Teror terjadi lagi dan debat tentang agama, muslim atau tidak sih para teroris ini? Dan teror kali ini tidak tanggung-tanggung, terjadi di markas besar Kepolisian RI. Sehari berselang kepolisian mengonfirmasi bahwa penembak itu lone wolf, bergerak sendiri. Ia tidak didampingi sesiapa. Bukan jaringan mana pun. Tindakannya adalah tindakan mandiri. Sebuah surat ditulis oleh penembak yang isinya berupa wasiat kepada orang tua dan saudaranya. Di surat tersebut ia menulis apa yang dilakukannya sebagai jihad.
Hal itu membuat saya mengingat saat kasus bom Bali terjadi 2002 lalu. Saat itu para terpidana merupakan penyandang nama-nama ‘islami. Buntut dari bom Bali, orang tua sampai berpesan kepada saya untuk ‘Belajar agama yang baik biar gak kayak teroris.’ Sebuah pesan sederhana yang terasa begitu dahsyat. Apalagi di tengah maraknya kasus bom—lebih-lebih bunuh diri—yang terjadi beberapa tahun belakangan.
Pasca bom Bali, di kampung terpencil tempat saya tinggal terdapat beberapa poster fotokopian yang memajang wajah terduga teroris bom Bali lengkap dengan nama dan aliasnya. ‘Namanya Islam kok kelakuannya tidak islami,’ ujar orang tua satu waktu.
Wajar orang tua merasa geram. Apalagi teroris itu memiliki agama yang sama dengan kami. Islam sejauh yang kami pahami adalah agama yang ramah dan muslim bukanlah seorang teroris yang tega membunuh seperti itu. Tidak mengajarkan kebencian. Islam adalah bersalam-salaman dan makan bareng seusai halal bihalal. Merayakan kelahiran dengan pesta aqiqah. Makan berkat seusai tahlilan. Membunyikan bedug untuk mengiringi takbir di malam satu Syawal. Begitu Islam yang kami praktikkan. Tidak ada sama sekali perintah menyakiti liyan.
Baca juga: Apakah Bisa Muslim yang Baik Ikut Gerakan Teroris ?
Ketika saya di pesantren, saya mengaji kitab Tafsir. Saya belajar membaca aksara Arab dan maknanya. Dari situ saya temukan beberapa ayat yang berpotensi digunakan dalil melakukan kekerasan. Ya, di Al-Qur’an memang ada ayat-ayat perang.
Saya bersyukur karena guru ngaji saya selalu mengingatkan dengan kebijaksanaan. Bahwa perintah berperang itu hanya berlaku pada situasi perang. Seperti di zaman Nabi dan abad pertengahan. Di masa damai seperti saat ini, sama sekali tidak nyambung membawa ayat-ayat itu sebagai pembenaran.
Ketika kelompok ISIS muncul saya menemukan dua hal. Pertama, orang yang membela Islam dengan cara menyebut ISIS salah memahami ajaran agama. Kedua, kelompok yang mengamankan nama Islam dengan menyebut ISIS tak terkait apapun dengan agama Islam. Bahkan ada yang membuat teori konspirasi seolah ISIS itu bentukan Barat untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Komentar serupa banyak muncul selepas kasus teror terjadi. Banyak yang langsung menyebut Islam bukan agama teroris. Saat bom Makassar terjadi, Majelis Ulama Indonesia mengutuk tindakan tersebut. Sebuah langkah yang tepat. Namun MUI membuntuti statementnya dengan menolak mengaitkan teroris dengan SARA. Presiden Jokowi pun demikian. Ini justru masalahnya.
Jika yang dimaksud bahwa identitas tertentu bukan terkait teroris, saya setuju. Muslim bukanlah teroris, katanya. Namun melepas teroris dari agama tentu merupakan langkah cuci tangan. Tak bertanggung jawab. Lho, kok begitu?
Teroris menggunakan agama atau identitas tertentu sebagai pembenaran itu fakta. Di Amerika pelakunya kulit putih kepada kulit hitam. Di Myanmar pelakunya Buddha kepada muslim Rohingya. Di Syuriah bahkan pelaku dan korbannya sama-sama Islam. Syekh Ramadan Al-Buthi, seorang ulama terkemuka di Syuriah, wafat karena dibom seusai pengajian di dalam masjid. Pelakunya? Muslim ekstrem yang geram dengan teologi damai ala sang ulama. Mereka beragama itu fakta yang harus diterima.
Baca juga: Muslim, teroris dan kenapa perempuan kok terlibat kekerasan?
Di beberapa kelompok Islam puritan, jihad mati sudah menjadi ideologi. Umumnya, mereka terafiliasi dengan ISIS seperti Jamaah Ansharut Daulah yang melakukan teror di beberapa tempat. Kasus bom bunuh diri di Makassar, Surabaya, dan beberapa tempat lain memiliki pola serupa.
Apakah Islam mengajarkan teror? Tentu saja tidak. Namun melepaskan mereka dari label agama pun bukan hal yang tepat. Karena mereka merasa berjuang demi agama. Mereka juga menggunakan literatur-literatur keagamaan untuk mendukung aksinya.
Lalu bagaimana seharusnya sikap kita? Pertama, kita harus menempatkan teroris ini layaknya kanker di tubuh kita. Kanker adalah sel yang abnormal dan membahayakan. Ia tidak terkendali. Saat mengetahui ada kanker muncul, hal yang perlu kita lakukan adalah melakukan pengobatan. Melakukan serangkaian kemotrapi yang menyakitkan. Dengan cara itu kita bisa sembuh.
Ya, terorisme berbasis agama adalah buah pemahaman ajaran agama yang keliru dari ‘sel abnormal’. Kita sebagai muslim harus mengakui paham teror ini ada di sekitar kita. Untuk itu kita perlu luruskan kepada dunia bahwa agama ini memang bukan agama terorisme. Teroris itu hanya orang yang salah paham dan pahamnya salah. Mengakui bahwa para teroris beragama Islam pun sama sekali bukan islamophobia. Justru itu langkah awal kita menunjukkan bahwa pemahaman dan cara beragama mereka itu keliru.
Caranya? Dengan lebih giat mengampanyekan ajaran Islam yang ramah, rahmatan lil’alamin, anti kekerasan melalui berbagai forum pengajian dan media. Dengan menjadi agen muslim yang baik. Bukan malah denial dan cuci tangan. Karena kalau tubuh yang sudah ada kankernya tapi tidak mau mengobati, maka kanker itu bisa tumbuh lebih ganas. Wallahua’lam.