Musim 2018-2019 tengah memanas, terpolarisasi oleh perseteruan sengit dua kontestan pilpres, yang keduanya mewakili pemikiran serta kelompoknya masing-masing. Ada kubu Jokowi yang mengklaim sebagai representasi politik nasionalis, milenial serta kekinian, sementara Prabowo dianggap sebagai representasi nasional relijius yang pro terhadap Islam. Ibarat sebuah kompetisi mereka bersaing satu sama lainnya dengan ketat, memperebutkan podium kursi kepresidenan. Namun, persaingan mereka meninggalkan problem, yakni cukup signifikan berimplikasi pada polarisasi rakyat Indonesia. Perseturuan bersifat top-down kemudian berubah menjadi ajang saling hujat, fitnah dan menyakiti sesama anak bangsa. Khususnya jika kita mengikuti linimasa media, baik mainstream ataupun sosial.
Terpolarisasinya rakyat Indonesia menjadi problem tersendiri, terutama dalam konteks menjaga ukhuwah wathaniyah atau persaudaraan bangsa yang relasional dengan persatuan dan kesatuan. Kita bisa melihat bagaimana ujaran kebencian menjadi makanan sehari-hari, menimbulkan konflik, tindakan-tindakan kekerasan hingga persekusi terhadap yang bersebrangan. Kondisi ini turut dipengaruhi oleh konstruksi politik yang keluar dari marwahnya, di mana perebutan kekuasaan menjadikan rakyat indonesia tersegregasi.
Hal ini terbaca dari hasil laporan yang dihimpun oleh socialprogress.org, yang memiliki instrumen penelitan bersandar pada tiga aspek pokok, yakni basic human needs, foundations of wellbeing, dan opportunity. Guna membaca soal hal terkait polarisasi rakyat Indonesia, dapat dibaca dalam dalam aspek opportunity yang meliputi; Personal Right, Political rights, Freedom of expression, Access to justice, Freedom of religion, Property rights for women. Aspek-aspek tersebut terangkum dalam dimensi yakni Inclusiveness, jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang memiliki skor 32,30. Tetapi, skor ini kemudian turun pada 2016 menjadi 29,57. Pada tahun 2017 skor kembali naik menjadi 35,47, lalu di tahun 2018 skor semakin menguat di angka 38, 77. Semakin tingginya skor ini dipengaruhi oleh situasi dan kondisi perpolitikan, di mana hak personal, hak politik, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama dan hak waris atau kepemilikan perempuan, yang hanya menjadi komoditas politik. Tetapi tidak dimplementasikan secara masif, khususnya dalam konteks hidup dalam negara demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi hal tersebut.
Selain itu dari hasil penelitian litbang kompas di tahun 2017, dengan sampling tersebar di 14 kota besar di Indonesia, melibatkan 512 responden pada 17-19 Mei 2017, menunjukan jika terdapat masalah dalam keberagaman bangsa Indonesia, terutama jika dilihat dari aspek kohesi sosial. Litbang Kompas, melansir sebanyak 49,8 persen responden mengaku jika solidaritas sosialnya semakin memudar, lalu 13,2 persen merasa tetap. Sementara 36,6 persen semakin kuat solidaritas sosialnya, dan sekitar 0,4 persen menjawab tidak tahu. Di lain sisi, kebebasan berpendapat juga semakin terancam, di mana menurut catatan dari SAFEnet di tahun 2017, terdapat sekitar 59 korban persekusi akibat dicap anti ulama atau dianggap tidak sepemikiran dalam berpolitik. Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi politik faktual, yang semakin mengerucut pada intoleran dan anti pluralisme, sehingga aspek Inclusiveness semakin menurun.
