Agama bertemu ilmu kesehatan modern menimbulkan beragam polemik. Dari tuduhan penggunaan KB sebagai alat propaganda memperkecil populasi umat Islam, sampai viralnya fenomena anti-vaksin.
Banyak masyarakat menolak vaksin dengan anasir konspirasi global penyisipan virus dalam tubuh orang muslim. Vaksinansi dianggap akan menjadi parasite dan merusak sistem kesehatan dari dalam tubuh seseorang. Ditambah dengan klaim kandungan tak halal karena belum berstempel MUI, vaksin pun makin dimusuhi.
Fanatisme agama berjumpa dengan sains-semu membuat nalar masyarakat jadi kacau. Ilmu kesehatan didefinisikan dengan dalil berpondasi agama, bukan dalil ilmiah dengan segala metodologi rumit. Penjelasan itu seolah-olah tampak menggiurkan, tetapi tak tepat untuk menjelaskan duduk persoalan. Agama jadi ogah percaya pada ilmu kesehatan.
Namun, jauh di era lampau, saat Indonesia masih berjuluk Hindia, kehadiran agama tak melulu bikin ribut. Agama tak hanya bisa bertemu, tapi juga berkawan baik dengan ilmu kesehatan modern. Pada 1903, di Kota Bonjol, lahir seorang anak bernama Ahmad Ramali. Ia sekolah kedokteran di STOVIA pada umur 15 tahun. Setelah lulus, tugas menjadi dokter membawanya menjelajah ke beberapa kota.
Ramali tak hanya menghabiskan waktu mengobati pasien di rumah sakit. Ia berkeliling ke pelosok untuk menyambangi tempat tinggal masyarakat. Pola hidup sehat masyarakat beragam di tiap tempat. Hal itu membuatnya sadar untuk menerapkan intervensi kesehatan berbeda tapi bertujuan sama.
Pengobatan saja tak cukup. Ramali tidak puas dengan tupoksi seorang dokter dengan hanya mengobati pasien ketika jatuh sakit. Ia lantas memberi ceramah kecil pada kelompok masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan, mencegah datangnya penyakit, sehingga tak cepat mati.
Gani A. Jaelani, sejarawan kesehatan, dalam Islam dan Persoalan Higiene di Hindia-Belanda merekam fragmen hidup Dokter Ahmad Ramali. “Sebagai seorang dokter yang dididik secara barat”, Ramali “berupaya memberi penjelasan ilmiah atas ajaran Islam dan meletakannya dalam kerangka sains modern yang selalu bersandar pada eksperimen.”
Ramali tak berpretensi menggunakan agama sebagai alat menakut-nakuti masyarakat agar bisa hidup sehat. Alih-alih bersandar pada sains-semu, Ramali tak main-main bersiasat mendudukkan dengan baik agama dengan ilmu kesehatan modern.
Sejak gagasan mengenai bakteriologi mulai merambah ke dalam ilmu kesehatan modern di akhir abad XIX, Ramali mengolah informasi itu dan mengawinkanya dengan persfektif Islam. Sesuatu dianggap najis seperti darah, nanah, tinja, dan air seni, harus selalu dijauhi. Tubuh tak hanya akan dianggap kotor dalam definisi Islam ketika terkena unsur itu, tetapi juga berbahaya dalam pandangan ilmu kesehatan karena menjadi sebab timbulnya penyakit.
Hubungan Islam dengan ilmu kesehatan dikristalisasi. Bermula dari hadis At -Thahuuru syathru al-iiman (kebersihan sudah merupakan setengah dari iman), Ramali menyusun suatu formula sebagai ikhtiarnya menjadikan masyarakat tak melupakan perkara kebersihan dan kesehatan dalam hidup.
Gani A. Jaelani dalam tulisannya memberi penjelasan perihal resep kesehatan bikinan Ramali. Sepuluh jari, dari dua telapak tangan ketika mengangkat takbir di awal shalat, ialah semacam simbol keimanan. Satu tangan sebagai simbol rukun Islam. Satu tangan lain menyimbolkan rukun kesehatan. Jadi, diangkatnya sepuluh jari merupakan prinsip, pedoman hidup orang Islam baik secara spritual dan material. Keimanan dan kesehatan.
