuk agama. Bahkan hal ini tidak hanya terjadi di lingkup masyarakat tetapi juga dalam lingkup rumah tangga.
Di dunia saat ini, sulit sekali ada negara yang betul betul memiliki masyarakat yang satu agama. Kalaupun ada pasti pada akhirnya akan terjadi juga keragaman yang muncul dari penafsiran teks-teks kitab suci agama tersebut, hingga terjadi keragaman pada tingkatan implementasi ibadahnya. Sebagai contoh dalam islam pun ada beberapa mazhab, ada sunni syiah, ahmadiyah, dll. Dan di setiap mazhab atau aliran pun ada beberapa varian di internalnya. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka kita semua menuju pada dunia yang semakin majemuk atau plural. Sebagai penghuninya kita bukan malah menjauhkan diri dari adanya pluralitas, tetapi bagaimana kita membangun jembatan atau mekanisme untuk menyikapi keniscayaan pluralitas ini.
Tuhan menciptakan manusia yang beragam, agar masing-masing saling mengenal dan menghargai eksistensi masing-masing. Termasuk dengan menciptakan berbagai macam agama, bukan untuk saling mendiskriminasi tetapi untuk berlomba lomba berbuat kebaikan bagi sesama manusia dan semesta. Karena agama bukanlah sebuah tujuan tetapi sebagai sebuah metode atau sarana untuk menuju Tuhan. Hal pertama tama yang harus kita lakukan sebagai pemeluk agama adalah menyadari adanya perbedaan antara agama yang dianutnya dengan agama orang lain. Bahwa kita hadir bersama The others (orang lain/liyan) dengan demikian sebuah identitras agama bertemu dengan identitas lainnya. Karena itulah mengapa setiap orang perlu toleran terhadap keragaman.
Sebagai contoh agama Islam yang hadir setelah kehadiran agama-agama lain seperti agama Yahudi, Kristen, majusi, Zoroaster, Hindu, Budha, mesir kuno, dll. Islam tidak menafikan semua konsep ajaran-ajaran agama terdahulu, islam justru menyatakan bahwa kebenaran wahyu dalam agama-agama tersebut tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Kalau dirunut dalam sejarah peradaban yang panjang, maka dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang beragam secara religious-keagamaan memiliki akar dan landasan yang kuat secara normatif dan historis.
Kalau terjadi ketidak harmonisan bahkan sampai terjadi perang, penyebab utamanya bukan karena esensi ajaran agama, tetapi karena kondisi situasi historis, ekonomis, politis dari komunitas agama-agama tersebut. Ketidakharmonisan tersebut disebabkan adanya kompetisi untuk menguasai sumber-sumber daya ekonomi dan politik kekuasaan, dan bukan karena esensi ajaran agamanya.
Dalam era yang semakin plural ini terdapat tantangan yang harus di hadapi yaitu ada indikasi menguatnya sikap intoleransi dan radikalisme. Untuk itulah warisan Nilai-nilai Gus Dur yang berjuang agar Islam menjadi agama yang ramah, islam sebagai rahmatan lil alamin harus terus diperjuangkan bagi perdamaian dunia. Nilai-nilai tersebut dapat dikristalisasi menjadi 9 Nilai-nilai Gusdur yaitu Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan, serta Kesederhanaan, Sikap Ksatria, dan Kearifan local.
Dalam salah satu nilainyai ada Keadilan. Karena keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan maka harus diperjuangkan.martabat manusia hanya bisa dipenuhi dg adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam masyarakat, maka dalam hidupnya GusDur selalu melindungi dan membela pada kelompok masyarakat yg diperlakukan tidak adil, karena ini merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan. Dan juga nilai kesetaraan, bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yg sama di hadapan Tuhan.Kesetaraan meniscayakan perlakuan yg adil GUSDUR sepanjang hidupnya membela yg tertindas dan dilemahkan, termasuk kaum minoritas dan marjinal.
Apalagi baru-baru ini dua peristiwa kerusuhan bernuansa antar agama yang membawa korban nyawa terjadi di waktu yang berdekatan, dan di dua ujung provinsi Indonesia, timur dan barat. Di kabuaten Tolikara, provinsi Papua terjadi bersamaan dengan Hari Raya Iedul Fitri dan di Singkil provinsi Aceh bertepatan dengan peringatan hari besar Tahun Baru Hijriyah.
Tanpa bermaksud mengingkari kompleksitas permasalahn di kedua peristiwa memilukan itu, tempat ibadah merupakan isu sensitif. Ikut terbakarnya Musholla di pasar di Tolikara menjadi perhatian besar dari publik. Sementara penutupan dan pembakaran gereja di Singkil merupakan masalah pokok dari kerusuhan itu sendiri.
Kedua peristiwa tersebut selayaknya menjadi lampu merah, bukan lagi lampu kuning, bagi pemerintah dalam mengelola relasi antar agama dankhususnya tempat ibadah. Karena kedua peristiwa tersebut bukan terjadi secara kebetulan dan sporadis melainkan sudah bisa dilihat gejala ketegangan sebelumnya dan terjadi di berbagai tempat dalam sekala yang berbeda-beda.
Untuk itulah perlu langkah-langkah yang nyata dalam melakukan toleransi aktif agar tercapainya kerukunan dan harmoni dalam kebhinekaan. Langkah-langkah yang nyata dan kontinyu tersebut harus di mulai dari level lokal atau lingkungan masyarakat sekitar, karena di tingkat grass root atau akar rumput inilah isu-isu tentang SARA sering dihembuskan dan mudah menjadi bola api panas yang membakar kerukunan beragama.
Sebagaimana yang pernah di sampaikan Gus Dur, bahwa beliau telah menginventarisir arti agama dalam ragam bahasa, baik dalam bahasa sansekerta maupun berbagai bahasa indo-semit, semua pengertian agama tampaknya menuju kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang perintah-perintahnyaNYA mesti dijalankan manusia. Kita semua mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan kebenaran Illahi, tapi pada saat yang sama Harus menjunjung tinggi nilai-nilai perikemanusiaan.
Untuk itulah keragaman harus kita letakkan bukan hanya sebagai realitas social, melainkan juga sebagai gagasan-gagasan, paham-paham, pikiran-pikirannya. Kebhinekaan dan keragaman sudah berlangsung berabad-abad, jauh sebelum negeri ini terbentuk. Dan hal ini secara konstitusi juga dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa, “Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”.
Oleh: Arif Gumantia adalah Ketua Majelis Sastra Madiun. Jaringan Gusdurian Madiun