Jika membaca problem semakin terpolarisasinya rakyat Indonesia dan menurunnya kohesi sosial, sehingga berdampak pada intoleransi yang berujung konflik horisontal. Semua itu merupakan implikasi dari kontestasi politik yang menjurus pada pencerabutan hak dan hilangnya rasa kemanusiaan. Politik yang berwajah destruktif, telah menjadi salah satu instrumen pokok dalam menurunnya toleransi itu sendiri. Toleransi tidak muncul begitu saja, ada faktor-faktor yang menyebabkannya, seperti tidak dilaksanakannya demokrasi yang inklusif, ketimpangan yang semakin tajam dan tidak terwujudnya kesejahteraan masif yang secara tidak langsung, menjadi faktor determinan dalam intoleransi itu sendiri.
Gus Dur dalam artikel berjudul “keberagaman spiritualitas kita,” yang diterbitkan oleh media kedaulatan rakyat, 3 Februari 2004, dalam paragraf ke tujuh mengatakan:
“Karena itu kita sekarang berada dalam persimpangan jalan yang tidak jelas, yang pada akhirnya mengakibatkan ketakutan di berbagai pihak, termasuk dari golongan minoritas etnis dan agama. Ketidakpastian hukum itu, juga menjadi sebab utama bagi langkanya investasi modal asing di negeri kita. Kita berharap pemilu legislatif dan pemilu Presiden di tahun akan datang, akan menyudahi ketidakpastian seperti ini, sehingga kita dapat kembali ‘bekerja’ seperti dahulu, dengan semangat dan tekad baru yang diperlukan untuk mengatasi krisis multi-dimensi yang menghinggapi kita saat ini. Tentu saja, harus ada kejelasan siapa yang akan memimpin tahap mengatasi berbagai macam krisis tersebut, karena rakyat sudah demikian jauh terpuruk kehidupan mereka.”
Seperti yang dijelaskan oleh Gus Dur dalam esainya, di mana politik elektoral menciptakan ketidakpastian, mereproduksi kebencian dan tendensi merusak persatuan. Yang mana hingga hari ini semakin terpolarisasi, tidak juga mengalami perubahan yang signifikan. Kontestasi politik dalam bingkai persaingan memperbutkan singasana RI 1, telah kehilangan apa itu politik kebangsaan, yakni pemahaman politik yang berorientasi pada kepentingan bangsa dan menjujung demokrasi.
Politik kebangsaan menjadi salah satu faktor penting guna merevitalisasi dan merestorasi, patologi-patologi dalam politik hari ini yang semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, semakin jauh dari nilai-nilai politik kebangsaan itu sendiri. Gus Dur telah memberikan sebuah warisan mengenai apa itu politik kebangsaan, di mana semuanya terangkum dalam sembilan (9) nilai Gus Dur. Nilai-nilai tersebut merupakan salah satu pra-syarat untuk membumikan politik kebangsaan, yang inklusif serta masif. Politik kebangsaan yang rahmatan lil alamin, berorientasi pada kesejahteraan, keberagaman dan kemanusiaan. Nilai- nilai tersebut oleh Gus Dur dikatakan sebagai kaidah al-ghayah wa al-wasail (tujuan dan cara pencapaian), sebagai syarat untuk menuju al-mashalih al-ra’iyah (kesejahteraan rakyat).
Maka oleh karena itu, guna mengembalikan prinsip-prinsip politik kebangsaan yang sesuai dengan pemikiran Gus Dur, berpijak kesejahteraan, keberagaman dan kemanusiaan, guna mengembalikan marwah demokrasi inklusif. Sebagaimana akibat dari berbeloknya demokrasi, politik kebangsaan bias, karena dimotori oleh kebencian yang berimplikasi pada meningkatnya intoleransi dan anti-pluralisme. Sembilan (9) nilai Gus Dur yakni, ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekestriaan dan kearifan lokal. Akan menjadi sebuah platform politik kebangsaan yang sesungguhnya, karena berlandaskan pada aspek-aspek yang berpijak pada keadilan sosial, kemanusiaan dan persatuan. Sehingga semangat politik kebangsaan Gus Dur, perlu didesiminasikan kepada generasi-generasi muda ataupun tua sekalipun, untuk mengembalikan prinsip rahmatan lil alamin yang sesungguhnya.