“Surat dari Ghaza” adalah cerpen yang ditulis oleh Ghassan Kanafani (1936-1972), seorang jurnalis dan jurnalis terkemuka Palestina dan aktivis perjuangan rakyat Palestina yang tergabung dalam The Popular Front for Liberation of Palestine (PFLP). Ia dianggap sebagai orang yang memperkenalkan kata “muqawamah” (Perlawanan). Ia meninggal karena dibunuh pada tahun 1972, di Beirut, dalam usia 36 tahun. Ketika itu ia baru masuk mobil yang ternyata telah dipasang bom oleh intelejen Israel, Mossad.
Cerpen ini diterjemahkan dari Bahasa Arab oleh M. Fudoli Zaini (1942-2007), cerpenis Indonesia asal Madura yang lama tinggal di Kairo Mesir. Terjemahan cerpen ini semula dimuat di Majalah WAHYU 83 Thn V 20 Oktober 1983. Majalah WAHYU dipimpin oleh H. M. Maryanto Wijoyo SH dan di antara jajaran redaksinya terdapat nama-nama Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaidi, H. Masbuchin, Ayip Bakar, Motinggo Busye, Masdar F. Mas’udi dll.
Majalah ini terbit dari tahun 1978-1985. Cerpen ini kami muat kembali di sini karena hingga sekarang masih relevan dan dari segi literer juga tetap menarik.
Sebagai catatan, Fudoli menulis nama pengarangnya Ghazan Kanafi, sedikit kami ubah menjadi Ghassan Kanafani, sebagaimana namanya secara internasional disebut.
Selamat membaca!!
Hairus Salim
Surat Dari Ghaza
Suratmu sekarang ini telah kuterima, yang di dalamnya diberitakan bahwa engkau telah menyelesaikan segala sesuatu yang kuperIukan berkenaan dengan tinggalku bersamamu di Sacramento. Juga yang kurasa bahwa aku telah diterima di jurusan tehnik sipil pada Universitas California. Tak ayal lagi aku harus berterimakasih kepadamu atas segala itu. Namun akan kedengaran aneh, bahwa aku akan menyampaikan kabar ini. Yakinlah Mustofa bahwa aku tidak bisa melihat masalah itu begitu lebih jernih dari sekarang ini. Tidak, sahabatku. Aku telah merobah pendirianku. Aku tak akan mengikutimu ke dunia di mana selalu “ada kehijauan, air dan wajah-wajah ceria,” seperti yang kau tulis dalam suratmu. Tapi aku akan tetap di sini, dan sama sekali tak akan meninggalkannya.
Memang sungguh menyentakkanku Mustofa, bahwa kita tidak bisa melanjutkan jalan hidup kita dalam satu garis yang sama. Sepertinya mash terngiang saat kau mengingatkanku akan janji kita untuk terus bersama.
Bagaimana kita berseru: “Kita akan jadi orang-orang kaya!” Namun sahabatku, apa boleh buat. Ya aku masih ingat jelas tatkala aku berdiri di pelabuhan udara Cairo menjabat erat tanganmu, sambil membelalakkan mata ke mesin pesawat yang menggila itu. Segalanya saat itu seperti berputar bising bersama putaran mesin itu. Dan engkau berdiri di depanku dengan wajahmu yang penuh dan diam. Wajahmu tidak berubah dari sejak kau dibesarkan di bilangan Syaj’iyah di Ghaza, kecuali kerutan-kerutan kecil itu. Kita besar bersama, saling memahami satu sama lain dan berjanji akan bersama terus sampai akhir, Tapi:
“Tinggal seperempat jam sebelum pesawat berangkat. Kau jangan menerawang begitu. Dengar, tahun depan engkau akan ke Kuwait, dan dari gajimu yang kau hemat engkau mercerabut dirimu dari Ghaza di California. Kita telah mulai bersama, dan harus terus begitu.”
Kuperhatikan waktu itu kedua bibir mu yang bergerak-gerak cepat sekali. Begitulah gayamu berbicara: tanpa spasi tanpa titik. Tapi ada ku rasakan waktu itu, bahwa sebenarnya kau tidak begitu rela atas kepergianmu. Engkau tidak bisa menyodorkan tiga sebab wajah dari perlarianmu itu. Ya aku juga mengalami rasa terkoyak-koyak itu. Dan ras paling jelas waktu itu adalah: kenapa tidak kita tinggalkan saja Ghaza ini dan kita lari? Kenapa? Dan keadaanmu berangsur-angsur membaik. Engkau teken kontrak dengan Departemen Pendidikan Kuwait, dan aku tidak. Dan dalam gelutan kemeralatanku, kadang kau kirimkan padaku sejumlah uang cukupan yang menurutmu boleh kuanggap sebagai pinjaman, agar aku tidak merasa kecil diri. Engkau tahu betul keadaan keluargaku. Juga bahwa gajiku yang kecil di Sekolah Bantuan Internasional bagi para pengungsi tidaklah cukup untuk membiayai ibuku, janda kakakku dan empat orang anaknya.
