Dunia Islam pekan ini masih diramaikan oleh upaya Palestina melawan hegemoni Amerika Serikat dan Israel. Palestina terus melawan ketidakadilan yang terus mereka alami. Mulai dari okupasi Israel yang entah kapan berakhir, hingga pengakuan sepihak Yerussalem sebagai ibukota mereka. Meskipun perlawanan mereka juga didukung oleh banyak negara, khususnya negara-negara berbasis muslim, namun tetap saja kekuatan itu dirasa tidak cukup.
Baru-baru ini, Donald Trump menawarkan traktat damai bagi Palestina-Israel. Nota kesepamahan ini melingkupi pemberhentian eskalasi kekerasan yang kerap terjadi antara tentara Israel dengan penduduk Palestina, juga perihal Yerussalem yang tetap menjadi bagian Israel, bukan sebaliknya.
Dalam nota kesepahaman yang ditawarkan Israel berkeinginan menjadikan Yerussalem secara utuh sebagai ibukota mereka, padahal seharusnya tidak demikian. Palestina menganggap bahwa Yerussalem bagian timur yang diduduki Israel sejak 1967 dalam perang Arab-Israel adalah wilayah mereka. Sebuah ibukota negara.
Israel pun menawarkan Abu Dis,kota kecil palestina di pinggiran Yerusalem ditawrkan sebagai ibukota Palestina yang baru. Tentu saja hal ini mendapatkan penolakan yang sangat keras. Presiden Palestina Mahmoud Abbas pun tidak terima.
“Apa yang Anda mau jika Yerusalem lepas? Apa mendirikan negara dengan Abu Dis sebagai ibu kotanya?” kata Abbas retoris. “Itulah yang mereka sedang tawarkan kepada kita. Abu Dis,” tambahnya.
Secara tegas, Abbas pun menolak keras upaya Trump dan menyebutnya sebagai tamparan keras bagi peradaban.
“Yerusalem dihilangkan dari meja oleh satu cuitan Trump,” kata Abbas sebagaimana dikutip dari Antara.
Abbas juga menambahkan bahwa status Yerussalem seperti halnya Mekkah, begitu penting. Hal ini ia utarakan dalam forum bersama anggota Dewan Pembebasan Palestina (PLO) di kota Ramallah, Tepi Barat Jordania.
Selain itu, Abbas juga menyatakan bahwa apa yang dilakukan Trump dan Amerika serikat atas Palestina merupakan tamparan besar di abad ini.
“Kami katakan Tidak pada apa yang bertentangan dengan nasib kita semua, masa depan atau alasan kita atau rakyat Palestina. Tidak dan ribuan Tidak dan sekarang kita katakan kepada Trump Tidak dan Tidak dan kita beritahu Trump ‘kesepakatan abad ini’ adalah ‘tamparan abad ini’,” terang Abbas sambil berkali-kali menegaskan kata ‘tidak’.
Tamparan dan kesekapatan abad ini seperti yang dikatakan oleh Abbas tentu saja begitu gamblang untuk dipahami mengingat abad ini dianggap sebagai abad yang penuh perdamaian. Tapi, apa yang dilakukan Trump membuat segalanya menjadi gaduh dan tentu saja membuat warga Palestina sengsara.
Efek dari itu, Amerika Serikat pun membekukan dana bantuan bagi Palestina. Dana bantuan itu sejatinya dialirkan dari Washington melalui Badan Bantuan Perserikatan Bangsa untuk Pengungsi Palestina (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East/UNRWA). Amerika hanya menyetor 60 juta dolar untuk operasional tapi menahan 65 juta dolar sisanya.
Dalam sejarahnya, UNRWA sendiri bekerja untuk isu-isu kesehatan dan bantuan darurat serta pendidikan bagi warga Palestina sejak rentang waktu yang tidak sebentar, sejak masa pendudukan Israel di Tepi Barat. Begitu halnya di jalur Gaza dan semenanjung Arab sejak tahun 50-an.
“Amerika Serikat telah menjadi satu-satunya donatur terbesar UNRWA selama beberapa dekade. Dalam beberapa tahun terakhir, kami menyumbang sekitar 30 persen pendapatan total UNRWA,” tutur salah seorang pejabat AS yang tidak ingin disebutkan namanya kepada AFP.
Selain itu, Dunia islam Pekan ini, juga diikuti oleh berita tentang konflik yang melanda di Myanmar dan mengakibatkan etnis Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Tercatat, ada 650.000 ribu jiwa terpaksa meninggalkan Rakhine, Myanmar, demi menyelamatkan diri mereka dari kejaran militer.
otoritas kedua negara telah bertemu dan sepakat akan memulangkan para pengungsi Rohingya. Pemulangan itu akan dilakukan selama rentang dua tahun. Meskipun begitu, banyak pihak menyangsikan rencana tersebut.
alah satu yang khawatir atas pemulangan ini adalah Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan Badan Pengungsi PBB (UNHCR). Ia khawatir, pemulangan ini terjadi secara paksa, apalagi jumlahnya yang cukup besar.
“Akan sangat penting jika UNHCR dilibatkan secara penuh dalam operasi itu demi memastikan operasi tersebut mematuhi standard-standard internasional,” kata Guterres.
Tentu hal ini membuat para aktivis dan publik harus ekstra mengawasi repatriasi tersebut mengingat kedua dianggap masih setengah hati untuk menuntaskan konflik yang telah memakan banyak sekali korban jiwa ini.
Dunia islam pekan ini juga datang dari Pakistan. Negeri yang kerap dilanda konflik sektarian ini mengeluarkan fatwa penting, yakni fatwa tentang haramnya bom bunuh diri, apa pun alasannya, apalagi membawa islam.
Tercatat ada lebih dari 1800 ulama di Pakistan berkumpul dan membahas hal ini hingga membuat kesimpulan bahwa bom bunuh diri telah meremukkan ajaran islam. Fatwa tersebut memberikan dasar kuat bagi stabilitas masyarakat Islam moderat, khususnya di Pakistan.
“Kita bisa mencari panduan dari Fatwa ini untuk membangun narasi nasional guna mengurangi ekstremisme sesuai prinsip emas Islam,” kata Presiden Pakistan Mahmoud Hussain.
Tentu ini angin segar mengingat negara ini sering kali ditempa bom bunuh diri atas nama Islam dan dianggap sebagai negara yang tidak aman, serta tempat konservatisme tumbuh subur.
Pakistan menjadi moderat lagi adalah sinyalemen penting dan pesan bagi dunia bahwa Islam tidak semenakutkan seperti yang mereka tuduhkan selama ini.