
Pagi itu, Senin 31 Maret 2025, sayup-sayup terdengar suara takbir dari arah Masjid Punchbowl di belakang rumah. Saya keluar rumah untuk memastikan dengan beranjak lebih dekat ke sumber suara, ternyata benar suara takbir hari raya Idulfitri. Saya cepat-cepat mempersiapkan diri untuk berangkat shalat ied yang jadwalnya sudah diumumkan masjid akan dimulai pukul 08.00 waktu Sydney. Waktu subuh tadi baru masuk pada pukul 05.44. Sementara matahari baru saja terbit di pukul 07.06.
Dari rumah, kami, empat pria bersongkok hitam, berjalan beriringan menuju masjid. Mas Slamet yang tinggal serumah dengan saya, Mas Rozin yang sudah datang dari Bankstown dan Mas Hasil yang permanent resident di New Zealand, khusus datang ke rumah kami untuk liburan lebaran. Ada Mas Ferri yang yang serumah dengan Mas Rozin, janjian ketemu langsung di masjid. Kami jumpai dia bersongkok hitam juga.
Sepanjang jalan depan masjid sudah ditutup dan orang-orang sudah begitu ramainya. Kami tengok masjid sudah penuh, maka kami ambil tempat di halaman. Tampaknya jalan di depan pun bakal dipenuhi jamaah juga. Sambil menunggu sahalat ied dimulai, takbir dalam masjid terus berkumandang. Kami mengikutinya, menyuarakan takbir bersama-sama.
Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar. Lā ilāha illa Allāhu Allāhu akbar.
Allāhu akbar wa lillāhil ḥamd. Allāhu akbaru kabīrā, wa al-ḥamdu lillāhi kaṡīrā, wa subḥānallāhi bukratan wa aṣīlā. Lā ilāha illallāhu waḥdah, ṣadaqa wa‘dah, wanaṣara ‘abdah, wa a‘azza jundahū, wahazama al-aḥzāba waḥdah. Lā syay’a qablahū wa lā syay’a ba‘dah. Lā ilāha illa Allāhu wa lā na‘budu illā iyyāh, mukhliṣīna lahu al-dīna wa law kariha al-kāfirūn. Allāhumma ṣalli ‘alā sayyidinā Muḥammad, wa ‘alā āli sayyidinā Muḥammad, wa ‘alā aṣḥābi sayyidinā Muḥammad, wa ‘alā anṣāri sayyidinā Muḥammad, wa ‘alā azwāji sayyidinā Muḥammad, wa ‘alā żurriyyati sayyidinā Muḥammad, wa sallim taslīman kaṡīrā. Rabbighfir lī waliwālidayyā, rabbirḥamhumā kamā rabbayānī ṣaghīrā.
Begitulah bacaan takbir yang lantang dilantunkan melalui pengeras suara dan kami ikuti. Beberapa saat kemudian, terdengar suara aṣṣalātu jāmi‘ah, sebagai komando tanda shalat akan dimulai, disusul seruan ṣalātu ‘īdilfiṭri aṡābakumullāh..
Ketika shalat selesai, banyak sekali jamaah yang meninggalkan lokasi tanpa mendengar khutbah. Maklum saja, Idulfitri bukan hari libur di Australia, sehingga banyak yang harus bergegas berangkat kerja. Masih beruntung bagi yang bisa menyempatkan waktu mendengar khutbah karena banyak juga yang tidak punya kesempatan sama sekali. Tampak seorang dari jamaah yang mengenakan baju pekerja konstruksi, langsung terburu-buru memakai heavy-duty work boots miliknya setelah salam.
Masjid tempat kami shalat ini milik organisasi Australian Islamic Mission yang berlatar belakang komunitas Muslim Lebanon, komunitas Muslim terbesar di Australia. Imam shalat Idulfitri pagi itu pun kemudian membacakan khutbah yang seluruhnya dengan Bahasa Arab. Beragam pesan kebaikan disampaikan oleh khatib mengenai hari raya Idulfitri. Satu hal yang membuat terkesan adalah pesan untuk saling maaf-memaafkan dalam momentum hari raya itu. Tradisi Halal bi Halal atau saling maaf-memaafkan dalam momen Idulfitri adalah khas Muslim Nusantara atau Asia Tenggara. Muslim dari latar belakang kawasan lain termasuk Lebanon tidak memiliki tradisi tersebut. Meskipun demikian, khatib membawakan pesan yang sangat sesuai tradisi Nusantara tersebut.
Salah satu dalil yang dia sampaikan dalam khutbah saat itu adalah ayat 199 dari Surah Al A’raf:
خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Setelah khutbah usai, kami saling berikrar meminta maaf dan memaafkan dengan sesama teman Indonesia. Orang-orang tampak saling hangat bercengkerama, banyak di antaranya dengan bangga mengenakan busana khas daerah atau negara masing-masing. Satu orang yang saya tebak dari Afghanistan karena memakai ‘pakol’ di kepala, menyalami kami dengan ucapan “selamat hari raya!” Rupanya dia dari Pakistan dan pernah tinggal di Malaysia. Tebakan saya salah, mungkin dia dari Gilgit-Baltistan atau mana, tak sempat saya tanya.
Di sini, orang Arab kebanyakan berasal dari utara yang memang tidak terlalu kerap menunjukkan pakaian identitas sebagaimana orang Arab Teluk. Setiap harinya, termasuk di hari raya, mereka banyak yang berpakaian casual begitu saja. Apa lagi banyak di antaranya sudah jadi warga lokal, menyatu dengan ritme Australia dan sudah terlibat dengan banyak kegiatan sehari-hari yang harus mereka jalani hari itu. Saya mengamati satu keluarga Palestina, tidak memakai pakaian khas, tapi membawa pernak-pernik asesoris senada warna bendera negaranya.

