Dari Bullying Menjadi Teroris: Memahami Jalur Radikalisasi yang Tidak Kita Sadari

Dari Bullying Menjadi Teroris: Memahami Jalur Radikalisasi yang Tidak Kita Sadari

Dari Bullying Menjadi Teroris: Memahami Jalur Radikalisasi yang Tidak Kita Sadari

Sejak beberapa waktu belakangan, media sosial dibuat riuh atas terjadi kasus bullying atau perundungan. Misalnya kasus perundungan yang beberapa waktu lalu terjadi di sebuah sekolah elit di Jakarta dan melibatkan anak salahsatu pesohor negeri ini. Bullying sering kali dianggap sebagai masalah remaja yang tidak memiliki dampak serius selain trauma psikologis bagi korban. Namun, penelitian dan berbagai studi kasus menunjukkan bahwa pengalaman bullying yang terus-menerus dapat berkontribusi pada jalur radikalisasi individu menuju kekerasan, termasuk aksi terorisme.

Peter K. Smith, Debra Pepler, dan Ken Rigby (2004) dalam “Bullying in Schools: How Successful Can Interventions Be?” Menggambarkan bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan secara berulang dengan tujuan menyakiti, mengintimidasi atau merendahkan individu lain. Tindakan bullying bisa bersifat fisik, verbal, maupun psikologis.

Akibatnya, korban bullying sering kali merasa terisolasi, tidak berdaya dan kehilangan rasa percaya diri. Dalam banyak kasus, bullying juga terjadi secara sistematis di lingkungan sekolah, media sosial, atau komunitas.

Korban bullying sering kali merasa menyimpan amarah, merasa tertekan dan dipenuhi rasa dendam. Perasaan-perasaan negatif ini jika tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi pintu masuk bagi radikalisasi. Dimana radikalisasi adalah proses seseorang secara bertahap mengadopsi pandangan ekstrem, yang bisa berujung pada kekerasan, seperti terorisme. Tahapan umum yang dapat menjelaskan bagaimana bullying dapat berkontribusi pada proses radikalisasi yang berujung pada tindakan teror, biasa sebagai berikut:

  1. Alienasi dan Pengasingan Sosial

Korban bullying sering kali merasa terisolasi dari kelompok sosial mereka. Rasa keterasingan ini bisa membuat mereka mencari dukungan dan penerimaan di tempat lain, termasuk dalam kelompok ekstremis yang menawarkan identitas baru dan rasa memiliki. Banyak kelompok radikal menyasar individu yang merasa termarjinalkan, menawarkan mereka tempat di mana mereka merasa dihargai dan didengar.

  1. Kemarahan dan Dendam

Pengalaman bullying yang menyakitkan dapat memicu rasa dendam yang mendalam. Rasa ingin membalas dendam ini, jika tidak tersalurkan dengan cara yang positif, dapat diarahkan pada tindakan kekerasan. Kelompok teroris sering kali memanfaatkan rasa dendam ini dengan mempromosikan ideologi yang mengizinkan atau mendorong tindakan kekerasan sebagai bentuk perlawanan atau pembenaran.

  1. Kerentanan Emosional dan Kognitif

Korban bullying sering kali rentan secara emosional dan kognitif. Mereka mungkin lebih mudah terpengaruh oleh ideologi ekstrem yang menawarkan solusi sederhana atas masalah mereka. Retorika radikal yang menegaskan bahwa kekerasan adalah cara sah untuk mengatasi ketidakadilan atau penderitaan pribadi dapat menjadi sangat menarik bagi individu yang merasa tidak memiliki jalan keluar.

  1. Sosialisasi dengan Kelompok Radikal

Dalam kondisi tertentu, individu yang telah mengalami bullying mungkin terpapar pada kelompok atau individu radikal yang mengeksploitasi kerentanan mereka. Dengan menawarkan rasa persaudaraan, tujuan dan identitas yang kuat, kelompok ekstremis bisa mengubah individu yang merasa tak berdaya menjadi alat untuk mempromosikan kekerasan.

Kasus Nyata: Dari Korban Bullying Menjadi Ekstremis dan Teroris

Beberapa kasus terorisme menunjukkan bahwa pelaku adalah mantan korban bullying. Misalnya, beberapa pelaku serangan teroris di sekolah atau di ruang publik di negara-negara Barat menunjukkan riwayat sebagai korban bullying, yang kemudian mengalami radikalisasi setelah terpapar kelompok ekstremis atau ideologi kekerasan.

Salah satu contoh yang paling terkenal adalah kasus para penyerang di sekolah-sekolah Amerika Serikat yang, setelah bertahun-tahun diintimidasi, beralih ke kekerasan sebagai bentuk balas dendam. Meskipun tidak semua kasus seperti ini berakhir dengan radikalisasi ideologi, banyak dari mereka menunjukkan pola yang serupa: isolasi, rasa dendam, dan kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan atau kekuasaan melalui tindakan kekerasan.

Tak hanya di luar negeri, kisah dari bullying yang berakhir pada tindakan teror juga terjadi di Indonesia. Seorang mantan pelaku terorisme jaringan ISIS Solo (YK), beberapa waktu lalu juga menuturkan bahwa awal keterlibatannya di dunia kriminal justru bukanlah tindak terorisme.

Pria yang sejak lahir dan besar di Kota Solo itu mengakui bahwa kasus pertama yang membawanya masuk penjara adalah kasus pencurian sebuah sepeda milik teman sekolahnya yang juga anak Kepala Sekolah yang hampir tiap hari meledek dan membully kondisi ekonomi keluarganya yang miskin.

Dendam itulah yang kemudian mendorong YK untuk melakukan aksi pencurian sepeda, yang disusul kemudian dengan tindakan pencurian lainnya, berulang kali. Kondisi tersebut membuat YK menghabiskan sebagian masa mudanya di balik jeruji penjara. Namun parahnya, saat di menjalani masa hukumannya, YK justru bertemu dengan sosok narapidana lain dengan kasus terorisme yang kemudian menjadi mentor yang tidak hanya mengenalkan ajaran-ajaran radikal namun juga mengajarkannya cara-cara merakit bom untuk melakukan aksi teror.

Berdasarkan penejlasan singkat dan studi kasus di atas, dapat dikatakan bahwa bullying atau perundungan adalah masalah serius yang dapat memiliki dampak jangka panjang, termasuk memicu proses radikalisasi yang berpotensi berujung pada kekerasan ekstrem.

Meskipun tidak semua korban bullying akan menjadi radikal, lingkungan sosial yang mendukung, intervensi psikologis dan pencegahan awal dapat memutus rantai ini. Mencegah radikalisasi yang dimulai dari bullying membutuhkan kolaborasi berbagai pihak dan pendekatan komprehensif yang melibatkan keluarga, sekolah dan komunitas untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman dan inklusif.