“Ku menangis membayangkan
Betapa kejamnya dirimu atas diriku
Kau duakan cinta ini
Kau pergi bersamanya”
Penggalan lirik lagu hati yang tersakiti yang dibawakan penyayi Rossa selalu menghiasi di layar kaca. Lagu itu menjadi musik latar di salah satu sinetron di stasiun televisi. Lagu itu, menggambarkan sedihnya ketika pasangan berpaling dengan orang lain. Pengkianatan, perselingkuhan per hari ini menjadi komoditas menarik bagi pemirsa di seluruh tanah air.
Dunia pertelevisian di Indonesia, khususnya sinetron terus menjadi sorotan yang tidak lepas dari tayangan konten tersebut. Umumnya, pihak stasiun televisi menayangkan acara sinetron karena rating penonton cukup tinggi, dan menghasilkan iklan.
Pertanyaan sederhana, mengapa sinetron bergenre perselingkuhan, pengkhiatan, hingga rebutan suami itu sangat digandrungi pemirsa? Ada apa dengan penonton televisi kita? Adakah pengaruh sinetron kita terhadap kehidupan sehari-hari atau apakah hadirnya sinetron mempunyai dampak kurang baik dalam kehidupan sehari-hari?
Sejarah Sinema Eletronik
Untuk menjawab itu semuanya, kita melihat sejarah sinetron sebelumnya. Di Indonesia, istilah sinetron pertama kali dicetuskan oleh Soemardjono, salah satu pendiri Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Tak banyak yang tahu, jika sinetron kepanjangan dari Sinema elektronik. Sebab, sinetron adalah sebuah tayangan sinema (film) berseri yang ditonton melalui media elektronik.
Berbeda dengan Film yang menayangkan tayangan lepas serta berdurasi pendek, sedangkan sinetron menampilkan episode berseri sampai berpuluh-puluh episode.
Sejarah mencatat, sepanjang tahun 90-an sinetron mulai banyak digunakan. Tayangan sinetron pun membajiri saluran tv swasta. Sebutlah di antaranya Lenong Rumpi, Si cemplon, SI doel Sekolah. Saat ini, menjadi puncak bagi dunia sinetron Indonesia. Tema beragam mulai horor sampai kehidupan sekitar.
Di Indonesia, perkembangan sinetron menjadi daya tarik tersendiri. Ibarat magnet bagi pemirsa, selalu tak ketinggalan dalam menyasikan sinetron setiap hari. Budaya ini kita temukan sejak televisi menjadi kebutuhan di mana-mana.
Latar Belakang Kehidupan Sosial
Aspek kehidupan sosial sangat menentukan selera pemirsa dalam menonton sinetron. Itu dapat dilihat perubahan sikap masyarakat dalam kehidupan sehari selalu dinamis setiap saat. Itu dapat dimengerti ketika sinema yang bergenre perselingkuhan. Sikap latar sosial sangat mempengaruhi. Saat ini banyak pengkhiatan terjadi.
Menguntip survei yang dilakukan Justdating, aplikasi pencari teman kencan menemukan 40 persen lelaki dan perempuan di Indonesia pernah mengkhianati pasangan. Persentasi ini membuat Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan perselingkuhan terbanyak.
Apabila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, Thailand menempati posisi teratas dengan jumlah perselingkuhan terbanyak, dengan hasil 50 persen. Hal ini nampaknya menjadikan sinetron di Indonesia selalu saja menampilkan isu pengkhianatan.
Emosional menjadi alasan kuat pihak produsen Televisi untuk mengangkat film bergenre ini untuk tampil menemani permisa. Kisah nyata mempunyai daya magis terhadap penonton. Selain pernah mengalami kisah itu, para pemirsa lebih mengedepankan perasaan setiap saat menonton sinetron itu.
Perselingkuhan memang sebuah permasalahan moralitas. Itu lah mengapa di dalam pengkianatan selalu ada insecurity (termasuk masalah usia, pendapatan, dan keluarga besar), luka masa lalu yang belum selesai, hanya memikirkan kesenangan diri sendiri, tidak ingin terkekang, serta ekspektasi yang tidak realistis. Misalnya menginginkan pasangan yang sempurna termasuk dalam hubungan seks.
Lalu, layakkah televisi kita diisi tontonan semacam ini? Sebenarnya, tak ada alasan yang kuat untuk melarang sinetron-sinetron bergenre ini. Toh, sudah banyak yang menayangkan di layar kaca. Namun, tak sepatutnya jika setiap saat ditayangkan. Ada segmentasi khusus pemirsa yang tak harus melihat tontonan semacam itu.
Apa kisah-kisah nyata disekitar kita tak ada yang inspiratif dibanding cerita soal selingkuh? Ini perlu difikirkan ulang oleh para produser dan pengelola telebisi, agar masyarakat disuguhi bukan sekedar tontonan belaka, tapi ada pesan moral.
Fungsi Pengawasan lebih ditingkatkan
Narasi dalam tayangan sinetron tersebut memang penting, agar bisa ditangkap masyarakat yang menikmati sajian-sajian dalam layar kaca. Fungsi pengawasan menjadi penting bagi saluran stasiun televisi. Pengaturan ini bukan dimaksud untuk mengengkang kru kreatif industri sinetron di Indonesia. Justru, ini merupakan tawaran agar ada acara hiburan di televisi tapi juga mendidik.
Sinetron pengkianatan juga selalu diisi dengan kekerasan rumah tangga, ketidakjujuran, hingga alur-ending-nya tak mudah dimengerti. Judul saja, terlalu panjang dan menjadi karakter tersendiri.
Itu sebabnya, kreativitas tak cukup menarik simpati masyarakat untuk menonton sinetron bergenre ini. Diperlukan riset yang mendalam jika ingin mengangkat persoalan rumah tangga. Tidak saja menawarkan tampilan yang menarik tapi juga menawarkan solusi atas masalah itu. Jika tidak, justru hal itu akan menjadi bomerang bagi kualitas sinetron Indonesia.
Fenomena perselingkuhan memang tak dibenarkan dalam masyarakat. Untuk itu, sinetron berseri-seri tak ada salahnya, sebagai pembelajaran agar tak melakukan itu sah-sah saja. Tapi, proses penyaringan terhadap segmentasi pemirsa tetap harus diperhatikan. Jam tayang harus diatur. Jangan sampai, tayangan tersebut ditayangkan terus-menerus.
Tontonan sinetron, harus menjujung nilai etika dan moral. Scene yang tak sesuai, seperti kekerasan dalam rumah tangga harus diminamalisir. Itu lah mengapa, fungsi pengawasan dan edusi menjadi penting untuk selalu menghadirkan tontonan bagi masyarakat yang bersifat menghibur tapi juga mendidik. (AN)