Cerita Seri Ramadhan: Nazhif Terakhir

Cerita Seri Ramadhan: Nazhif Terakhir

Cerita Seri Ramadhan: Nazhif Terakhir

Kampung Menteng Pulo hanya menyisakan sebagian kecil pemukiman. Sebagian kini berganti gedung mewah menjulang tinggi.

Pak Umar duduk di serambi Masjid Al-Ikhlas, menatap apartemen megah yang berdiri di seberang jalan. Dulu, di tanah itu berdiri rumah-rumah kecil, jalanan gang, dan suara anak-anak yang bermain sore hari. Tapi semua telah berubah. Pemukiman telah tergusur satu per satu, hanya meninggalkan masjid ini sebagai saksi bisu peradaban yang pernah ada.

Di sekelilingnya, kota terus tumbuh dengan ambisi yang tak terbendung. Gedung-gedung pencakar langit menjulang, seakan berlomba mencapai langit, seakan ingin membuktikan siapa yang paling hebat. Kota ini bertransformasi menjadi hutan beton, dengan kaca-kaca raksasa yang memantulkan matahari hingga silau. Jalanan yang dulu dipenuhi pedagang kecil kini digantikan oleh gerai-gerai eksklusif, restoran mahal, dan klub-klub malam yang berdiri atas nama “fasilitas bagi turis asing yang membawa devisa.”

Ketika malam tiba, kota ini berubah menjadi lautan cahaya. Lampu-lampu neon berkedip, menyilaukan jalanan yang tak pernah tidur.

Musik dari diskotek berdentum di beberapa sudut, seakan melawan suara azan yang masih berusaha bertahan. Orang-orang berjalan dengan langkah tergesa, sibuk mengejar sesuatu yang entah apa, tapi jarang ada yang menoleh ke Masjid Al-Ikhlas—satu-satunya masjid yang tersisa, simbol wakaf yang masih bertahan di tengah kepungan komersialisasi.

Anak-anak yang dulu berlarian di gang-gang kini tak punya tempat. Gang-gang itu telah berubah menjadi parkiran bawah tanah, ruang-ruang kosong yang penuh dengan mobil-mobil mahal yang tak pernah benar-benar berhenti di satu tempat lama-lama. Taman-taman kecil yang dulu menjadi tempat duduk para orang tua kini sudah rata dengan tanah, digantikan oleh pusat perbelanjaan dengan pendingin udara yang lebih sejuk daripada kebanyakan rumah warga.

Kehangatan kota ini perlahan menghilang. Tidak ada lagi suara ibu-ibu yang memanggil anaknya untuk pulang. Tidak ada lagi suara pedagang keliling yang menawarkan dagangannya dengan ramah. Yang tersisa hanya deru mesin kendaraan dan layar-layar digital yang sibuk menampilkan promosi kehidupan yang lebih mewah.

Di tengah semua itu, Masjid Al-Ikhlas masih berdiri. Ia seperti perahu kecil di tengah ombak yang ganas. Sepi, namun tetap kokoh.

**

Sejak setahun lalu, Perusahaan Multinasional terus mendekatinya dengan berbagai tawaran. Mereka membawa peta, dokumen, dan dalil agama untuk membujuknya. Mereka menjanjikan ruislag—pertukaran tanah wakaf dengan tanah baru yang mereka klaim lebih luas dan lebih strategis.

Malam itu, seorang pria berkemeja rapi dari Perusahaan Multinasional kembali datang. Senyumnya ramah, tapi langkahnya penuh perhitungan.

“Pak Umar, saya harap bapak bisa mempertimbangkan kembali tawaran ini. Kami ingin membantu masjid ini berkembang. Tanah wakaf penggantinya lebih luas, lebih strategis, dan akan jauh lebih banyak yang shalat di sana.”

Pak Umar mendengarkan dengan sabar. Lalu, ia menatap pria itu dalam-dalam.

“Nak, wakaf ini bukan milik saya. Ini milik Allah. Saya hanya dititipi untuk menjaganya sebagai Nazhir.”

Pria itu tersenyum kecil, seolah sudah mengantisipasi jawaban itu.

“Justru karena ini milik Allah, kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin, Pak. Kalau masjid ini tetap di sini, siapa yang mau shalat? Apartemen-apartemen ini punya musala sendiri, sementara jemaah makin sedikit. Di lokasi baru, kita bisa membangun masjid yang lebih besar dan lebih bermanfaat.”

Pak Umar menghela napas.

“Kalau niat kita baik, Allah akan mempermudah jalannya. Masjid ini tidak butuh kemegahan, yang dibutuhkan adalah keikhlasan orang-orang yang datang untuk bersujud. Peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih) masjid ini adalah untuk masyarakat di sini. Jika dipindahkan, apakah kita bisa menjamin peruntukannya tetap sesuai dengan amanah wakif?”

Pria itu tetap tenang.

“Kami sama sekali tidak ada niat buruk, Pak. Ini semua demi maslahat yang lebih besar. Kami sudah siapkan semua dokumen, bahkan kami siap membangun masjid lebih besar di kabupaten sebelah. PPAIW pun sudah siap mengurus administrasi pertukaran ini.”

Pak Umar tersenyum miris.

“Kabupaten sebelah? Di sana memang ramai, tapi apakah di sini sudah tidak ada yang membutuhkan masjid? Sejak kapan kita menentukan manfaat sesuatu hanya dari ukurannya? Kalau ukurannya yang utama, maka Ka’bah di Makkah seharusnya diperbesar, tapi justru di sanalah orang berduyun-duyun datang.”