Lima prinsip rukun kesehatan ala Ramali meliputi: higiene rumah dan halamannya, higiene pakaian, higiene tubuh, kebersihan makanan dan minuman, dan kebersihan jiwa. Pendidikan ilmu kesehatan barat memakai pandangan dualisme tubuh dan jiwa tak diamini oleh Ramali. Lima rukun kesehatan hasil susunannya, empat pertama bersifat material, sedangkan terakhir sifatnya spritual. Sintesis antara Islam dan ilmu kesehatan modern ini menciptakan pendekatan holistik.
Ada satu potongan menarik dalam kisah dokter Ramali dalam tulisanya di Tangkal Pest Jaitoe Persatoean ’Ilmoe dan Agama Menolak Bahaja Pest (1933). Suatu hari, ia menemukan orang mati tetapi tak diketahui apa penyakitnya. Dugaanya terserang pest, tetapi belum pasti. Ia lantas berdiskusi dengan Haji Agus Salim, yang kelak jadi menteri luar negeri era Soekarno. Dokter Ramali menyampaikan keinginannya untuk membedah mayat si korban dengan menyuntik jarum ke limpa. Tujuanya untuk mengetahui penyebab penyakit agar bisa membuat strategi pencegahan. Namun, hajat Ramali terhambat. Pembedahan itu dianggap penginaan terhadap mayat dan dilarang agama, tentu saja.
Tapi Ramali bukan orang bodoh. Ia banyak akal. Ia tak mengarang cerita untuk membenarkan pretensinya. Ramali enggan untuk melakukan itu. Ia berpangkal pada dua argumentasi cemerlang sains-ilmiah dan agama. Pertama, Ramali berkata: “soentikan itoe […] tidak oentoek memasoekkan barang satoe apa kedalam badan majat itoe, melainkan oentoek mengeloearkan air daripada limpanja oentoek diperiksa” Orang beragama Islam harus menanggalkan apa saja saat meninggal, kecuali balutan kain kafan. Ramali menganalogikan memasukan jarum suntik untuk mengeluarkan sesuatu, yaitu penyebab penyakit dalam limpa si mayat agar tak ada ketinggalan. Kedua, sesuatu bisa dibenarkan demi kepentingan orang hidup. Ramali menganalogikan –menurut Gani A. Jaelani, “dengan kasus diperbolehkannya mengeluarkan bayi yang masih hidup di lama perut soerang ibu yang meninggal dengan cara membelah perutnya.”
Ramali betul-betul mencerahkan. Ia pun dapat pujian oleh Haji Agus Salim. Ketangkasan berfikir Ramali, mestinya jadi referensi kita berfikir hari ini. Ia mengombinasikan agama dengan ilmu kesehatan untuk pemartabatan hidup. Ramali menggunakan sisi saintifik dan Islam sebagai jembatan agar masyarakat gampang meyakini pentingnya hidup sehat.
Agama maupun ilmu kesehatan, seperti halnya ilmu-ilmu lain, memang bersifat bebas nilai. Ia akan diberi makna oleh penggunanya. Dulu Ramali menggunakan ilmunya itu untuk mengangkat harkat hidup masyarakat. Sedangkan, hari ini, perang malah berkecamuk antara agama dan ilmu kesehatan.
Hari Dokter Indonesia (24 Oktober) nanti harusnya bisa jadi momentum mengenang pengisahan hidup dokter (islami) Ahmad Ramali. Ajaranya bisa kita pakai untuk mendamaikan perseteruan ilmu kesehatan dan agama yang muncul bukan dari kebiasaan berfikir ilmiah, tetapi lewat perantara maraknya racun pikir bernama sains-semu. Ditambah mengguritanya kepercayaan berlebih pada hal-hal berbau konspirasi, termasuk pelbagai tuduhan tak ilmiah lagi menyesatkan. Dengan pola pikir picik itu, pada akhirnya, kita pun tahu, masyarakat awam jadi tumbal, jadi korban, dan jadi sasaran kematian.
Wallahu A’lam.