Aku tahu mereka mati “demi tanah air agar selamanya hidup”
Tanah air kami ini, bumi orang-orang disembelih, padang tergenang darah
Aku tahu kemerdekaan merah menyala, dan inilah harganya,
Tebusan yang mengerikan, segala kuyup mengucur ratapan bersimbah.
Aku tahu, namun sayatan pilu di hatiku tak mau tahu semua ini
Aku meratapi setiap mata redup yang kehilangan cahaya hidup,
Setiap jiwa yang menghembuskan nafas penghabisan.
Ingat,
Ya sungai kekayaan yang subur berlimpah,
Ya tanah permata dan zamrud yang indah,
Di mana tambang-tambang pirus mengaliri dasar sungai
Dan kilauan cahaya purnama tersirat kesejukan malam permai
Ya hembusan debu keemasan yang berseri-seri
Ya air terjun berlian dalam cahaya pagi
Ingat –
Permata manikam adalah permata yang paling berharga
Dan Ingat,
Musim bertunas adalah musimmu paling megah
Ribuan mata air melimpah ruah
Namun suatu kali kelak akan kehilangan cahaya hidupnya
Surut, dan ribuan tangannya yang pemurah
Dan berkahnya yang mempesona, suatu saat akan membeku, diselubungi salju maut.
Dan ingat ,
Sungai darah adalah kalimu paling megah, tiada tara,
Mengalir dari pembuluh darah anak-anakmu, angkatan pengorbanan,
Dan ke dalam tanahmu yang ramah dan harum mereka lenyap, tiada lagi
Mereka yang pernah memberikan hidup ke mana pun mereka pergi.
Setiap orang akan menempuh jalannya masing-masing
Dan mabuk kemudaan segar, harapan hijau, gairah rindu,
Sebagian tak memperdulikan dunia, yang lain silau mencintainya,
Sebagian menanam benih-benih kebaikan,
Yang lain menuai, dengan kembang dan nyanyian,
Dan sebagian lagi bercita-cita memetik buah dari bibir-bibir juita.
Mereka orang-orang seperti yang lain juga
Punya kelemahan dan keteguhan hati, punya hasrat keinginan
Dan harapan yang beraneka ragam, punya kerinduan yang menyiksa.
Kemudian, ketika kisah kejahatan menghamburkan impian mereka,
Dan sebuah pernyataan menantang mereka dengan gaung keras dan tiba-tiba:
“Keadilan dan lenyapnya kejahatan, atau cita-cita harus dikuburkan?
Hidup dalam penyerahan, atau menolak dengan kenekatan?”
Mereka pun lalu membuat keputusan,
Dan kuburan-kuburan kosong segera penuh
Kemudaan yang segar, harapan hijau, gairah rindu
Dan hidup bebas yang dengan bebas pula dikorbankan,
Meluap dari liang kubur yang hitam kelam.
Demikianlah mereka gugur-mati, dan di jalan setapak mereka, yang lainpun mengikuti,
Mimpi mereka adalah nasib yang tak terelakkan, wahai anak-anak pengorbanan!
Gigil demam meruap di dadaku, dan di pelupukku
Mengalir air mata kesedihan, tetapi juga kilatan rasa bangga.*
Oleh: Salma Khadra Jayyusi, lahir pada 1926. Jayyusi adalah seorang penyair Palestina yang kemudian sukses sebagai seorang sarjana. Ia meraih gelar PhD dari University of London, dan berjasa dalam menerjemahkan puisi-puisi Palestina dan Arab pada umumnya ke dalam bahasa Inggris. Salah satu karya kesarjanaannya yang penting adalah: Anthology of Modern Palestinian Literature (terbit pada 1992).
Diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M.
* Bagian ini diterjemahkan oleh Ulil Abshar Abdalla dari teks asli Salma Khadra Jayyusi; bagian ini, tampaknya, hilang dari naskah terjemahan yang dikerjakan oleh Abdul Hadi W.M.