Catatan 2024, Islam Sudah Terlalu Capek Hanya Didomestikasi Urusan Moral (Bagian 2 Habis)

Catatan 2024, Islam Sudah Terlalu Capek Hanya Didomestikasi Urusan Moral (Bagian 2 Habis)

Catatan 2024, Islam Sudah Terlalu Capek Hanya Didomestikasi Urusan Moral (Bagian 2 Habis)
Para peternak politik memanfaatkan segala hal demi kepentingannya. Pict by Nurul Huda

Sebelum beralih ke artikel ini, ada baiknya juga baca bagian pertama Catatan 2024, Islam Sudah Terlalu Capek Hanya Didomestikasi Urusan Moral (Bagian 1)

 

Gen Islamism

Seperti Lantip, sebelum diangkat menjadi keluarga Sostrodarsono dalam novel “Para Priyayi” gubahan Umar Kayam, hampir semua anak muda, tumbuh dewasa karena terjebak oleh ingatan generasinya. Begitu pula dengan keberanian Sukarni, dkk yang menculik Soekarno ke Rengasdengklok atas saran Laksamana Maeda merupakan kemenangan generasi atas pengalaman pelik hidup di bawah represi kolonial.

Setiap generasi menyimpan obornya masing-masing, dalam bahasa yang paling normatif, setiap anak muda adalah agensi produktif yang menjadi jalan dari sebagian besar baik dan buruk perubahan. Kita mengenal kelompok anak muda yang masuk di rentang kelahiran (1997-2012) sebagai Gen Z yang telah jauh terlibat dalam membentuk dekorasi publik sebagai negara yang cukup berisik di dunia maya.

Jamak persoalan sosial yang terjadi di media sosial, didorong dan bermuara dari aktivitas serta preferensi yang mereka ciptakan sendiri.

Hybridity kira-kira jadi obor Gen Z, yang sering disebut sebagai generasi terkutuk itu.

Mau ngga mau, kita harus melihat cara kerja bonus demografi memaksa keterlibatan anak muda menampar pipi kanan dan kirinya sendiri, mengingat menelan air ludah sendiri sudah tak sanggup karena wabah modern bernama aslam yang mereka idap.

Pencampuran, entah yang lokal-global, tradisional-modern, english-indonesia, islam-bertuhan hingga fusion yang terjadi di tren fashion belakangan, membuktikan bahwa anak muda sangat cair dalam menyerap akar yang membuat mereka tumbuh.

Dalam praktik keagamaan sendiri, saya sepakat dengan Neslihan Cevik, bahwa anak muda hari mungkin mengidap Muslimism, yaitu mengaku Muslim tapi tak ingin terlihat sebagai Muslim. Aliran ini bisa saja disebut Islam KTP tapi sebenarnya yang terjadi adalah mereka menolak membawa agama dalam ruang pergaulan.

Potret yang paling nampak dari keterlibatan mereka terjadi ketika pemilihan umum (pemilu) yang dianggap sebagai massa mengambang dan memenangkan paslon 02 Prabowo-Gibran Rakabuming Raka. Sampai sebagian lembaga survei menyeru pledoi “in the age of Tiktok, youth vote will be decisive in Indonesia’s election”.

Pelecehan Seksual di Institusi Agama

Rushain Abbasi (2023), mengutip Al Ghazali, menyebut tak ada tradisi sekular dalam Islam. Din dalam tradisi turost selalu bersanding dengan dunya.

Agama meninjau pengalaman maha luas dari sekadar domestikasi moral yang nampak dari makna etimologi “din” yaitu relasi antara yang lemah dengan yang kuat. Pola ini membuhul Islam sebagai agama dengan kompleksitas struktur dan jaringan yang terpaut.

Agama memiliki ketakutan ketika ia tak cukup bisa dipahami. Taklid buta yang muncul dari proses indoktrinasi kerap dipahami dan dipakai sebagai rukhsah untuk melanggengkan proses pengkultusan seorang figur. Jamak kasus pelecehan lantas beredar dari dalih mengikuti figur, alih-alih ittiba’ ajaran agama.

Dalam data yang dirilis oleh CRCS UGM pada bulan September dan Oktober, ditemukan 10 kasus pelecehan seksual di institusi agama, dengan jumlah korban puluhan. Banyak kasus terjadi dengan bungkus “tirakatan”, “manut dawuh guru”, sampai “sanksi” yang mengarah ke ranah pelecehan. Sebagian sampai persetubuhan, dan sodomi untuk korban laki-laki.

Institusi agama sering menjadi tolak ukur moralitas dimana agama kerap menyelinap di sela-sela pengalaman manusia mengimani keyakinannya sendiri.  Apakah institusi agama masih menjadi standar pendidikan moral?

Form Royal Wedding to Nikah di KUA, Mana yang Wedding Dream?

Mulai tahun 2024, Kantor Urusan Agama (KUA) resmi menjadi tempat pernikahan semua agama di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Menteri Agama H Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) melalui Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam di Jakarta pada 24 Februari 2024.

Keputusan ini membawa angin segar dari survei pernikahan dini yang lebih menyeramkan dari anak muda yang enggan menikah. Angka pernikahan dini di Indonesia mencatatkan angka 33,76% di rentang usia 19-21 tahun (BPS, 2022). Di samping tren nikah di KUA ini juga menggeser dan memperkaya pemahaman masyarakat akan wedding dream.

Maka, sejak diteken, pada awal tahun 2024, keputusan nikah di KUA disambut baik oleh masyarakat. Kebahagiaan nikah di KUA selalu dibagikan oleh mempelai dan hampir tidak memiliki rasa iri dengan mereka yang memilih royal wedding di gedung-gedung besar.

