Ceritaku Menjamak Salat saat Musim Dingin di Amerika

Ceritaku Menjamak Salat saat Musim Dingin di Amerika

Ceritaku Menjamak Salat saat Musim Dingin di Amerika
Danau michigan saat musim dingin.

Selepas salat sunnah bakdiyah Maghrib, biasanya di masjid daerah Michigan, Amerika, tempat saya mengabdi, ada beberapa jemaah yang tidak beranjak dari tempat duduknya. Mereka menunggu waktu Isya’. Ada juga yang mengisinya dengan tilawah Al-Qur’an, ada yang berzikir, kalau saya biasanya ada satu santri yang secara khusus menyetorkan hafalan juz ‘Amma. Namun, kali ini rutinitas itu (sementara) tidak ada, karena kami menjama’ salat Isya’ (melaksanakan dua salat dalam satu waktu) dikarenakan faktor cuaca yang cukup ekstrim.

Sebagai seorang Imam (pemimpin salat berjamaah) di Masjid, saya dituntut bukan hanya memperhatikan keadaan jemaah saat mau melaksanakan salat, tetapi juga dituntut memperhatikan faktor alam yang tentunya juga memengaruhi keadaan fisik jemaah dalam beribadah, terutama di wilayah Amerika Serikat adalah zona yang dituruni salju.

Sudah satu bulan lebih sebagian wilayah Amerika masuk musim dingin (winter) terhitung sejak akhir bulan November yang lalu. Saat saya menulis ini, suhu di kota Hamtramck, Michigan setelah Maghrib mencapai 16 derajat Fahrenheit atau -9 Derajat Celcius. Ini cukup dingin bahkan bagi warga Amerika yang notabene sudah terbiasa dengan temperatur seperti ini, terlebih saya yang tidak terbiasa dengan suhu sedingin ini, seperti tinggal di dalam kulkas.

Di kota Hamtramck, ada dua etnis besar komunitas Muslim yang jumlahnya mendominasi, yaitu etnis Yaman dan etnis Bangladesh. Selebihnya ada etnis Bosnia tapi tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan kedua etnis tadi. Masing-masing etnis ini membangun Masjid dan diidentikkan sesuai dengan etnisnya. Tapi, bukan berarti orang-orang yang bukan dari komunitasnya tidak boleh melaksanakan salat di sana, selagi muslim tentu boleh. Hanya saja jemaahnya biasanya diisi kebanyakan dari kalangan komunitas mereka. Untuk di Masjid tempat saya bertugas, tidak dikenal sebagai masjid dari etnis tertentu jadi tidak ada yang mendominasi dari satu etnis.

Setelah salat Maghrib para jemaah meminta saya untuk menjamak salat Isya’ karena cuaca ekstrem ini. Terutama mereka yang beretnis Arab Yaman yang notabene mereka sudah biasa melakukan salat jamak ini karena cuaca ekstrem, bukan dingin seperti di sini, melainkan suhu panas yang berlebih di dataran Arab. Tentu ini dilakukan karena Rasulullah SAW. pernah melakukannya juga sebagaimana di dalam hadits dijelaskan :

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu Anhumaa beliau mengatakan,

‎جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

“Rasulullah Saw pernah menjamak shalat Dzuhur dengan Ashar serta Maghrib dengan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”

Dalam riwayat Waki’, ia berkata, “Aku bertanya pada Ibnu ‘Abbas mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjamak shalat)?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim No. 705)

Hadis ini menunjukkan kebolehan menjamak salat dalam keadaan tertentu, termasuk karena kesulitan, seperti cuaca ekstrem (hujan deras, badai, salju, atau kondisi yang membahayakan). Para ulama memanfaatkan hadis ini untuk memberi rukhsah (keringanan) agar tidak memberatkan umat Islam dalam menjalankan ibadah.

Bagaimana pandangan 4 ulama’ mazhab terkait masalah ini ?

