Di dalam akun media sosialnya, Petinggi HTI Rokhmat S. Labib, menyampaikan: “Kami sudah menyampaikan banyak dalil dan pendapat para ulama mu’tabar tentang wajibnya khilafah, itu menunjukkan secara pasti bahwa khilafah adalah ajaran islam. Sekarang giliran penentang khilafah, tunjukkan pendapat ulama mu’tabar yang tidak mewajibkan khilafah, apalagi yang menolak dan menentangnya!” Kata-kata ini disertai dengan sejumlah kutipan dari beberapa ulama otoritatif Ahlussunnah Wal Jama’ah, seperti Imam Al-Ghazali, Imam al-Nawawi, Imam Al-Mawardi, Ibnu Khaldun, Syeikh Wahbah al-Zuhaili.
Namun, uniknya, dari beberapa kutipan itu, tidak ada satupun yang secara tegas (dalil dzahir) menyatakan bahwa negara itu harus dengan label khilafah. Untuk lebih jelasnya, mari kita kupas salah satunya pandangan Imam al-Ghazali mengenai konsep negara dan imamah. Mengapa konsep imamah dan bukan konsep khilafah? Karena di dalam kitab Imam al-Ghzali yang dicatut oleh Rokhmat S. Labib, adalah berbicara soal Imamah dan bukan Khilafah. Lebih jelasnya, yang pendapat Imam Al-Ghazali, yang dinukil oleh Rokhmat S. Labib itu sebagai berikut:
فبان أن السلطان ضروري في نظام الدنيا ونظام الدنيا ضروری في نظام الدين .. ونظام الدين ضروري في الفوز بسعادة الآخرة وهو مقصود الأنبياء قطعا فكان وجوب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه فاعلم ذلك
Pernyataan Imam al-Ghazali ini diterjemahkan oleh Rokhmat S. Labib sebagai berikut: “Jelaslah bahwa kekuasan itu penting demi keteraturan agma dan keteraturan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama, sedangkan keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat. Itulah tujuan yang pasti dari para Nabi. Karena itu kewajiban adanya imam (khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam syariah yang tak ada jalan untuk ditinggalkan. Ketahuilah ini!”
Ada dua kalimat yang digarisbawahi oleh penulis dalam kutipan di atas, yang menjadi penting untuk ditelaah kembali, bahwa benarkah Imam al-Ghazali rahimahullah ta’ala bermaksud dengan menyebut sulthan sebagai bermakna kekuasaan dan imam sebagai khalifah. Mengapa Rokhmat S. Labib tiba-tiba perlu memberi penegasan berupa kata dalam kurung dengan menyamakan imam dengan khalifah?
Untuk itu, penulis mencoba membuka kitab karya Imam Al-Ghazali, dengan judul al-Iqtishad fi al-I’tiqad, terbitan Damaskus: Dar Kotaiba, halaman 169-174, Bab III tentang Imamah. Di dalam bab ini, Imam al-Ghazali memperingatkan bahwa bahasan tentang Imamah ini bukan wilayah bahasan rasional (ma’qulat), namun juga bukan merupakan hal yang sangat penting dalam agama. Bahkan bahasan tentang ini dapat memungkinkan bagi lahirnya sikap ta’ashub (fanatik), oleh karenanya berpaling dari memperumit bahasan merupakan tindakan yang paling menyelamatkan (aslam) meskipun ada indikasi kebenaran.
Jika “benar” dalam pembahasan saja dapat menyebabkan sikap ta’ashub (fanatik / ekstrim) yang sudah pasti berbahaya, bagaimana bila bahasan itu salah? Tentu, alangkah berbahayanya sikap ekstrim tersebut. Ini adalah awal kata peringatan yang disampaikan oleh Al-Ghazali dalam memulai bab Imamah. (Lihat: al-Iqtishad fi al-I’tiqad, halaman 169).
Dengan kata lain, menurut pengertian mafhumnya, Imam al-Ghazali seolah sudah mengingatkan agar jangan diperumit agar tidak jatuh dalam pemikiran ekstrim tersebut. Hendaknya sikap umat Islam adalah sebagaimana judul kitabnya – al-iqtishad fi al-i’tiqad – beliau menghendaki agar pembahasannya dilakuka secara moderat, dan bukan dengan sikap penuh ambisi sehingga lebih nampak kefanatikannya.
Berikutnya Imam al-Ghazali menjelaskan mengenai beberapa tema yang hendak dibahas berkaitan dengan imamah tersebut, dengan membagi menjadi 3 obyek bahasan, yaitu: 1) wujubu nashbi al-imam (wajibnya menegakkan imam), 2) Syarat-syarat Imam dan Imamah, dan 3) Aqidah ahlu al-sunnah dalam memandang sahabat dan khulafau al-rasyidin. (halaman: 169)
Selanjutnya Imam al-Ghazali menjelaskan mengenai hukum wajibnya mendirikan Imam adalah berdasarkan syara’ dan bukan semata rasio. Wajibnya pendirian imam ini juga sudah menjadi kesepakatan para ulama’, disebabkan adanya faedah-faedah tersembunyi dibalik keberadaan Imam, di antaranya dapat mengatasi kerugian bersama masyarakat dalam urusan dunia.