Pria itu menghela napas panjang, tapi masih berusaha meyakinkan.

“Pak, zaman sudah berubah. Yang penting bukan di mana masjidnya berdiri, tapi seberapa banyak yang bisa menggunakannya. Kalau di sini sudah tak ada pemukiman, buat apa masjid ini tetap bertahan?”

Pak Umar menatap ke arah mihrab, tempat ia biasa berdiri untuk memimpin shalat. Ia terdiam lama sebelum akhirnya berkata dengan suara mantap,

“Selama masih ada satu orang yang bersujud di sini, masjid ini tetap hidup. Dan saya akan menjaganya.”

**

Beberapa hari kemudian, sebagian jemaah mulai bertanya-tanya. Seorang pemuda bernama Fadli yang sering shalat Maghrib di masjid itu akhirnya memberanikan diri bertanya.

“Pak Umar, maaf kalau saya lancang. Tapi kenapa bapak menolak ruislag? Bukankah lebih baik kita punya masjid yang lebih besar dan lebih ramai?”

Pak Umar menatap pemuda itu, lalu menghela napas panjang.

“Fadli, apa menurutmu yang membuat masjid itu hidup? Ukurannya? Jumlah jemaahnya? Kemegahannya?”

Fadli berpikir sejenak.

“Ya… mungkin karena banyak orang yang datang shalat?”

Pak Umar tersenyum.

“Kalau begitu, mengapa Allah tetap menyebut masjid sebagai rumah-Nya meskipun hanya sedikit yang datang? Apakah rumah Allah harus selalu penuh manusia agar bernilai?”

Pak Rahmat, pria tua yang sudah lama menjadi bagian dari masjid ini, ikut bicara.

“Saya paham perasaan Pak Umar. Masjid ini bukan sekadar tempat sujud, ini simbol. Jika masjid terakhir ini hilang, apa yang akan tersisa dari kita?”

Pak Umar tersenyum.

“Ya, Nak. Akar. Jika akar kita dicabut, kita kehilangan jejak kita sendiri.”

**

Ketika azan Subuh berkumandang, kota masih terlelap dalam mimpi-mimpi palsu yang disuguhkan oleh gemerlapnya lampu-lampu buatan. Langit yang sebelumnya dihiasi sorot lampu neon perlahan memudar. Musik dari diskotek yang tadi berdentum kini melemah, seperti sadar diri bahwa malam telah selesai menjalankan tugasnya.

Di lorong-lorong apartemen mewah, langkah-langkah gontai para penghuni yang baru saja meninggalkan meja-meja penuh botol kosong terdengar. Beberapa dari mereka berjalan dengan mata sembab, beberapa tertatih, sementara sebagian lainnya masih tergelak tanpa sadar bahwa pagi telah tiba.

Di antara bayang-bayang beton dan kaca yang masih basah oleh embun, Masjid Al-Ikhlas berdiri sunyi. Lampunya redup, hanya menyisakan cahaya kecil dari lampu kuning di mihrab yang menyala seperti sumbu terakhir di tengah badai.

Pak Umar berdiri di depan mikrofon tua yang suaranya sudah mulai serak, seperti dirinya yang tak lagi muda. Giginya sudah banyak yang tanggal, tapi suaranya tetap bergetar saat mengumandangkan azan, seakan memanggil hati-hati yang lupa untuk kembali.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar…”

Suara itu melayang di udara, menembus jendela-jendela apartemen yang tertutup rapat, mengetuk pintu-pintu hati yang mungkin sudah terlalu lama terkunci. Di luar, langit masih berwarna kelabu, dan hanya sedikit orang yang mendengarkan panggilan itu.

Di jalanan, seorang pria muda yang baru saja keluar dari sebuah klub malam mendongak. Matanya merah, kepalanya pening, tapi suara azan itu terasa seperti sesuatu yang familiar—sesuatu yang sudah lama ia lupakan. Sejenak, langkahnya melambat.

Sementara itu, di dalam masjid, hanya ada Pak Umar dan beberapa jamaah setia yang masih tersisa. Lututnya terasa semakin lemah, tapi ia tetap berdiri. Tangan keriputnya mencengkeram mikrofon dengan erat.

“Laa ilaaha illallah…”

Suara itu bergetar, menggantung di udara sejenak sebelum akhirnya hilang ditelan pagi yang semakin terang.

Pak Umar menarik napas panjang. Ia tahu, semakin hari, dunia di luar sana semakin berubah. Masjid ini mungkin akan tetap terhimpit, mungkin suatu saat akan kalah oleh keputusan-keputusan yang dibuat tanpa bertanya pada nurani. Tapi selama ia masih bisa berdiri, selama suaranya masih bisa terdengar—meski hanya lirih, meski hanya didengar segelintir orang—ia akan tetap memanggil.

Ia akan tetap menjadi Nazhir. Di Kampung Pulo.

Penjaga yang tidak memiliki, tapi mengabdi.

Di luar, lampu-lampu diskotek akhirnya mati. Tapi di dalam masjid, cahaya lain tetap menyala. Cahaya yang tidak memerlukan listrik, tidak bisa dibeli dengan harta, dan tidak akan pernah padam—sepanjang masih ada satu orang yang bersujud di sana.

Dan di antara deru kendaraan yang mulai memenuhi jalanan, seorang pemuda yang tadi melambatkan langkahnya tiba-tiba merasa ingin pulang.

Pamulang, 25 Februari 2025