Bagaimana menjadi muslim yang kuat? Sebelum ke arah sana, kita bisa melihat akhir-akhir ini banyak terjadi aksi-aksi main hakim sendiri untuk menyelesaikan sebuah perkara. Seseorang yang merasa tidak suka dengan orang lain, alih-alih mau menyelesaikannya di jalur hukum, malah mengambil tindakan sendiri dengan jalan kekerasan.
Suburnya aksi-aksi kekerasan dan main hakim sendiri ini disebabkan oleh menguatnya sentimen kebencian berbasis primordial (SARA) yang mematikan akal sehat. Ketika rasionalitas sudah dicampakkan, maka tidak hanya norma sosial yang diabaikan, norma agama juga tidak dihiraukan.
Biasanya korban dari main hakim sendiri ini adalah kelompok yang lemah, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Lemah secara ekonomi seperti orang miskin, mereka kerap menjadi korban penggusuran akibat proyek pembangunan yang disokong pemilik modal besar. Seringkali premanisme digunakan untuk menggusur mereka, padahal kepastian hukum masalahnya belum jelas.
Kelompok lemah secara sosial biasanya adalah mereka yang menjadi minoritas etnis atau agama di suatu masyarakat. Kelompok mayoritas, karena jumlahnya lebih besar seringkali menggunakan pemaksaan atau penekanan dengan massa untuk mengikuti keinginannya. Aparat penegak hukum (kepolisian) sering mendapatkan tekanan dan ikut merasa terancam jika tidak mengikuti kehendak massa. Gejala mayoritarianisme menguat dalam dekade terakhir, dan kerap memunculkan aksi-aksi main hakim sendiri.
Sedangkan lemah politik adalah mereka yang tidak memiliki otoritas kekuasaan dan lemah dukungan politiknya. Biasanya kurang memiliki relasi dengan pemegang kekuasaan dan aktor negara. Mereka kerap kali dikorbankan untuk kepentingan elite lokal maupun nasional.
Dalam Islam, jika ada sengketa antar warga selain menempuh jalur hukum juga dibuka ruang untuk menyelesaikannya secar negosiasi dan arbitrasi. Apabila para pihak sepakat untuk satu pola penyelesaian tertentu, maka kesepakatan itu adalah hukum yang mengikat mereka. Al-Qur’an menegaskan, “Wahai orang-orang beriman, tepatilah perjanjian kalian.” (Al-Maidah: 1)
Namun dalam hal yang menyangkut kepentingan orang banyak, atau hak-ha k publik, misalnya korupsi dan penyalahgunaan wewenang, maka otoritas hukum adalah satu-satunya yang harus jadi rujukan penyelesaian. Sesuai dengan yang ditegaskan dalam al-Quran:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Al-Nisa: 65)” .
Ayat ini selain memerintahkan untuk menjunjung tinggi penegakan hukum, juga melarang main hakim sendiri. Konsekuensinya, aparat hukum mulai dari polisi, jaksa dan hakim, harus sigap dan lurus dalam tugasnya, menegakkan hukum. Jika tidak, lambat atau cepat, maka bahaya main hakim sendiri oleh warga sulit dihindari.
Dalam sebuah negara bangsa, di mana semua warga negara diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan keyakinan dan adat-istiadatnya, maka hukum yang jadi kewenangan negara adalah hukum yang bersifat publik. Bukan yang bersifat privat, yang berlaku pada skala pribadi atau kelompok tertentu.
Dalam negara demokrasi, lembaga kehakiman atau peradilan dalam pelbagai sektor dan tingkatannya merupakan keharusan mutlak. Segala perkara dan sengketa ketika sudah sampai ke tangan negara mestilah diselesaikan secara hukum/ perundang-undangan yang berlaku. Dan semua warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama di depan hukum.
Sebagai orang Mukmin, kita perlu menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan negara hukum dalam penyelenggaraan negara dan masyarakat. Karena prinsip ini telah menjadi konsensus (kesepakatan suci) bersama bagsa Indonesia, dan menjai bagian dari ajaran agama (al-Qur’an) yang wajib dipegangi.