(“Dengar baik-baik. Tulislah surat padaku tiap hari, tiap jam dan tiap detik. Hm, pesawat akan segera berangkat, selamat berpisah. Ooh ya sampai jumpa lagi, sampai jumpa lagi.”)
Dan bibirmu yang dingin itu menyentuh keningku. Engkau berbalik menuju pesawat, dan tatkala sekali lagi engkau menoleh, kulihat matamu berkaca-kaca.
Sesudah itu aku juga tekan kontrak dengan Departemen Pendidikan Kuwait. Tak perlu kuulangi lagi bagaimana tetek bengek hidupku di situ. Segalanya sudah kuberitakan selalu padamu. Hidupku seperti getah, melompong kayak kerang kecil, lontang-lantung dalam kesepian yang mencekam dan terombang-amibung antara kini dan masa depan yang suram bagai awal senja. Rutin yang membusuk dan perjuangan yang terpental dari waktu ke waktu. Semuanya seperti getah panas, hidup yang tergelincir dan kedambaan selalu pada akhir bulan.
Dan pada pertengahan tahun, ya tahun itu, Yahudi-Yahudi itu menggempur daerah Cobha dan menembaki Ghaza, Ghaza kita, dengan mortir dan napalm. Kejadian itu mungkin bisa sedikit merubah hal-hal turinku. Tapi waktu itu aku tak banyak peduli: Aku akan meninggalkan Ghaza menuju California, hidup untuk diriku yang telah cukup lama menderita. Aku benci Ghaza dan penduduknya. Semuanya di tanah ‘terbantai itu mengingatkanku akan lukisan-lukisan yang gagal dari seorang pelukis yang sakit, dengan warna keabu-abuan. Memang ada kukirimkan sedikit uang untuk ibuku, janda kakakku dan anak-anaknya untuk penambah hidup. Namun aku pun akan merantaskan tali terakhir di sana, di California yang hijau, jauh dari bau kenistaan yang menyesakkan hidungku selama tujuh tahun. Rasa kasihan yang mengingatku dengan keponakan-keponakanku, ibu mereka dan ibuku, tidak cukup untuk menebus nasib tragisku yang selalu menindih. Perasaan itu tidak bisa menenggelamkanku lebih dari itu. Aku harus pergi!
Engkau tahu perasaan-perasaan itu, Mustofa, karena engkau juga telah pernah menghayatinya. Perasaan samar-samar yang mempertalikan kita dengan Ghaza, dan yang membatasi semangat kita untuk lari! Kenapa tidak kita jelaskan hal itu dalam makna yang segamblang-gamblangnya? Kenapa tidak kita tinggalkan saja kenistaan ini dengan segala lukanya, dan pergi menuju kehidupan yang lebih penuh warna dan harapan? Kenapa? Kita tak tahu secara pasti!
Dan tatkala bulan Juni itu aku pakansi, kukumpulkan semua apa yang kumiliki dengan harapan kelepasan yang manis pada hal-hal kecil yang memberi hidup makna yang lembut dan warnawari. Kudapati Ghaza persis sebagaimana adanya: pengap bagai selaput dalam yang membungkus diri sebuah kerang karatan yang dilemparkan ombak ke pantai pasir penuh getah dan hampir terkelupas. Ghaza, yang lebih tertekan dari seorang yang diterkam mimpi yang menakutkan! Lorong-lorongnya yang sempit dengan baunya yang khas, bau kenistaan dan kemelaratan, dan rumah-rumahnya yang berbalkon menjorok ke luar. Itulah Ghaza. Tapi apa itu perasaan misterius dan samar-samar yang membuat seseorang jadi terhimbau misterius dan samar-samar yang membuat sescorang jadi terhimbau kepada keluarganya. rumahnya dan kenang-kenangannya? Sebagaimana sekawanan kambing sesat yang terpanggil oleh sebuah mata air! Aku tidak tahu. Yang kutahu, pagi itu kutemui ibuku di rumah kami. Saat tibaku di situ kujumpai istri almarhum kakakku. Sambil mengisak ia memintaku untuk memenuhi keinginan Nadia, anak perempuannya yang luka dirawat di rumah sakit Ghaza, agar aku menengoknya sore itu. Kau tahu kan Nadia keponakanku yang manis itu, yang baru berumur tigabelas tahun?
Sore itu kubeli sekilo apel dan aku melangkah ke rumah sakit untuk menjenguk Nadia. Kutahu, ada sesuatu yang disembunyikan oleh ibuku dan iparku itu. Sesuatu yang tak dapat mereka sampaikan dengan kata-kata, suatu hal aneh yang tak bisa kupastikan dengan jelas. Selalu kucintai Nadia, selalu kucintai generasi yang telah menetek dari kenistaan dan keterbuangan itu, sampai batas seolah-olah kehidupan bahagia tak lebih merupakan keabnormalan sosial.