Karena pendirian Imam adalah wajib ditentukan berdasarkan syara’, maka syarat yang harus dipenuhi terkat dengan idealitas pribadi seorang imam adalah ia harus menguasai nushush al-syari’ah. Dan ni pernah terjadi pada masa ketika Khalifah Ali karamallahu wajhah wafat, dan kekuasaan kekhalifahan diambil alih oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, saat itu kekuasaan umat Islam menjadi berubah.
Jika sebelumnya dalam pemilihan khalifah adalah dilakukan dengan bai’at dan pertimbangan penguasaan nash syariah, namun semenjak berkuasanya Muawiyah bin Abi Sufyan, maka kepemimpinan itu tidak lagi atas dasar idealitas kepemimpinan di awal masa Khulafau al-Rasyidin, bahkan peralihan generasi pemimpin tidak lagi atas dasar pemilihan melainkan sistem monarki (kerajaan) dengan ditandai adanya putra mahkota. Sejarah ini dicatat oleh Imam Al-Ghazali melalui penjelasan beliau sebagai berikut:
فإذا لم يوجد . بعد وفاة الإمام – إلا رجل قرشي واحد ، وفيه كل صفات الإمام . فإمامته صحيحة وتجب طاعته . . فإن تعين الإمام بسبب قوته وشوكته وكفايته .. وإن نازعوه على الإمامة وأثاروا الفتن فالأفضل مبايعته وتفويضه
“Ketika tidak ditemukan setelah wafatnya Imam melainkan seorang lelaki Qarsiy, namun padanya terdapat beberapa karakteristik seorang Imam, maka sifat keimaman dia adalah sah, sehingga wajib ta’at. Akan tetapi, bila dalam suatu kondisi tertentu, telah berdiri seorang Imam dengan sebab kekuatan dan bala tentaranya serta cengkeramannya, bilamana upaya menurunkannya justru dapat menimbulkan fitnah (bahaya bagi kaum muslimin), maka tindakan yang paling afdlal adalah membaiatnya sebagai Imam dan menyerah.”(Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, halaman 171).
Berbekal penjelasan ini, sifat dharuri kepemimpinan yang sebelumnya harus memenuhi langit idealitas, menjadi turun, sehingga orientasi kepemimpinan negara juga berubah. Imam al-Ghazali, menegaskan lebih lanjut:
وإذا لم تتوفر الشروط في الإمام وكان قادرة على تأمين المعاش والمعاد ، وتحقيق الأمن وعدم القتال والمحاربة ولم يكن عالما ولكنه يراجع العلماء ويعمل بقولهم ففيه رایان : أ- يجب خلعه واستبداله بمن يتوفر فيه جميع الشروط من غير إثارة فتن أو قتال . ب . يجب طاعته والقبول بإمامته ، إذا خشيت الفتن والحروب
“Ketika berbagai syarat menjadi seorang Imam itu tidak dapat terpenuhi sesuai idealitasnya, sementara yang bisa dilakukan dengan kekuasaan itu adalah terjaminnya kehidupan dan aktifitas ibadah untuk akhirat, sementara pemberian rasa aman itu bersifat nyata, dengan ketiadaan perang atau memerangi kaum muslimin, bahkan meski dia seseorang yang bukan orang alim dalam agama, namun ia mau merujuk ke pendapat para ulama serta mengamalkan nasehat-nasehatnya, maka terhadap pemimpin yang demikian ini berlaku dua pendapat: 1) wajib menurunkannya dan menggantinya dengan orang yang sekira memenuhi syarat sebagai imam, dengan catatan tanpa adanya fitnah atau peperangan, dan 2) wajib mentaatinya dan menerima kepemimpinannya, bila khawatir timbul fitnah terhadap orang Islam dan peperangan.” (Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, halaman 171).
Jika menyimak beberapa bahasan di atas, secara tegas, Imam Al-Ghazali tidak pernah menyinggung sedikitpun mengenai konsep khilafah. Beliau hanya menyampaikan tentang konsep Imamah dan Imam. Di dalam konsep Imamah, yang dikedepankan adalah adanya pemimpin yang menaungi masyarakat dan umat Islam, yang dapat menjamin pelaksanaan hak individu, sosial dan agamanya serta membawanya menuju kemaslahatan.
Itulah sebabnya, dalam konsep Imam Al-Ghazali, kriteria pemimpin dirangking menurut idealitasnya. Bila konsepsi idealitas tidak mampu dipenuhi, maka kriteria itu diturunkan sesuai dengan realitas yang ada dan menjaga agar tidak terjadi kekacauan atau chaos public. Penurunan kriteria pemimpin ini sebagai yang tidak harus menguasai nushush al-syariah diturunkan dengan kriteria asal pemimpin tersebut mahu merujuk kata-kata ulama’ ditambah dengan beberapa kriteria sebelumnya terkait dengan aspek duniawi.
Alhasil, konsepsi Imam yang dicatut oleh Petinggi HTI Rokhmat S. Labib itu tidaklah sama dengan konsepsi khalifah. Demikian juga dengan konsepsi sulthan, tidaklah bermakna sebagai kekuasaan, melainkan pada bentuk negara dengan kriteria pemimpinnya yang tidak lagi memenuhi idealitasnya dalam menguasai teks-teks syariat. Sebab penguasaan teks-teks syariat umumnya dikuasai oleh ulama mujtahid.