Majalah satir Prancis Charlie Hebdo telah menerbitkan ulang kartun yang sama tentang Nabi Muhammad. Karikatur tersebut memicu serangan penembakan mematikan di kantor redaksi Charlie Hebdo dan menewaskan 11 orang awak redaksinya pada tahun 2015.
Charlie Hebdo menampilkan kembali karikatur kontroversial tersebut dalam terbitan hari Rabu (2/9) lalu. Tindakan ini dinilai oleh sebagian orang sebagai komitmen untuk kebebasan berbicara, dan oleh sebagian orang lain dianggap sebagai provokasi sembrono.
Publikasi ulang karikatur Charlie Hebdo tersebut bertepatan dengan dimulainya pengadilan terorisme yang telah lama ditunggu-tunggu terhadap orang-orang yang dituduh sebagai kaki tangan dalam serangan tahun 2015.
Pada 7 Januari 2015, dua bersaudara keturunan Aljazair kelahiran Prancis, Saïd dan Chérif Kouachi, menyerbu kantor Charlie Hebdo. Mereka membunuh 11 orang di dalam kantor, termasuk editor dan beberapa kartunis terkemuka, kemudian membunuh seorang petugas polisi di jalan saat mereka melarikan diri. Beberapa orang terluka akibat serangan ini.
Dua bersaudara itu mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota Al-Qaeda dan meninggalkan majalah tersebut dengan menyatakan bahwa mereka “Membalaskan dendam Nabi,” menurut para penyintas serangan mematikan tersebut.
Serangan terburuk terjadi 10 bulan kemudian, ketika sekelompok pria bersenjata ISIS dan pengebom bunuh diri menewaskan 130 orang dan melukai lebih dari 400 di berbagai lokasi di seluruh wilayah ibu kota Prancis.
Kepekaan yang berkembang terhadap ras, etnis dan agama telah berbenturan dengan komitmen kuat tradisional Prancis terhadap kebebasan berekspresi dan sekularisme.
Dilansir oleh Newyork Times, editor Charlie Hebdo menulis dalam terbitan edisi baru ini, bahwa “persidangan kasus penembakan itu tidak dapat diterima” tanpa menunjukkan “potongan bukti” kepada para pembaca dan warga.
Tidak menerbitkan karikatur itu, menurut editor Charlie Hebdo, akan dianggap sebagai “sikap pengecut politik atau jurnalistik,” Lebih lanjut, editor majalah tersebut mengajukan pertanyaan “Apakah kita ingin hidup di negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi besar, bebas dan modern, yang, pada saat yang sama, tidak menegaskan keyakinannya yang paling dalam?”
Pada hari Selasa (1/9), Mohammed Moussaoui, presiden Dewan Kepercayaan Muslim Prancis, organisasi utama yang mewakili Muslim Prancis, mengatakan bahwa kartun yang diterbitkan ulang oleh Charlie Hebdo itu sebaiknya diabaikan, tidak usah diberi perhatian.
“Kebebasan untuk membuat karikatur dijamin untuk semua orang,” kata Moussaoui kepada Agence France-Presse, seraya menambahkan, “Tidak ada satupun yang bisa membenarkan tindakan kekerasan.”
Moussaoui berkata bahwa alih-alih meributkan kembali karikatur Charlie Hebdo tersebut, orang-orang seharusnya fokus pada persidangan yang menurutnya “harus mengingatkan kita pada para korban terorisme.”
“Terorisme yang menyerang atas nama agama kami ini adalah musuh kami,” tambahnya.
Keputusan untuk menampilkan ulang kartun tersebut memicu amarah sejumlah negara mayoritas Muslim, seperti Pakistan, Iran, dan Turki. Selain itu, Al Azhar juga mengecam penerbitan ulang karikatur provokatif tersebut. Pada Jumat (4/9) lalu, demonstrasi anti-Perancis digelar di seluruh Pakistan. Para demonstran menyerukan boikot dan pengusiran Duta Besar Perancis.
Indonesia tidak ketinggalan. Kecaman Indonesia disampaikan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, menyebut tindakan tersebut sebagai perbuatan “tidak bertanggungjawab, provokatif, dan melukai ratusan juta umat Muslim di dunia.” Komentar itu juga ditujukan sebagai respon terhadap insiden pembakaran dan perusakan Al-Quran di Swedia dan Norwegia.