Kasus penyerangan sejumlah warga terhadap mahasiswa Katolik di Tangerang Selatan yang sedang melakukan ibadah rosario memantik sebuah pertanyaan, sudah di titik manakah kehidupan toleransi di Indonesia?
Setelah sekian banyak intervensi, termasuk oleh pemerintah melalui moderasi beragamanya, apakah kehidupan keberagaman memang banyak berubah, masih jalan di tempat, atau justru mundur ke belakang?
Saya mencoba melihatnya dari sisi yang lebih presisi. Jika biasanya saya hanya melihat analisis-analisis terkait praktik baik atau buruk yang menempatkan masyarakat sebagai objek penilaian, pertanyaan di atas perlu dijawab menggunakan kacamata penegakan hukum. Sebab salah satu akar masalah masih terjadinya kasus-kasus intoleransi adalah adanya impotensi hukum.
Dengan kata lain, jawaban pertanyaan di atas sangat ditentukan dengan bagaimana arah penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat. Kasus yang terjadi di Pamulang itu bukan hanya intoleransi, namun sudah merupakan kriminalitas karena adanya ujaran kebencian dan tindakan penyerangan menggunakan senjata tajam.
Sejauh ini, kepolisian sudah melakukan hal yang tepat dengan melakukan penetapan tersangka dan penahanan terhadap warga yang dianggap terlibat dalam kasus tersebut. Menarik untuk disimak bagaimana kasus ini bergulir dan sejauh mana hukum bisa menunjukkan marwahnya.
Jurnalisme Gosip
Ketika pertama kali melihat video penyerangan itu, saya pun langsung mengelus dada. Sebagian orang mungkin berpikir bahwa akan ada dua versi cerita dalam sebuah peristiwa. Namun ujaran kebencian dan penyalahgunaan senjata tajam adalah perkara yang tidak bisa diperdebatkan atau dicarikan alternatif kisahnya.
Sayangnya, beberapa media justru seolah menggiring opini pemakluman dengan mengutip sumber yang tidak relevan. Misalnya, media X mencoba membuat cerita tentang kebiasaan para penghuni kontrakan yang kerap membuat keresahan dengan menyanyi.
Atau, kisah pemukulan mahasiswa pada warga yang memicu kemarahan warga hingga terjadinya penyerangan. Ada lagi dongeng senjata tajam itu dibawa tanpa persiapan, alias ekspresi impulsif emosinal.
Dan tentu saja yang lebih klasik adalah narasi setamsil “kegiatan doa mahasiswa tersebut tidak berizin.”
Ajaibnya, sejuntai kalimat itu dimuat pula oleh sebuah media dengan jutaan pembaca. Begini kira-kira redaksinya:
Ia juga menduga aktivitas kumpul itu bukan bagian dari ibadah. Sebab, aktivitas kumpul itu waktunya tidak menentu.
Kalimat tersebut, meski dikutip dari keterangan warga, adalah gosip. Media-media yang menerbitkan gosip-gosip seperti itu barangkali lupa bahwa yang menjadi korban adalah para mahasiswa yang sedang beribadah.
Semestinya, dalam kasus-kasus seperti ini, perspektif korban perlu mendapat tempat lebih, alih-alih memberi ruang yang besar bagi pelaku atau kelompok pendukungnya untuk menciptakan pemakluman.
Jurnalis perlu bersikap kritis dan berusaha mendapatkan keterangan dari korban. Jika tidak dapat dengan berbagai alasan, ya tidak perlu diterbitkan. Sebab tugas utama jurnalis adalah membuat berita, bukan menulis ulang keterangan orang.
Pada akhirnya, kita hanya bisa berharap bahwa apa yang terjadi di Pamulang bukanlah puncak gunung es. Terlebih sebagai seorang muslim, saya belum menemukan satu pun dalil yang menyebut tindakan seperti itu sebagai sebuah jalan dakwah. Wallahua’lam.