Apa yang terjadi saat itu? Entahlah. Kumasuki kamar yang serba putih itu dengan tenang. Seorang anak yang sakit memperoleh semacam kekudusan. Apalagi kalau anak yang sakit itu akibat luka yang ganas dan menyerikan! Nadia terbaring di tempat tidur itu, punggungnya telekan pada bántal putih di mana rambutnya yang baggi bulu-bulu mahal itu tergerai. Kedua matanya yang besar itu diam kelam, dan sebutir air mata selalu nampak di lubuk kehitaman matanya yang dalam. Wajahnya diam tenang, tapi kayak terhuyung seperti wajah seorang nabi yang menderita. Nadia masih seorang anak kecil, namun nampak lebih dari itu. Lebih matang dari sekedar anak kecil, jauh lebih matang.
Entah aku yang mengucapkannya, atau orang lain di belakangku. Tapi ia mengangkat kedua matanya ke arahku. Dan kurasakan, kedua mata itu begitu melarutkan diriku seperti sepotong gula yang jatuh dalam segelas teh panas. Bersama senyumnya yang tipis, kudengar suaranya:
“Paman…. kau datang dari Kuwait?”
Suaranya seperti patah di kerongkongan. Lalu mencoba mengangkat dirinya dengan bertelekan pada kedua lengannya, menjulurkan lehemya ke arahku dan duduk sambil bersandar. Aku pun duduk di dekatnya.
“Nadia. Kubawa untukmu oleh-oleh dari Kuwait. Oleh-oleh banyak sekali. Kutunggu kau sampai bisa bangun dan sembuh. Nanti kau datang ke rumahku dan akan kuberikan oleh-oleh itu. Kubelikan pula kau pantalon merah yang pernah kau pesankan dalam suratmu. Ya, telah kubelikan itu.”
Suatu apusan yang seketika menyembul dalam keadaan yang mendebarkan itu, dan kurasakan tatkala aku mengucapkannya, seolah-olah untuk pertama kalinya aku telah mengatakan sesuatu yang sebenarnya. Adapun Nadia, ia nampak gemetar seperti kena sengatan listrik, menundukkan kepalanya diam dan bungkam, dan kurasakan airmatanya membasahi punggung tanganku.
“Katakan Nadia. Engkau tidak suka pantalon merah?”
Diangkatnya matanya ke arahku. Ia ingin bicara, tapi seperti tertahan. Giginya terkatup, dan kudengar sekali lagi suaranya seperti jauh:
“Pamanda…!”
Dijulurkannya lengannya, dan dedisingkapkannya putih itu. la menunjukkan pada kakinya yang terpotong sampai di atas paha!
Sahabatku.
Sama sekali tak akan pernah kulupakan kaki Nadia yang terpotong sampai atas paha itu. Tidak, tak akan pernah bisa kulupakan kepedihan yang terlumur pada wajahnya, bercampur dengan garis-garisnya yang manis itu. Selamanya tak akan pernah kulupakan. Dan hari itu aku ke luar dari rumah sakit itu ke lorong-lorong Ghaza dengan penuh jijik pada uang dua Pound yang kubawa untuk kuberikan pada Nadia. Matahari cerlang menyirami jalanan dengan warna darah. Dan Ghaza, ooh Mustofa, jadi nampak baru sama sekali. Tak pernah kita lihat begitu, aku dan kau. Tumpukan batu-batu di pinggiran Syaj’iyah di mana kita tinggal itu ada punya makna, seolah-olah diletakkan di situ hanya untuk menampilkannya. Ghaza yang tujuh tahun kita huni dalam kemalangan bersama penghuni-penghuninya yang baik-baik itu nampak jadi baru. Bagiku ia nampak bagai sebuah permulaan. Entah, kenapa kurasakan itu hanya sebagai permulaan saja. Kubayangkan, jalan besar itu di mana aku melangkah kembali ke rumahku tak lain hanyalah permulaan di Ghaza pada berduka atas terpotongnya kaki Nadia sampai batas paha. Kedukaan yang tak terhenti pada batas tangis dan air mat. Ia adalah tantangan, bahkan lebih dari itu ia mirip dengan pengembalian lagi kaki yang terpotong!
Aku ke luar menyusuri jalanan-jalanan Ghaza yang diguyung oleh cerlang matahari. Orang-orang mengatakan padaku, bahwa Nadia telah kehilangan kakinya tatkala melemparkan dirinya di atas tubuh adik-adiknya untuk melindungi mereka dari ledakan mortir dan napalm yang lagi mengamuk di rumah. Bisa saja bagi Nadia menyelamatkan diri, lari dari situ menyelamatkan kakinya. Tapi ia tidak melakukannya. Kenapa?
Tidak, sahabatku. Aku tak akan datang ke Sacramento, dan aku samasekali tidak menyesal. Tidak akan kulanjutkan apa yang telah pernah kita mulai bersama sejak masa kecil dulu. Perasaan misterius yang kau rasakan dulu tatkala kau tinggalkan Ghaza, perasaan yang samar-samar keil itu, harus bangkit membesar dan menggunung dalam dirimu. Harus kau cari itu agar kau bisa menemukan dirimu! Di sini di antara puing-puing kenistaan yang begini keji.
Kuwait, 1956.