Setelah Portugis dan Belanda ‘sesumbar’ ihwal penemuan benua baru di Pasifik, orang-orang di Inggris mulai membicarakan peluang berbisnis di tanah yang baru ditemukan tersebut. Tetapi kedatangan rombongan demi rombongan orang Inggris ke Australia ternyata tidak lagi murni berdagang, alih-alih invasi, penjajahan.
Beberapa sejarawan bahkan menyebut apa yang dilakukan orang-orang Inggris sebagai genosida (History in a Nutshell, 2017). Menurut Harari (2017), orang Tasmania bahkan hampir sepenuhnya punah hanya dalam satu abad pasca kedatangan James Cook padahal mereka sebelumnya dapat bertahan di sebuah pulau yang terisolasi selama 10.000 tahun.
Kemusnahan orang-orang Aborigin tidak hanya disebabkan oleh pendekatan opresif kolonial Inggris saat mengklaim setiap jengkal tanah yang mereka temukan—dan memberikan nama sesuai keinginan mereka—tetapi juga oleh sebab mereka membawa-serta virus yang ‘asing’ dan karenanya ‘membahayakan’ bagi para penduduk asli Australia tersebut.
Malang bagi ekosistem Australia, orang-orang kulit putih yang datang (yang sebagian besar adalah para penjahat yang ‘diasingkan’) melihat alam sebagai sesuatu yang harus, atau dapat, ditaklukkan. Bukan sebagai bagian integral manusia yang karenanya harus dijaga keseimbangannya. Berbeda dengan suku-suku Aborigin yang selama ribuan tahun merawat ekosistem dibimbing mitologi dan folklor yang mereka miliki.
Suku Aborigin sendiri pada masanya terdiri tak kurang dari 500 suku dengan 200 bahasa, tersebar di seluruh wilayah Australia. Merekalah sesungguhnya pribumi ‘pertama’ benua yang ‘terisolasi’ oleh samudera tersebut sampai orang-orang kulit putih mengklaim Australia untuk diri mereka sendiri dan sejak itu melakukan apa yang secara sederhananya disebut ‘westernisasi’ Australia.
Struktur sosio-politik, kultur, hingga ekonomi dan hukum didesain dengan sudut pandang orang kulit putih; tanpa mendengarkan masukan dari Aborigin yang dianggap terbelakang. Australia sejak saat itu dibangun dengan standar kemajuan ala orang-orang kulit putih, diperkuat seiring bertambahnya jumlah orang kulit putih di sana hingga pada satu titik di mana mereka saling berselisih satu sama lain.
Suku-suku Aborigin sendiri secara terstruktur digeser ke periferal, dimarjinalkan, katakanlah senasib dengan orang-orang Indian di Amerika sana. Hingga hari ini, suku Aborigin masih menjadi sub-altern yang kerap disalahpahami, terjebak dalam kemiskinan, tertinggal dalam pendidikan.
Orang-orang Aborigin ini merasa dirampok dan akibatnya mewariskan kemarahan, kebencian, dan kekecewaan terhadap kulit putih dalam banyak hal. Hal ini benar, dan tidak terelakkan. Kesan itu yang saya tangkap ketika kami melakukan aboriginal tour di sepanjang Sungai Yarra bersama seorang sesepuh Aborigin dari suku Wurundjeri bernama Paman Dave.
Sebagai contoh, Sungai Yarra pada masanya adalah tempat mencari makan sekaligus pertemuan orang-orang Wurundjeri, tetapi hari ini sungai ini telah tercemar. Sungai Yarra memang masih menjadi salah satu spot wisata menarik di Melbourne dan digunakan orang untuk jogging atau short escape, tetapi sungai ini juga menjadi saksi bagaimana suku Aborigin disingkirkan dari ‘pusat kehidupan’ mereka demi orang-orang Eropa bisa mendapakan suplai air yang cukup untuk pertanian mereka.
