Fenomena ini sangat umum kita jumpai di wilayah-wilayah perkotaan. Karena sempitnya lahan, sehingga memaksa masjid dibangun di rumah-rumah susun, gedung dan perkantoran. Sebagian lagi masjid yang sudah ada, kemudian dibangun bertingkat. Salah satu lotengnya didirikan tempat tinggal untuk keperluan marbot masjid dan keluarganya.
Terkadang, masjid bertingkat, bagian bawahnya dipergunakan untuk tempat parkir, yang kadang di tempat itu, keluarga pemilik mobil yang sedang haidh duduk diam di dalam mobil sembari menunggu keluarganya atau rombongannya yang sedang menunaikan ibadah shalat.
Nah, ini pentingnya kita mengkaji masalah ini lintas madzhab, setidaknya meninjau beberapa sisi pendapat ulama yang mencantumkan kebolehan atau melarangnya. Tentu dengan memperhatikan batas-batas areal yang disebut masjid dan diharamkan bagi orang yang udzur syar’i untuk diam di tempat tersebut.
Madzhab Maliki
Secara umum, kalangan ulama yang membolehkan pendirian rumah di masjid adalah ulama kalangan Malikiyyah, namun disertai catatan, bahwa letak bangunan rumah itu harus berada di bawah masjid, dan tidak pada bagian atas masjid. Pendapat ini tertuang di dalam Kitab Jawahir al-Iklil, juz 2, halaman 203 dan Al-Syarh al-Kabir, Juz 4, halaman 70. Di dalam kitab Hasyiyatu al-Dasuqy ala al-Syarh al-Kabir, Juz 4 halaman 70, bahkan disebutkan, tidak hanya membangun rumah, melainkan menguburkan mayit di bagian bawah masjid ini hukumnya juga boleh namun disertai catatan, bahwa penguburan tersebut terpaksa dilakukan karena adanya maslahah umum yang perlu dikedepankan.
Madzhab Hanbali
Menurut kalangan Hanabilah sebagaimana dinukil oleh Ibn Muflih dalam al-Mustau’ib dijelaskan bahwa :
إِنْ جَعَل أَسْفَل بَيْتِهِ مَسْجِدًا لَمْ يَنْتَفِعْ بِسَطْحِهِ، وَإِنْ جَعَل سَطْحَهُ مَسْجِدًا انْتَفَعَ بِأَسْفَله, نَصَّ عَلَيْهِ، وَقَال أَحْمَدُ: لأِنَّ السَّطْحَ لاَ يَحْتَاجُ إِلَى أَسْفَل
Artinya:
“Jika bagian bawah rumah dijadikan masjid, maka lotengnya tidak bisa dimanfaatkan. Namun, jika bagian lotengnya adalah masjid, maka bagian bawahnya bisa dimanfaatkan. Imam Ahmad menyatakan hal ini dan menegaskan: ‘karena sesungguhnya loteng tidak memerlukan bagian bawahnya’.” (Al-Adabu al-Syar’iyyah, Juz 3, halaman 419).
Bagaimana dengan penguburan mayyit di masjid (bagian bawah masjid)?Dalam hal ini kalangan Hanabilah mengambil bunyi dhahir dari sebuah hadits hasan dengan sanad Ibn Abbas radliyallahu ‘anhuma, bahwasannya:
لَعَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ
Artinya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat tiga orang, yaitu perempuan-perempuan yang melakukan ziarah kubur, kaum yang membangun masjid-masjid mereka di atas kuburan dan memasanginya lampu-lampu.” (HR. al-Tirmidzy, juz 32, halaman 136)
Pendapat kalangan Hanabilah ini pada dasarnya sama dengan Malikiyyah, dalam hal mendirikan masjid di atas kuburan. Namun, untuk menguburkan mayit di bawah loteng masjid, kiranya keduanya berbeda pendapat dalam kebolehannya, namun sepakat dalam ushulnya, yakni hukum asal mengubur mayit di bawah loteng masjid hukumnya adalah tidak boleh.