“Kita tuh sebenarnya mau maunya sayang-sayangan, berduaan gitu. Jadi kayaknya enak nih kalau misalnya kita di KUA itu prosesinya juga cepat, terus pulang pulang ke rumah udah cepat gitu sih,” ujar Chandra (29) yang memilih menikah di KUA dan merasa konsep di KUA seru.

Pengajian Spillover

Dalam sejarah agama, momok yang paling ditakuti adalah gejala truth claim yang bersanding dengan taklid buta. Resistensi kemudian muncul dari corak masyarakat Indonesia yang fiqh-oriented, dimana hidup tanpa anjuran agama adalah garing. Dehidrasi akan siraman agama membuat pengajian spillover atau banjir bandang pengajian menjamur disertai dengan tingkat pengkultusan figur agama.

Satu yang mungkin bisa ditandai dari lumernya pengajian ini adalah pengalaman masyarakat dalam mengkurasi figur penceramah. Satu pertanyaan klasik yang mungkin bisa dilemparkan adalah, “mau ngga mau acara ini harus ramai!”.

Pilihan spesifik yang terfokus pada kuantitas kemudian memberi ruang lebar terhadap kemunculan figur-figur baru tanpa menilik kembali kredibilitas keilmuan secara teliti.

Di samping itu, peran ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang mulai terpinggir dan tak lagi dilirik oleh masyarakat perkotaan terjadi karena mereka tidak tertarik dengan perjuangan politik, justru hal yang ingin mereka jumpai adalah melihat masalah yang harus mereka tangani setiap hari sebagai masalah yang lebih mendesak.

Berbanding terbalik dengan pendakwah dari kalangan NU dan Muhammadiyah yang kerap menawarkan materi-materi kompleks dan mengajak audiens untuk berpikir kritis dan reflektif.

Sementara keresahan yang muncul di benak jebolan pesantren ketika melihat wejangan dari agamawan melintas di linimasa medsosnya adalah, “wejangan itu ada dua, khash dan amm, dan bagaimana menerima ijazah dari ruang digital?” Ijazah dari agamawan hari ini seperti gorengan, semua bisa memakannya kapan saja (snacking religion). Seperti dakwah-dakwah di televisi yang lebih bercorak entertainment daripada edukasi.

Dari sekian rentetan peristiwa kunci yang menjadi rona di sepanjang tahun 2024, ada wacana menarik yang terselip dan saya kira relevan terhadap nuansa kerukunan beragama di Indonesia.

Wacana itu, mula-mula saya dengar dari pemaparan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dalam sebuah kesempatan di Kemenag kala Ramadhan.

Gus Yahya, sebagai inisiator gerakan global Humanitarian Islam (al-Islam lil-Insaniyyah) menilai ada satu kegagalan kronis dalam jantung pendidikan dasar di Indonesia, negara dengan jumlah Muslim terbanyak di dunia yang hidup berdampingan dengan agama-agama lain. Satu keganjilan yang ditangkap oleh Gus Yahya adalah institusi yang berada di bawah naungan Islam, belum bisa menjawab keluh-kesah dari agama lain. Islam, hemat Gus Yahya, perlu juga memfasilitasi ruang pendidikan bagi saudara non-muslim, tawaran itu disebutnya sebagai “Reformasi Madrasah”.

Tujuan dari memunculkan tawaran dalam rebranding madrasah menjadi madrasah inklusif terhadap semua agama ini lahir dari realitas daerah yang memiliki keterbatasan akses di tingkat pendidikan dasar.

Ketua Umum PBNU itu menyebut dua kesenjangan yang terjadi di tubuh pendidikan Indonesia; kesenjangan paradigmatik dan kesenjangan teknologi. Kesenjangan paradigmatik ini muncul lantaran perubahan berskala global yang tak kunjung direspon menyangkut organisasi, kurikulum hingga bahan ajar.

Lebih jauh, Gus Yahya beranggapan wacana ini bisa mengurangi gesekan antar identitas yang jadi inang bagi potret kerukunan umat beragama di Indonesia. Meski dalam prakteknya, sudah ada siswa non-muslim yang bersekolah di madrasah. Sementara itu, belakangan muncul informasi bahwa Muhammadiyah sudah lama membangun sekolah yang menampung siswa non-muslim berjumlah 8: Universitas Muhammadiyah Sorong, Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong, Universitas Muhammadiyah Kupang, Universitas Muhammadiyah Maumere, dan lain-lain.

Mungkin ada yang bertanya, kenapa tak mencantumkan “polemik ba’alawi” sebagai fenomena keagamaan hari ini? Karena memang tidak menarik.

Di awal saya sudah menggarisbawahi untuk menjaring isu yang memang bersentuhan dengan trend sosial, bukan trend internal Islam, lebih-lebih trend yang jadi alat politik.

Ala kulli hal, selain mencatat fenomena dan wacana di sepanjang tahun 2024, saya juga ingin membagikan sebuah dunia yang setidaknya bisa jadi alasan untuk bertahan hidup di dunia konoha ini. Adalah buku Etgar Keret berjudul The Seven Good Years (2015) yang memuat cerita-cerita dia sebagai seorang Israel yang memiliki anak dan istri hidup di sebuah paviliun.

Sebagai pelipur, kebutuhan asupan nurani bisa dimulai dengan album Perak (2024) Thee Marloes, judul yang saya sukai adalah Summer dan 33x dari Perunggu. Sementara film terbaik sepanjang tahun 2024 adalah Goodbye Julia (2023) yang disutradarai oleh Mohamed Kordofani asal Sudan. Film tersebut pernah diputar dalam opening Madani Film Festival 2024.

Selebihnya, meski tak ada alasan untuk merayakan tahun 2024, hidup perlu diapresiasi dengan suka-cita.