Namun begitu, secara lugas, Paman Dave bilang bahwa pada akhirnya energi dari kemarahan itu perlu disalurkan kepada kerja kolaboratif demi masa depan Australia. Pemerintah Australia sendiri telah mencoba membangun komunikasi, menjalin kolaborasi, walau kadang masih belum cukup.
Sebagai contoh, pemerintah Australia membuatkan mural yang mengkisahkan kearifan lokal suku aborigin di pinggiran Sungai Yarra tetapi mural tersebut masih dibikin oleh orang kulit putih padahal, menurut Paman Dave, “kami juga punya seniman yang tak kalah jago dan bahkan lebih mengerti soal identitas keaboriginan kami.”
Tetapi Aborigin bukan satu-satunya yang merasa terasing, termarjinalkan, dan mungkin mengalami konflik pencarian identitas. Muslim Australia juga. Sampai sejauh ini narasi sejarah selalu berbicara ihwal Australia yang ‘ditemukan’ oleh orang Eropa sehingga ketika imigran dan pengungsi Muslim tiba dan tinggal di sana, mereka mengalami sejumlah perjuangan ihwal identitas.
Untuk mengutip istilah yang dicetuskan W. E. B Dubois, Muslim Australia juga menghadapi setidaknya dualisme identitas yang dianggap bertabrakan: menjadi Muslim dan menjadi Australia. Dan pertanyaan tersebut tidak hanya menghinggapi first generation imigran, tetapi juga generasi-generasi selanjutnya yang lahir dan besar di Australia.
Muncullah kemudian counter narasi dalam wujud film dokumenter Before 1777. Film tersebut menggugat klaim orang Eropa sebagai penemu Australia karena sebelum 1777, orang Aborigin telah bertemu dan berdagang dengan para pedagang Muslim dari Makassar. Setidaknya terjadi di Arnhem Land dengan melibatkan suku Yonglu.
Biasanya, narasi Muslim di Australia dikaitkan dengan pengangkutan ribuan unta dari Timur Tengah saat orang kulit putih butuh menaklukkan dataran luas Australia. Di Islamic Museum of Australia, misalnya, ada narasi sejarah dalam bentuk virtual reality berjudul From Mecca to Maree, menceritakan secara singkat dakwah Islam para ‘pengurus’ unta yang dikirim ke Australia.
Tetapi ternyata, (surprise!), narasi itu bukan satu-satunya. Para pengurus unta ini bukan Muslim pertama yang datang ke Australia! Makassar datang lebih dahulu. Bahkan relasi perdagangan antara mereka dengan Aborigin dikenang sebagai relasi yang baik dan penuh integritas. “Orang-orang Muslim ini,” kata Paman Andrew Garnier, CEO Dandenong and District Aborigines Cooperative, saat kami berdiskusi di Flagstaff Garden, “mereka tidak datang dan menyingkirkan Aborigin, mereka menawarkan perdagangan yang saling menguntungkan.” Dari perdagangan itulah terjadi ‘pertukaran’ kultur dan penyebaran agama. Semuanya dibangun di atas integritas.
Munculnya fakta sejarah tentang relasi Muslim dan Aborigin jauh sebelum James Cook datang ini diharapkan mampu, pertama, menumbuhkan sense of belonging (rasa memiliki) bagi Muslim Australia yang merasa dikecualikan. Kedua, bahwa identitas keislaman dan keaustraliaan mereka tidak selalu harus dipertentangkan.
Dan ketiga, bahwa sebagai minoritas di tengah masyarakat yang kebarat-baratan, penting bagi komunitas Muslim untuk menunjukkan sikap fairplay dan integritas sebagaimana ditunjukkan orang-orang Makassar. Hanya dengan itu kita bisa menunjukkan bahwa Islam dan Muslim menawarkan solusi, bukan masalah.
Irfan L. Sarhindi, Pengasuh Salamul Falah, Lulusan University College London, dan Alumnus Australia-Indonesia Muslim Exchange Program