Madzhab Hanafi
Menurut Ulama Kalangan Hanafiyyah, membangun tempat tinggal di bagian atas loteng masjid hukumnya adalah boleh, namun tidak dengan bagian bawahnya. Alasan yang disampaikan oleh kalangan ini sebagaimana tertuang dalam Fath al-Qadir, Juz 3 halaman 63 dan Hasyiyah Ibn Abidin Juz 3, halaman 370, bahwa:
إِذَا جَعَل السُّفْل مَسْجِدًا وَعَلَى ظَهْرِهِ مَسْكَنٌ فَهُوَ مَسْجِدٌ لأَِنَّ الْمَسْجِدَ مِمَّا يَتَأَبَّدُ وَذَلِكَ يَتَحَقَّقُ فِي السُّفْل دُونَ الْعُلْوِ
Artinya:
“Jika bagian bawah dijadikan masjid dan bagian punggungnya didirikan tempat tinggal, maka inilah masjid, karena sesungguhnya masjid itu selamanya harus tetap menjadi masjid, dan demikian itu hanya bisa terjadi bila ia didirikan di loteng terbawah, tidak pada bagian atas.” (Fath al-Qadir, Juz 3 halaman 63 dan Hasyiyah Ibn Abidin Juz 3, halaman 370)
Pendapat kalangan Hanafiyyah ini rupanya berangkat dari ta’rif masjid, bahwa masjid itu akan senantiasa menjadi masjid dan tidak boleh beralih fungsi. Kondisi ini hanya mungkin terjadi bila masjid itu ada di loteng bagian bawah. Dengan demikian, pendapat ini merupakan kebalikan dari Madzhab Maliki dan Madzhab Hanbali. Oleh karena itu, mengubur mayit di bawah masjid tidak memungkinkan karena masjid sudah berada di loteng terbawah. Sementara mengubur mayit di dalam masjid hukumnya disepakati oleh para ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan Hanabilah sebagai yang diharamkan. Adapun menurut kalangan Syafiiyah, hukumnya makruh.
Bagaimana bila masjid itu diterowong, lalu mayit dikuburkan di terowongan itu, yang kebetulan tempatnya bertepatan dengan bagian bawah masjid? Ibnu ‘Abidin (Hanafiyah) dalam kitab hasyiyah-nya, Juz 1, halaman 441, menyatakan:
لَوْ جَعَل تَحْتَهُ سِرْدَابًا لِمَصَالِحِهِ جَازَ
Artinya:
“Jika bagian bawah masjid dibikin sebuah terowongan demi kemaslahatannya, maka hukumnya boleh (menguburkan mayit diterowongan itu).” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin, Juz 1, halaman 441)
Madzhab Syafii
Menurut ulama kalangan Syafiiyah, sebagaimana dinuqil oleh Al-Zarkasy di dalam kitabnya I’lamu al-Sajid fi Ahkam al-Masajid, halaman 407, dengan mengambil pendapatnya Imam Malik rahimahullah menyatakan bahwa:
أَنَّهُ كَرِهَ أَنْ يَبْنِيَ مَسْجِدًا وَيَتَّخِذَ فَوْقَهُ مَسْكَنًا يَسْكُنَ فِيهِ بِأَهْلِهِ
Artinya:
“Sesungguhnya makruh hukumnya mendirikan masjid, lalu di atasnya didirikan tempat tinggal yang seseorang kemudian tinggal di dalamnya bersama keluarganya.” (I’lamu al-Sajid fi Ahkam al-Masajid, halaman 407).
Perlu digarisbawahi bahwa konteks yang disampaikan lewat pendapat Imam Malik ini adalah bahwa tempat tersebut dihuni oleh seorang marbot atau orang yang menempatinya bersama keluarganya, yang berarti ada kaum perempuannya. Dengan demikian pula, adakalanya datang siklus bulanan (haidh) atau kondis junub yang mana kedua orang ini haram tinggal diam di dalam masjid. Itulah sebabnya, Imam Malik menyatakan kemakruhannya. Namun tidak menghilangkan hukum kebolehannya membangun tempat tinggal di loteng masjid, bila hanya untuk tempat tinggal marbot seorang. Itulah sebabnya, kemudian al-Zarkasy berpendapat:
وَفِي فَتَاوَى الْبَغَوِيِّ مَا يَقْتَضِي مَنْعَ مُكْثِ الْجُنُبِ فِيهِ لأَِنَّهُ جَعَل ذَلِكَ هَوَاءَ الْمَسْجِدِ وَهَوَاءُ الْمَسْجِدِ حُكْمُهُ حُكْمُ الْمَسْجِدِ
Artinya:
“Dalam Fatawi al-Baghawi terdapat pendapat yang menghukumi larangan duduk diamnya orang yang junub di dalam masjid, oleh karena itu mendirikan tempat tinggal di ruang udara masjid (adalah makruh) disebabkan hukum ruang udara masjid adalah masjid.” (I’lamu al-Sajid fi Ahkam al-Masajid, halaman 407).
Adapun hukum mendirikan masjid di atas kuburan, kalangan Syafi’iyah menyatakan hukumnya makruh. Alasan sehingga tidak menyampaikan hukum haram ini berangkat dari pemahaman terbalik terhadap larangan menjadikan kubur sebagai layaknya patung yang disembah. Adat yang berlaku di kalangan Syafi’iyah, kubur yang ada di masjid bukan dalam rangka disembah, melainkan memudahkan peziarah melakukan ziarah terhadap kubur orang yang shalih.