Suatu hari menjelang Fathu Makkah, Sa’ad bin Ubadah sedang berpidato dengan lantang dan menggebu di hadapan pasukan umat Muslim yang kelewat bersemangat menuntut hak mereka atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh koalisi Quraisy.
Ini ada hubungannya dengan perjanjian Hudaibiyah yang diteken oleh Nabi Muhammad (mewakili Islam) dengan Suhail bin Amr (mewakili klan Quraisy) di tahun ke-6 H. Salah satu poin pentingnya adalah kesepakatan untuk melakukan genjatan senjata selama sepuluh tahun.
Maka konsekuensinya adalah tidak boleh ada pembunuhan dan kekerasan antar masing-masing pihak. Termasuk dalam hal ini adalah mereka yang ikut berkoalisi dengan pihak Muhammad maupun pihak Quraisy tidak diizinkan melakukan anarki kecuali harus dihukum sesuai aturan yang berlaku saat itu.
Hanya saja pada tahun ke-8 Hijriah, perjanjian itu justru dilanggar oleh kubu Quraisy setelah salah satu koalisinya, Kabilah Bani Bakr, diketahui telah membunuh seseorang dari Kabilah Khuza’ah yang berkoalisi dengan Nabi Muhammad.
Sesuai perjanjian, Kabilah Khuza’ah menuntut balas dari Bani Bakr. Alih-alih menerima konsekuensi hukum, Bani Bakr justru meminta koalisinya, yaitu kaum Quraish, agar mendukung mereka terbebas dari tuntutan hukum.
Merasa dipecundangi, Kabilah Khuza’ah lalu melapor kepada Nabi Muhammad selaku pimpinan tertinggi koalisi Madinah. Yang menarik di sini adalah Kabilah Khuza’ah ternyata bukan penganut Islam. Meski demikian, Nabi Muhammad tetap mengakomodasi hak mereka yang telah dirugikan dan menjadi bagian dari koalisi umat Muslim.
Sejurus kemudian, Nabi Muhammad segera mengumpulkan segenap orang dewasa seantero Madinah yang mampu berperang. Isunya adalah menegakkan perjanjian perdamaian yang seharusnya disepakati, tetapi malah dilanggar oleh pihak Quraisy.
Jadi, kedatangan Nabi Muhammad ke Mekkah waktu itu adalah untuk menagih komitmen perjanjian tersebut. Sontak, semua sahabat pun bersorak gembira karena akan memasuki dan menaklukkan Mekkah (fathu makkah), tempat musuh bebuyutan mereka selama ini.
“Hari ini adalah hari pembalasan (al-yaum al-malhamah),” tegas Sa’ad memompa adrenalin pasukan Islam.
Di luar dugaan, Nabi SAW segera merevisi pernyataan Sa’ad bin Ubadah. Tidak hanya itu, Sa’ad juga dicopot dari jabatannya sebagai panglima pembawa bendera. Sebagai gantinya, Qays bin Sa’ad bin Ubadah ditunjuk oleh Nabi SAW untuk membawa bendera yang semula menjadi tanggungjawab ayahnya.
“Hari ini adalah hari kasih sayang (al-yaum al-marhamah).” Demikian sabda Nabi Muhammad menandai peristiwa Fathu al-Makah bukan sebagai agenda menang-menangan yang penuh kekerasan, tetapi upaya perdamaian antar dua pihak yang di masa sebelumnya penuh ketegangan. (AN)