Pertama, Mazhab Hanafi yang berpandangan bahwa umumnya tidak membolehkan menjamak salat kecuali dalam kondisi tertentu, seperti ketika sedang dalam perjalanan (musafir).

Mereka tidak menganggap cuaca ekstrem sebagai alasan yang sah untuk menjamak salat. Namun, jika salat di awal waktu menjadi sulit, mereka memperbolehkan mengakhirkan salat selama masih dalam waktunya.

Oleh karena itu orang-orang Bangladesh yang mayoritas mereka menganut Mazhab Hanafi tidak ikut dalam kegiatan menjamak salat dan lebih memilih salat sunnah bakdiyah. Kendati demikian, ada beberapa jama’ah orang Bangladesh yang ikut juga sekitar dua sampai tiga orang. Alasannya lebih cenderung ke hadis, bukan karena mazhab, selain itu karena faktor usia.

Kedua, Mazhab Maliki yang membolehkan menjamak salat dalam kondisi cuaca ekstrem, baik jamak taqdim (menggabungkan di waktu shalat pertama) maupun jamak ta’khir (menggabungkan di waktu shalat kedua). Syaratnya, kondisi cuaca tersebut menyebabkan kesulitan besar bagi jamaah untuk datang ke masjid, seperti hujan deras atau angin kencang.

Ketiga, Mazhab Syafi’i yang membolehkan menjamak salat dalam kondisi cuaca ekstrem seperti hujan deras yang membasahi pakaian, salju, atau jalanan licin. Hal ini berlaku khusus untuk jamaah salat di masjid. Jama’ boleh dilakukan antara salat Maghrib dan Isya, atau Dhuhur dan Ashar, dengan syarat cuaca benar-benar menyulitkan.

Dan Orang-orang Yaman kebanyakan dari mereka menganut madzhab Syafi’i. Meskipun di Indonesia juga mayoritas menganut Madzhab Syafi’i (termasuk saya sendiri) tapi kita tidak pernah melakukan menjamak kecuali karena dalam keadaan Safar (Perjalanan). Alhamdulillah di indonesia kita tidak pernah mengalami suhu yang ekstrim, baik itu Panas atau dingin (yang berlebihan). Hujan juga termasuk, tapi orang-orang masih bisa menggunakan payung atau jas hujan untuk melindungi diri dari hujan.

Keempat, Mazhab Hanbali yang berpandangan serupa dengan Mazhab Syafi’i. Mereka membolehkan menjamak salat karena hujan deras, lumpur, salju, atau angin dingin yang ekstrem. Jama’ ini diperbolehkan agar tidak memberatkan jamaah masjid dan berlaku untuk jamak taqdim (menggabungkan di waktu shalat pertama).

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa boleh kita menjamak sesuai dengan ketentuan dan batasan-batasan serta keadaan tertentu yang dapat menyulitkan seseorang untuk ke Masjid apalagi bolak-balik ke rumah.

Nabi sudah memberikan contoh kepada kita untuk memudahkan kita dalam beribadah khususnya dalam melaksanakan salat berjemaah di Masjid. Dan inilah salah satu keindahan dalam beragama Islam, selalu ada kemudahan dalam beribadah jadi tidak ada alasan bagi kita untuk tidak beribadah. Saya juga sebagai Imam bisa lebih bijak dalam menghadapi situasi dan kondisi seperti ini. Tentunya ini adalah salah satu pengalaman sekaligus tantangan yang luar biasa bagi saya terlebih ini kali pertama saya mengalami fenomena seperti ini selama menjadi Imam Masjid hampir satu dekade (Terhitung sejak saya masih menjadi Imam Masjid di Indonesia). Semoga Allah senantiasa merahmati kita dan menerima semua amal ibadah kita, Aamiin

Wallahu A’lam Bish-Showwaab

Hamtramck, 14 Januari 2025

(AN)