Cara Orang Indonesia Berlebaran di Australia
Kami kembali ke rumah dan mengajak beberapa teman Indonesia lain yang shalat di masjid untuk mampir. Ada banyak hidangan dan camilan khas lebaran tanah air telah kami siapkan. Mas Hasil yang sudah datang sejak dua hari sebelum lebaran ternyata jago masak. Siang hari Ramadan terakhir dia sudah berkiprah di dapur, menghasilkan daging serundeng, sambal goreng kentang petai dan sup sayur. Menu buka puasa itu juga diramaikan dengan rendang jengkol hasil beli dan sumbangan kreativitas saya yaitu kolak lengkap dengan kolang-kaling.
Aneka rupa menu buka puasa itu masih kami nikmati sampai lebaran. Di malam hari raya, Mas Slamet yang oleh Mas Hasil dipersilakan istirahat dan tidak masak banyak masak, tetap menyumbang tenaga memasak ketupat instan berbungkus plastik. Saya tidak ketinggalan ambil bagian, memasak opor ayam, menggoreng kerupuk udang dan emping melinjo. Jadilah malam lebaran diisi masak-masak sambil memutar video takbiran diiringi bedug. Awalnya mau jalan-jalan dulu, tapi hujan menghalangi rencana kami.
Di Sydney, warung makan maupun toko Indonesia gampang ditemui. Awalnya saya tidak terlalu ingin terlalu ‘serius’ dalam merayakan Idulfitri ala tanah air, tapi menyerah juga. Mas Hasil yang begitu semangat memasak itu, membuat saya tergugah. Maka, di hari terakhir Ramadan saya berbelanja untuk melengkapi amunisi Lebaran ala Indonesia. Ada nastar, kastangel, kacang bawang dan kacang mete. Kerupuk kulit atau krecek alias rambak kesukaan saya malah kelupaan, padahal sepertinya tersedia. Kalau sambel goreng krecek kalengan di rumah masih ada stoknya, jadi tidak perlu beli.
Setelah memampirkan teman, gantian kami mampir ke orang Indonesia lain yang juga bikin undangan. Di dua rumah berbeda kami menikmati beragam menu khas tanah air, dari bakso sampai es alpukat. Sore harinya masih ada acara pot luck sesama orang Indonesia sekampus, di mana salah satu menu favorit saya adalah empek-empek bikinan orang Palembang asli. Malam harinya kami ingin sekedar minum kopi, tapi beberapa kafe Lebanon ternyata tutup di momen hari raya. Tapi ada satu kedai Pakistan buka, maka kami menikmati chai dan camilan pakora.
Idulfitri di Australia memang bukan hari libur sehingga tidak ada paksaan sosial untuk merayakannya. Akan tetapi, ternyata orang berusaha untuk merayakannya di tengah keterbatasan. Sejak dua hari sebelum lebaran itu datang, saya amati gerai-gerai potong rambut begitu ramai dengan orang-orang Arab maupun Asia Selatan. Rupanya tidak beda juga dengan di negara kami, batin saya. Malam hari pertama dan kedua, saya lihat para keluarga dengan pakaian khas daerah maupun negara masing-masing memenuhi warung makan, mungkin setelah berkumpul atau berkunjung ke mana. Tempat parkir pengunjung apartemen seorang teman di daerah mayoritas Muslim juga penuh, tak seperti biasanya.
Orang-orang tetap mencuri waktu untuk merayakan Idulfitri. Meski ada yang di hari raya tak dapat cuti, meski hanya dapat izin untuk shalat ied, lalau kembali ke sekolah maupun tempat kerja. Hari-hari berikutnya juga sebenarnya berjalan seperti biasa, tapi seketika ada waktu luang maka kami saling mampirlah. Hari kedua saya kunjungi satu orang yang harus berada di tempat kerja di hari pertama, ternyata sempat-sempatnya bikin sendiri camilan biji ketapang khas Betawi. Masih ada waktu lowong lagi, saya gunakan untuk masak-masak dan undang teman lagi, menyiapkan mie ayam bakso, tahu susur, martabak dan kue terang bulan. Mas Hasil sebelum kembali ke Wellington di hari kelima lebaran, masih sempat masak rujak, semur dan bihun goreng.

Selain masakan rumah, seminggu lebaran juga kami rayakan dengan jajan di luar. Saya sempat bersama teman menikmati hidangan restoran halal Thailand dan restoran nasi mandi. Hari ketujuh lebaran saya dan beberapa teman menyempatkan berkunjung ke satu acara Eid Festival yang diselenggarakan satu komunitas Muslim Lebanon. Karena agak jauh, siang hari kami sudah berangkat, mampir jajan lamian halal ala Lanzhou, China. Festival itu serupa pasar malam, tapi di dalamnya ada shalat Maghrib dan Isya berjamaah, tausiah serta nasyid sholawat Nabi. Sambil menunggu puncak acara yaitu pesta kembang api, kami jajan lagi, ada gosleme Turki, kafta Lebanon serta sate Madura milik orang Indonesia yang rajin hadir di beragam festival.
Seminggu lebaran yang begitu cepat lajunya, karena tidak ada hari libur khusus untuk Idulfitri di Australia. Sebenarnya tidak menunggu seminggu dua minggu, bahkan hari pertama pun orang-orang sudah berurusan dengan aktivitas semisal di kampus atau tempat kerja. Tapi dengan cepatnya lebaran ini, kami bersyukur masih bisa merayakannya dengan segala cerita. Dan saat seminggu lebaran telah berlalu, kami makin meningkatkan fokus kembali ke kegiatan semula. Ritme masak dan jajan pun ikut kembali seperti sedua kala, sekadarnya dan secukupnya. [rf]