Saat dua tim bertanding di lapangan hijau dilihat sebagai sebuah permusuhan yang memperebutkan satu hal, yaitu kemenangan. Dari makna kemenangan inilah disebut sebagai awal permusuhan pada lawan dalam sepakbola ditanamkan. Rival atau musuh dalam sepakbola dilihat sekilas adalah sesuatu yang abadi, karena setiap tim ingin mengejar kemenangan di setiap pertandingan yang dihadapinya. Apakah permusuhan di sepakbola adalah hal yang statis dan kaku?
Tempo pernah menuliskan sebuah judul berita “Kemenangan Barito Dirampas”, untuk memberitakan sebuah pertandingan di 3 April 1993 antara tim Persib Bandung vs Barito Putera. Bukan hanya soal kekalahan tim asal Kalimantan tersebut, namun cerita tragis bagaimana Barito yang mendominasi pertandingan dan mencetak gol, kemudian dianulir oleh wasit bernama Khairul Agil kemudian Barito harus menderita kekalahan dan gagal melaju ke final.
Sebagai warga Banjarmasin, saat itu saya melihat beberapa kemarahan tercoret di dinding beton dan perbincangan masyarakat di berbagai kesempatan, hanya bernada satu yaitu mengutuk keras kekalahan tersebut. Sontak nama Khairul Agil menjadi sosok paling dibenci oleh publik Kalimantan Selatan, karena dianggap paling bertanggung jawab atas konspirasi tersebut.
Kasus di atas hanya satu dari aneka permusuhan di dunia sepakbola, di mana geliat pemujaan terhadap kemenangan seakan menjadi harga mati, sehingga kekalahan akan sangat rentan menumbuhkan rasa kesal yang berujung pada pencarian kambing hitam, sebagai musuh bersama.
Banyak hal yang bisa kita rasakan, lihat atau terlibat langsung dalam sepakbola, termasuk permusuhan. Sebagai olahraga yang paling populer di dunia, Eric Hobsbawm pernah menyebutkan sepakbola sebagai alat identifikasi dari sebuah kumpulan massa, atau sebagai sebuah komunitas yang dibayangkan oleh berjuta-juta orang tampak lebih nyata dalam sebuah tim yang terdiri atas sebelas orang.
Bukan sekedar yang diinginkan atau dibayangkan oleh pemain tim belaka, aneka ragam permusuhan dalam sepakbola juga muncul dari berbagai pihak termasuk suporter. Dalam sepakbola, rivalitas atau permusuhan memiliki posisi yang cukup unik. Di mana dia tidak hanya dilihat sebagai stempel “musuh” yang bisa ditimpakan kepada siapa saja, tapi juga menyimpan memori permusuhan hingga bertahun-tahun dalam memori manusia, bahkan bisa diwariskan kepada orang lain.
Perwarisan rasa permusuhan dalam sepakbola tidak dengan medium tunggal, tapi banyak hal yang saling berkelindan dalam seperti mitos kekalahan, cerita tentang masa lalu yang menghasilkan trauma, persoalan agama, hingga geo-politik dunia. Semua hal ini bisa menjadi unsur utama, pemulus hingga stimulus sebuah permusuhan dalam sepakbola, oleh sebab itu bukan hal asing lagi jika antipati dalam sejarah sepakbola tidak lagi hanya sekedar soal lawan di lapangan.
Coba kita lihat sundulan Zinedine Zidane pada Marco Materazzi di final Piala Dunia tahun 2006, inilah bukti paling sahih melihat bagaimana banyak hal bisa berkelindan dalam memunculkan permusuhan dalam sepakbola, bahkan persoalan antogonisme antar dua orang pemain tersebut kemudian direproduksi menjadi permusuhan antar dua pendukung kedua timnas.
Lebih jauh, permusuhan antar Zidane dan Materazzi di lain kesempatan juga dimaknai antagonisme antar agama yang dipeluk oleh kedua pemain, tergantung siapa yang ingin memainkan isu tersebut. Padahal, dalam statuta yang dipegang oleh Federasi tertinggi di sepakbola yaitu FIFA, politik dan agama tidak boleh hadir di lapangan bola.
Sepakbola Indonesia juga pernah terganjal persoalan agama yang berkelindan dengan gengsi politik, yaitu di tahun 1958. Di mana saat itu, Indonesia yang mengikuti langkah Sudan dan Mesir yang mengundurkan diri, karena solidaritas atas perang Arab dan tidak ingin dianggap mengakui Israel sebagai negara merdeka. Begitulah sepakbola mengimajikan pertarungan antar permusuhan.
Imaji soal Permusuhan yang Dipelihara
Di awal tahun 2020 ini kita semua dikejutkan dengan dua kejadian yang sangat memalukan, karena dua kasus ini terjadi di lingkaran sekolah dasar dan menengah. Teror jilbab dan yel ‘Islam yes, Kafir no’ seharusnya menyadarkan kita sebagai manusia pada hal penting, yaitu transmisi rasa permusuhan yang sangat cair dan dilakukan dengan bangga sedang terjadi di masyarakat kita.
Yel-yel atau nyanyian suporter klub bola tidak sedikit seringkali memelihara permusuhan sekalian menegaskan identitas dari para fans. Yel-yel dalam kasus di atas lebih parah dibanding yel-yel dalam sepakbola, karena, bukan hanya soal identitas tap melihat orang lain yang berbeda bisa dihina, dipersekusi hingga diteror atas nama kesucian agama.
Dalam sepakbola, antagonisme dipelihara karena akan ditampilkan di lapangan bola, sedangkan yel-yel di atas apakah kita ingin memelihara permusuhan pada orang lain yang berbeda agama? Di mana rasa empati dan solidaritas kita jika imaji permusuhan terus dipelihara, bahkan sejak dini sekali.
Mungkin kita sering menteror teman yang berbeda tim yang didukung, apalagi jika timnya mengalami kekalahan atau sedang terpuruk posisi di liga. Cara berpikir yang sama juga terjadi pada diri orang yang menganggap dirinya “lebih baik”, karena imaji tentang ukuran kesalehan pribadi, sekarang sering sekali digunakan untuk menteror orang lain karena dianggap “kurang saleh”.
Alasan berdakwah yang sering digunakan untuk menghalalkan menteror orang lain sudah harus mulai ditolak, agar pelaku teror tidak lagi berlindung pada dakwah yang seharusnya mencerahkan, bukan malah melakukan hal yang buruk pada orang lain. Dakwah Islam bukan melihat orang lain sebagai musuh, tapi mengajak orang lain pada kebaikan bersama.
Musuh dalam sepakbola mengajarkan kita bahwa permusuhan bisa berkelindan dengan beragam hal, termasuk trauma masa lalu seperti kalah perang, kebencian atas etnisitas dan lain-lain, yang bisa ditransfer atau ditransmisikan pada orang baru. Dakwah kita sudah harus berhenti memakai logika permusuhan, karena itu merusak nilai-nilai kebaikan dalam Islam.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin