Etnis Tionghoa dan Narasi Baru Kebangsaan Indonesia Pasca-Gus Dur

Etnis Tionghoa dan Narasi Baru Kebangsaan Indonesia Pasca-Gus Dur

Perhatian pemerintah terhadap etnis Tionghoa sejak era Gus Dur hingga saat ini mencerminkan perjalanan panjang Indonesia menuju negara yang lebih inklusif dan adil.

Etnis Tionghoa dan Narasi Baru Kebangsaan Indonesia Pasca-Gus Dur

Setiap pemerintahan Indonesia pasca-Reformasi memiliki kebijakan khusus terhadap etnis Tionghoa, dari pengakuan budaya hingga penetapan Imlek sebagai hari libur nasional.

Hal ini menjadi menarik karena perhatian pemerintah terhadap kelompok ini, yang sebelumnya menjadi objek diskriminasi sistemik selama Orde Baru, terus konsisten hingga hari ini. Mengapa demikian? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat melalui lensa sejarah, politik domestik, dan geopolitik internasional.

Koreksi atas Luka Sejarah

Sejarah hubungan antara negara dan etnis Tionghoa di Indonesia adalah cerita panjang yang kompleks, sering kali ditandai oleh diskriminasi dan pengucilan. Pada masa Orde Baru, pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 melarang segala bentuk ekspresi budaya Tionghoa di ruang publik. Diskriminasi ini, sebagaimana dicatat oleh Ariel Heryanto dalam State Terrorism and Political Identity in Indonesia (2005), merupakan upaya untuk menempatkan etnis Tionghoa sebagai “the other” dalam narasi nasionalisme Indonesia yang homogen.

Anthony Reid, dalam karyanya Southeast Asia in the Age of Commerce (1988), mengingatkan bahwa Tionghoa di Nusantara sudah lama menjadi bagian integral dari jaringan ekonomi dan budaya di kawasan Asia Tenggara. Namun, kolonialisme Belanda memperparah segregasi dengan memisahkan etnis Tionghoa ke dalam struktur ekonomi sebagai pedagang dan perantara, menciptakan stereotip ekonomi yang bertahan hingga hari ini.

Langkah Gus Dur untuk mencabut larangan perayaan Imlek di ruang publik adalah koreksi besar terhadap warisan diskriminasi ini.

Gus Dur memahami bahwa pelarangan semacam itu tidak hanya melukai martabat etnis Tionghoa, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Pandangan ini selaras dengan teori keadilan John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), yang menegaskan bahwa kesetaraan adalah syarat mutlak untuk menciptakan masyarakat yang stabil. Dengan memberikan kembali hak-hak budaya kepada etnis Tionghoa, Gus Dur memulai proses rekonsiliasi yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya.

Keberagaman sebagai Aset Nasional

Pasca-Reformasi, Indonesia menghadapi tantangan untuk mendefinisikan ulang identitas nasional yang lebih inklusif. Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, teori konstruktivisme Alexander Wendt dalam Social Theory of International Politics (1999) menjadi relevan. Wendt menyatakan bahwa identitas dan kepentingan suatu negara tidak bersifat tetap, tetapi dibentuk melalui interaksi sosial. Dalam konteks ini, kebijakan pengakuan terhadap budaya Tionghoa dapat dilihat sebagai upaya untuk membangun identitas nasional yang menghargai keberagaman.

Penetapan Imlek sebagai hari libur nasional oleh Presiden Megawati pada tahun 2002, misalnya, adalah langkah simbolik yang signifikan. Namun, simbolisme ini memiliki dampak yang jauh lebih luas karena menunjukkan bahwa pemerintah mengakui etnis Tionghoa sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia.

Dalam konteks ini, pendekatan Indonesia terhadap keberagaman dapat dibandingkan dengan pendekatan multikulturalisme di negara-negara seperti Kanada dan Australia, yang menjadikan pluralisme budaya sebagai bagian dari narasi nasional.

Namun, perlu diingat bahwa pengakuan simbolik saja tidak cukup. James C. Scott dalam Weapons of the Weak (1985) mengingatkan bahwa simbolisme tanpa substansi dapat memperkuat ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan ini diiringi dengan langkah-langkah konkret untuk menghapus diskriminasi struktural, baik di bidang ekonomi, pendidikan, maupun politik.

Dimensi Politis dan Stabilitas Sosial

Perhatian pemerintah terhadap etnis Tionghoa juga tidak bisa dilepaskan dari konteks politik domestik. Dalam demokrasi pasca-Reformasi, setiap pemerintahan membutuhkan legitimasi politik yang kuat. Dengan menunjukkan perhatian terhadap kelompok minoritas, pemerintah tidak hanya memperluas basis dukungan politik, tetapi juga memperkuat stabilitas sosial. Dalam teori politik konsosiasionalisme yang dikembangkan oleh Arend Lijphart dalam Democracy in Plural Societies (1977), inklusi terhadap kelompok minoritas adalah kunci untuk menjaga stabilitas dalam masyarakat yang terfragmentasi.

Pemerintahan Joko Widodo, misalnya, secara konsisten menghadiri perayaan Imlek nasional dan menunjukkan dukungannya terhadap komunitas Tionghoa. Langkah ini bukan hanya bentuk penghormatan budaya, tetapi juga bagian dari upaya untuk menunjukkan bahwa pemerintah mampu menjadi perekat di tengah keragaman. Namun, inklusi ini juga harus dijaga agar tidak menciptakan kesan eksklusivitas, yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat lainnya.

Pengaruh Geopolitik dan Diplomasi Internasional

Selain dimensi domestik, kebijakan terhadap etnis Tionghoa juga memiliki aspek internasional yang signifikan. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) telah menjadi mitra dagang utama Indonesia dalam dua dekade terakhir. Dengan investasi yang besar di bidang infrastruktur dan energi, Tiongkok memainkan peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Dalam konteks ini, penghormatan terhadap komunitas Tionghoa di dalam negeri juga berfungsi sebagai sinyal diplomatik kepada Tiongkok.

Joseph Nye dalam Soft Power: The Means to Success in World Politics (2004) menjelaskan bahwa soft power, atau kekuatan untuk memengaruhi melalui daya tarik budaya dan nilai, memainkan peran penting dalam hubungan internasional. Dengan menunjukkan bahwa Indonesia menghormati pluralisme dan keberagaman, pemerintah meningkatkan citra negara ini di mata dunia, termasuk di mata Tiongkok. Langkah ini juga memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang stabil dan inklusif di kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, diaspora Tionghoa yang tersebar luas di Asia Tenggara dan dunia juga menjadi jembatan penting dalam diplomasi ekonomi dan budaya. Dengan mendukung komunitas Tionghoa di dalam negeri, Indonesia dapat memanfaatkan jaringan diaspora ini untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara lain.

Tantangan dan Harapan

Meskipun kebijakan ini telah membawa perubahan positif, tantangan tetap ada. Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa perhatian terhadap etnis Tionghoa tidak menciptakan kesan eksklusivitas yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial.

Pemerintah harus terus menekankan bahwa kebijakan ini bukan sekadar penghormatan terhadap kelompok tertentu, tetapi bagian dari upaya untuk membangun masyarakat yang inklusif bagi semua.

Selain itu, penting untuk mencatat bahwa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak hanya terjadi dalam bentuk eksplisit, tetapi juga dalam bentuk yang lebih halus, seperti stereotip ekonomi. Penelitian Robert Hefner dalam Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (2000) menunjukkan bahwa perubahan kebijakan saja tidak cukup untuk mengubah persepsi sosial yang telah mengakar. Oleh karena itu, pendidikan multikulturalisme harus menjadi bagian integral dari strategi pemerintah untuk mengatasi diskriminasi di masa depan.

Perhatian pemerintah terhadap etnis Tionghoa sejak era Gus Dur hingga saat ini mencerminkan perjalanan panjang Indonesia menuju negara yang lebih inklusif dan adil. Kebijakan ini tidak hanya mengoreksi diskriminasi sejarah, tetapi juga membangun fondasi untuk harmoni sosial dan memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional. Dengan memanfaatkan keberagaman sebagai aset strategis, Indonesia menunjukkan bahwa pluralisme bukanlah ancaman, melainkan kekuatan yang dapat membawa bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik.

Namun, perjalanan ini belum selesai. Pemerintah harus terus mengupayakan kebijakan yang tidak hanya simbolik, tetapi juga substantif, untuk memastikan bahwa semua elemen bangsa merasa dihormati dan dilibatkan. Pada akhirnya, keberagaman yang diakui dan dirayakan adalah kunci untuk menciptakan Indonesia yang lebih kuat, baik di tingkat domestik maupun internasional.

(AN)